Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Strategi Baru Politik Umat Islam

Tidak ada cara lain bagi survival bangsa, kecuali mengakomodasi kepentingan umat.

Oleh KUNTOWIJOYO

Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam Nabi supaya sejarah menjadi jinak dan mengirim sepasang merpati.

(Makrifat Daun, Daun Makrifat)

Mari kita berterus terang kepada sejarah, begitu selalu ajakan Ahmad Syafii Maarif di banyak kesempatan. Tulisan ini adalah bentuk keterusterangan itu. Kita sudah lelah menyaksikan Indonesia tidak maju-maju secara politik: demokrasi, konstitusi, dan rule of law berjalan di tempat. Islamic policy kolonial dengan cara divide et impera juga terus berjalan, baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru.

Sayang, umat Islam sendiri seperti tidak sadar dengan gejala itu. Sebagian malah menikmati penderitaan yang lainnya. Di zaman Orde Lama, Islam terpecah antara modernis dan tradisionalis (Masyumi dan NU), di zaman Orde Baru, Islam terpecah antara "Islam ibadah" dan "Islam politik".

Pada tahun 1970-1990 tidak terbantahkan bahwa dalam sejarah Indonesia terdapat marjinalisasi umat Islam. Apa saja dikerjakan oleh kekuatan Islamophobia untuk memojokkan umat. Melalui politik resmi, dalam sidang-sidang DPR/MPR (RUU Perkawinan 1973, masalah perjudian, masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN 1978), melalui rekayasa sosial-politik (umat diberi "pekerjaan rumah" dengan masuknya tarekat tertentu dan beradanya ganjalan umat, seperti Darul Hadis/LDII, dalam Golkar; Peraturan Pemerintah pada 1982 tentang larangan jilbab di sekolah; pembatasan-pembatasan dakwah), dan melalui politik keamanan (Komando Jihad/DI/TII/NII, Peristiwa Tanjung Priok 1984). 

Sayang, umat Islam sendiri seperti tidak sadar dengan gejala itu. Sebagian malah menikmati penderitaan yang lainnya. 
 

Akan tetapi, kurang-lebih sejak 1990 terdapat perubahan. Ada akomodasi terhadap kepentingan-kepentingan umat. RUU Peradilan Agama 1988, kasus Monitor 1990, dan penumbuhan ICMI -- "Islam akidah" -- pada Desember 1990. Pada 1990-an ada kemajuan luar biasa dalam hubungan pemerintah-umat.

Penghapusan SDSB, terbitnya SKB Mendagri dan Menag tentang Pengumpulan Zakat, pendirian Bank Muamalat Indonesia, penayangan bahasa Arab di TVRI, Festival Istiqlal, Bayt Alquran, dan sebagainya.

Sementara itu, pendekatan dengan tokoh-tokoh pembangkang juga dikerjakan. Menristek BJ Habibie memulai dengan mengundang tokoh-tokoh Petisi 50 ke PT PAL Surabaya. Suatu langkah yang mengejutkan banyak pihak. Dapat dikatakan bahwa pada 1990-an terdapat rekonsiliasi nasional dalam politik. Rekonsiliasi antara pemerintah dan umat, serta antara pemerintah dan pihak "oposisi".

Rekonsiliasi nasional itu perlu disambut dengan strategi baru dalam politik oleh umat Islam. Tidak dengan mengarahkan bandul jam ke arah sebaliknya. Kalau demikian, Indonesia hanya akan selalu kembali ke nol lagi dalam pembangunan politik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan umat.

Loyalitas umat pada negara tidak usah diragukan (sumbangan emas para ulama dalam krisis moneter, seruan jihad nasional MUI, Tabligh Akbar di Jakarta dan Yogyakarta, bahkan sikap kritis umat -- semuanya bertujuan mendukung negara). Diharapkan dengan peranan umat itu akan muncul perubahan-perubahan ke arah sistem politik yang lebih baik. 

Rekonsiliasi nasional itu perlu disambut dengan strategi baru dalam politik oleh umat Islam. 
 

Tidak ada cara lain bagi survival bangsa, kecuali mengakomodasi kepentingan umat. Umat Islam adalah massa yang luar biasa besar, mempunyai tradisi yang panjang, dan telah menyusupi semua sektor kehidupan (petani, buruh, pengusaha, birokrat, militer, akademisi, profesi). Cepat atau lambat, semua kekuatan politik akan terserap ke dalam tubuh umat.

Mula-mula pengamat berbicara tentang ''Golkarisasi umat'', sekarang orang mengatakan tentang adanya ''Islamisasi Golkar''. Munculnya Islam bukan karena proses politik semata (Islam sedang berada di atas angin), tetapi lebih karena konsekuensi logis dari pertumbuhan demografi. Sewajarnyalah bila umat bersikap positif dengan menelurkan strategi baru dalam politik.

Deideologisasi

Ada kenyataan sejarah tak terelakkan yang terjadi atas umat, yaitu deideologisasi. Kenyataan sejarah ini berlaku sejak 1985 dengan diundangkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas. Maka terkuburlah sudah cita-cita tentang ideologi Islam. Ideologi Islam itu kemudian ternyata bahwa belakangan ini menakutkan banyak pihak: "lawan", kawan, maupun pemerintah.

Pada tahun-tahun sebelum 1960, Masyumi yang memakai ideologi Islam tidak menakutkan orang-orang sezamannya, karena orang tahu persis bahwa dengan ideologi Islam itu yang dimaksudkan adalah demokrasi dan konstitusi, bukan untuk "mendorong ke laut" orang-orang non-Islam.

Kemudian ideologi Islam itu rupanya berkembang menjadi semacam monster yang menakutkan. Umat harus menerima kenyataan itu, rela melepaskan ideologi Islamnya, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik dan negara nasional Republik Indonesia sebagai terminal terakhir. 

Kemudian ideologi Islam itu rupanya berkembang menjadi semacam monster yang menakutkan. 
 

Deideologisasi bukanlah deislamisasi. Umat harus mengambil hikmahnya, dengan ngelmu begja, serba beruntung, "kanan kiri oke". Umat beruntung karena dengan melepaskan ideologi Islam ia bisa mengembangkan sayapnya ke segala arah, ke mana pun boleh tanpa cacat agama (PPP, Golkar, PDI).

Umat beruntung karena tidak menjadi tutuhan dengan terjadinya banyak aib nasional (kesenjangan, kolusi, korupsi, monopoli, nepotisme, otoritarianisme). Umat beruntung karena tanpa beban nasional ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Umat beruntung karena apapun yang terjadi di percaturan internasional (seperti OKI) Indonesia tetap diperhitungkan sebagai negeri Islam.

Tak ada yang mengkhawatirkan dengan deideologisasi. Sebaliknya, dalam satu dasawarsa saja telah terjadi perkembangan luar biasa di lingkungan umat. Perkembangan itu ialah: (1) munculnya Islam sebagai ilmu, dan (2) munculnya Islam inklusif.

Pertama, Islam sebagai ilmu. Dari Alquran dan Sunnah selama ini dikenal bahwa Islam seolah-olah hanya dapat dikembangkan menjadi ideologi, padahal tidak demikian.

Di samping itu ideologi Islam dapat dikembangkan menjadi ilmu. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah perkembangan ilmu ekonomi Islam. Berangkat dari Alquran dan Sunnah orang dapat membuat etika ekonomi, dari etika bisa dibuat ilmu, dan setiap ilmu selalu mengandung aspek teoritis dan aspek praktis. Jadi ada etika ekonomi Islam, ada teori ekonomi Islam, ada pendidikan ekonomi Islam, ada lembaga ekonomi Islam. masyarakat umum tak akan curiga, karena Islam bukanlah ideologi tetapi ilmu. 

Deideologisasi bukanlah deislamisasi. 
 

Kedua, Islam inklusif. Ketika menjadi ideologi, Islam bersifat tertutup, khusus dari/oleh partai Islam, Islam bersifat eksklusif. Islam inklusif adalah agama yang serba ngrengkuh, menganggap orang non-Islam sebagai saudara, seluruh bangsa dan seluruh umat itu satu.

Persoalan kebangsaan dan kenegaraan adalah persoalan bersama, yang lintas agama. Islam justru menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat untuk semua. Implikasinya dalam politik nasional ialah Islam menjadi milik semua OPP. Islam dapat secara implisit menjadi substansi suatu kekuatan politik, tanpa harus secara eksplisit mencantumkan Islam dalam AD/ART-nya.

Strategi baru

Di tahun-tahun mendatang umat akan menghadapi kenyataan-kenyataan baru yang memerlukan strategi baru pula. Marjinalisasi sudah selesai, karantina politik tidak ada lagi, Islamophobia sudah mundur dari pentas. Di antara kenyataan baru itu ialah semakin intensnya keterlibatan umat dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan.

Sumbangan Islam akan sangat menentukan wujud dari civil society (masyarakat madani) yang akan dibentuk bersama seluruh bangsa. Karenanya perlu ada perubahan dalam cara memandang kenyataan-kenyataan yang mungkin terjadi. Perubahan itu ialah: (1) digantikannya conspiration theory dengan factual analysis, dan (2) digantikannya jihad psyche dengan falaah psyche

Pertama, digantikannya conspiration theory dengan factual analysis
 

Pertama, digantikannya conspiration theory dengan factual analysis. Umat belajar conspiration theory (teori persekongkolan) dari pengalaman semasa periode marjinalisasi (1970-1990), karena umat tidak bisa dipersalahkan.

Ketika sebuah peraturan baru keluar, pernyataan pers oleh pejabat dan tuduhan-tuduhan subversi dilontarkan, yang diingat umat ialah sejumlah pertanyaan seperti "Siapa berada di belakangnya?", "Siapa yang dituju?", "Arahnya ke mana?", "Sekarang ini, besok pasti itu", dan "Akal-akalan apa lagi ini?"

Kecurigaan mewarnai cara berpikir umat, katakanlah "nanah" itu bernama "Luka Islamophobia". Sekarang ada keperluan mendesak agar umat segera sembuh dari luka-luka.

Untunglah umat itu pemaaf, selalu bersyukur, dan mudah melepaskan kesalahan orang. Baru-baru ini seorang yang waktu menjabat sangat garang kepada umat menyatakan taubat, masuk Islam kembali, dan keluar-masuk pesantren. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh umat, oleh pemimpin, dan oleh ulama.

Karena itu, tidak berlebihan kalau umat diminta meninggalkan teori persekongkolan (suatu bentuk dari suudzon) dan menggantikannya dengan analisis faktual (suatu bentuk dari husnuzan). Dengan analisis faktual yang dimaksud ialah supaya semua bukti dikumpulkan, dianalisis, baru diambil kesimpulan. Jadi kesimpulan itu adalah hasil dari pengamatan rasional atas bukti-bukti, tidak berdasar pada emosi kecurigaan semata. 

Kedua, digantikannya jihad psyche (semangat jihad) dengan falahh psyche (semangat kesejahteraan). 
 

Kedua, digantikannya jihad psyche (semangat jihad) dengan falahh psyche (semangat kesejahteraan). Kata jihad (jihad fisik) sebagai kebajikan disebut dalam Alquran, Sunnah, dan tarikh, sehingga menjadi mujahid (pejuang) adalah cita-cita umat.

Secara empirik, umat belajar jihad fisik dari masa kolonial, revolusi fisik, peristiwa G30S/PKI, dan masa marjinalisasi umat. Pada waktu-waktu itu semangat jihad bangkit untuk kepentingan survival umat, self defense mechanism. Andaikata menghadapi banyak konflik fisik umat tidak punya semangat jihad, pastilah lumpuh seluruh bangsa.

Namun semangat jihad itu sekarang harus ditinggalkan karena tidak lagi relevan. Semangat jihad harus digantikan dengan semangat kesejahteraan (falaah psyche). Kata falah yang selalu diserukan lewat adzan berarti kejayaan, sukses, keselamatan, dan kesejahteraan. Kata ini berasal dari kata kerja falaha, yang artinya membajak, mengolah tanah, dan menanam.

Karenanya, semangat kesejahteraan ialah semangat kerja keras, persis seperti petani membajak ladangnya. Gambaran baru mengenai umat ialah petani yang sedang bekerja di ladang, bukan seperti prajurit yang sedang berjuang di medan perang.

Disadur dari Harian Republika edisi 20 Februari 1998. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Akselerasi Transformasi Wakaf

Pengembangan ekosistem wakaf secara komprehensif, demi tercapainya akselerasi transformasi wakaf.

SELENGKAPNYA

Membumikan Islam Sepanjang 600 Tahun

Usia jaringan ulama di selatan Jawa ternyata sudah mencapai enam abad.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya