
Dunia Islam
Ketika Hamka Dituduh Plagiat
Tulisan di media Bintang Timoer menuding Buya Hamka telah melakukan plagiat.
Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka (1908-1981) merupakan sosok yang multitalenta. Tidak hanya berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan Islam, ulama berdarah Minangkabau itu juga dikenal luas sebagai seorang sastrawan terkemuka. Sepanjang hayatnya, ia telah menghasilkan tidak kurang dari 84 judul buku.
Beberapa di antaranya adalah roman, seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Merantau ke Deli. Ketiganya bahkan masih menjadi bacaan yang digemari hingga saat ini, sehingga melambungkan nama Buya Hamka dari generasi ke generasi.
Sebagaimana umumnya figur publik, perjalanan hidup ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut tidak lepas dari alang merintang. Pada era Orde Lama, ia pernah menjadi sasaran intimidasi yang dilakukan penguasa maupun lawan-lawannya. Di dunia sastra, sempat namanya dituding sebagai seorang plagiator.
Abdullah SP menilai, Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka (1939) adalah hasil plagiat atas novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir.
Pada 7 September 1962, surat kabar Bintang Timoer yang memiliki lembar sastra “Lentera”, memuat sebuah artikel yang ditulis Abdullah Said Patmadji. Dalam tulisannya itu, Abdullah SP menilai, Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka (1939) adalah hasil plagiat atas novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Musthafa Lutfi al-Manfaluti.
Buah pena perintis sastra Arab modern itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena. Edisi bahasa Prancisnya dinamakan Magdalaine.
Al Majdulin alias Magdalaine alias Magdalena sendiri merupakan novel saduran dari Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Tilia) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Demi menguatkan argumentasinya, Abdullah SP menjabarkan strip-strip antara lain sebagai berikut. (A adalah Magdalena, sedangkan B adalah Tenggelamnya Kapal van der Wijck.)
Pertama:
A > Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemuda Stevens (hlm. 3-4)
B > Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemuda Zainuddin (hlm. 35)
Kedua:
A > Stevens tinggal di kamar atas rumah orang tua Magdalaine yang sedianya kosong (hlm. 3-4)
B > Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumah orang tua Hayati (hlm. 35)
Ketiga:
A > Perikatan janji prasetia antara Magdalaine dan Stevens “di bawah naungan bunga tilia” disusul dengan adegan asmara di danau (hlm. 37-40)
B > Pertemuan di waktu hujan “di bawah sebuah payung” disusul dengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)
Keempat:
A > Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujui orang tua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir (hlm. 52-56)
B > Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak disetujui orang tua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir (hlm. 52-56)
Kelima:
A > Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens (hlm. 115-117)
B > Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin (hlm. 83-86)
Keenam:
A > Perkawinan Magdalaine dengan Edward (hlm. 180-190)
B > Perkawinan Hayati dengan Aziz (hlm. 123-131)
Ketujuh:
A > Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243)
B > Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)
Kedelapan:
A > Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai (hlm. 245-254)
B > Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapal Van der Wijck (hlm. 177-180)
Kesembilan:
A > Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya (hlm. 245-254)
B > Zainuddin mati mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya (hlm. 198-200)
Kesepuluh:
A > Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiat Stevens (hlm. 245-254)
B > Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiat Zainuddin (hlm. 198-200)
Waktu artikel Abdullah SP itu naik cetak, harian Bintang Timoer dipimpin sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pramoedya Ananta Toer. Lekra adalah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia, serta dipandang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam berbagai kesempatan, Pram pun menuding Hamka telah menjiplak mentah-mentah karya al-Manfaluti itu.
Lebih lanjut, penulis yang di kemudian hari menghasilkan Tetralogi Buru itu juga mendesak Hamka agar mengakui plagiasi dan meminta maaf kepada masyarakat pembaca Indonesia. Terhitung sejak Februari 1962, reputasi Hamka menjadi bulan-bulanan harian Bintang Timoer.
Tindakan Pram “menembak” tuduhan kepada Hamka tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Putra Haji Rasul itu berlatar belakang politik Masyumi. Parpol Islam ini, bersama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) telah diberangus oleh penguasa Orde Lama, presiden Sukarno. Sebab, keduanya dituding terlibat dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pembubaran dua pesaing tentu saja membuat girang PKI—yang juga sangat dekat dengan Bung Karno ketika itu.

Bukan plagiasi
Merespons polemik, kritikus sastra HB Jassin menolak tuduhan bahwa Hamka adalah penjiplak. Menurut Jassin, sebagaimana dinukil Rachmat Djoko Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern, definisi plagiat adalah “pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya.”
Kemudian, ada pula konsep lainnya, yakni saduran, yaitu “karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain.” Misalnya, cerita luar negeri yang disesuaikan dengan alam dalam negeri dengan mengubah nama-nama daerah dan suasananya. Teks saduran tetap harus disebutkan nama pengarang aslinya.
Menurut Jassin, roman karya Hamka itu bukanlah sebuah plagiat atau jiplakan.
Di samping plagiat dan saduran, ada juga konsep “mempengaruh-dipengaruhi.” Sebuah teks sastra hasil karya seorang sastrawan tidak mustahil dipengaruhi filsafat atau pikiran pengarang lainnya, baik secara sengaja maupun tidak.
Menurut Jassin, roman karya Hamka itu bukanlah sebuah plagiat atau jiplakan. Hamka pun diketahui tidak menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan, melainkan ia menciptakan karya dengan “seluruh kepribadiannya.”
Dalam dunia sastra pula, sudah lama dikenal tradisi yang di dalamnya pengarang melakukan transformasi atas karya-karya yang lahir sebelumnya di dalam karyanya sendiri dengan wujud baru. Tindakan itu bukanlah jiplakan karena ide dan konsepnya berasal dari si pengarang sendiri.
Karya-karya yang muncul lebih dahulu daripada kepunyaannya hanya sebagai “bahan” atau inspirasi tulisannya. Dalam kajian sastra, yang disebut “bahan” itu diistilahkan sebagai hipogram.
Karena itu, Pradopo menyimpulkan, Hamka telah membuat transformasi dari karya al-Manfaluti yang merupakan hipogram-nya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya.
Hamka juga mengubah jalan ceritanya dengan penambahan-penambahan. Sehingga, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia dan Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah yang relevan, yakni soal adat kawin paksa. Dalam karyanya pula, pengarang Minangkabau ini memasukkan kritik atau pikiran-pikirannya sendiri yang selaras dengan ajaran lslam.
Pelbagai tuduhan plagiat dan bahkan caci-maki yang ditujukan kepadanya tidak akan menjatuhkan reputasinya sebagai pengarang.
Pada saat membaranya polemik, terutama yang ditiupkan harian Bintang Timoer, Hamka lebih banyak diam. Saat diwawancarai media, ia mengakui bahwa dirinya terinspirasi al-Manfaluti.
Kemudian, dalam Gema Islam edisi 1 Oktober 1962, ia menyatakan, pelbagai tuduhan plagiat dan bahkan caci-maki yang ditujukan kepadanya tidak akan menjatuhkan reputasinya sebagai pengarang. Lebih lanjut, diharapkannya bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh para ahli sastra, termasuk yang berasal dari kampus-kampus terkemuka.
Tujuannya untuk mengadili secara gamblang, apakah karyanya itu hasil saduran, curian, atau memang asli adanya. Bahkan, Hamka menyebut, harapannya akan ada semacam Panitia Kesusastraan yang dibentuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kepada majelis tersebut, dirinya akan bersedia memberikan keterangan.
Beberapa tahun kemudian, telaah akademik dilakukan sejumlah sarjana. Dalam disertasinya untuk Universitas Gadjah Mada (UGM), Pradopo menilai, kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka bukan soal plagiat atau jiplakan, melainkan intertekstualitas. Dan, metode intertekstual wajar serta biasa terjadi di kalangan sastrawan di manapun di dunia ini. Itu menjadi suatu jalan kreativitas muncul.
Sementara itu, Umar Junus dari UI menyatakan, Hamka memang menggunakan pola dan plot yang tersedia dalam karya al-Manfaluti, tetapi pengarang Indonesia ini mengisi keduanya dengan tema dan ide orisinalnya sendiri. Kemudian, seperti diakui Hamka sendiri, sastrawan tersebut memang terpengaruh al-Manfaluti.
Ibaratnya, al-Manfaluti membuat sebuah kendaraan. Adapun Hamka menggunakan kendaraan itu, tetapi dengan keseluruhan isi dan arah tujuan berkendaranya yang sama sekali baru. Dalam dunia sastra, tindakan demikian wajar-wajar saja dan tetap dianggap sebagai sebuah kreativitas.
Bagaimanapun, ada hikmah di balik badai tudingan yang dialamatkan kepadanya. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck menjadi kian dikenal di tengah masyarakat. Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an menyebut, polemik terkadang menjadi berkah. Misalnya, ketika kritikus sastra UI Sapardi Djoko Damono memuji Saman sebagai karya yang “dahsyat".
Penilaian itu otomatis memancing rasa ingin tahu publik terhadap karya Ayu Utami tersebut sehingga mereka membelinya. Laris di pasar: itulah yang terjadi baik pada Tenggelamnya Kapal van der Wijck maupun Saman.
Anies Mulai ‘Menyerang’ Ganjar dan Tuding Banyak Mafia
Anies mengeklaim banyak menyerap aspirasi warga tanpa dipublikasi.
SELENGKAPNYAStrategi Baru Politik Umat Islam
Tidak ada cara lain bagi survival bangsa, kecuali mengakomodasi kepentingan umat.
SELENGKAPNYAMusim yang Menyakitkan Bagi Arsenal
The Gunners mencoba bersyukur karena bisa kembali bermain di Liga Champions
SELENGKAPNYA