PUISI Kuburan Keadilan | Daan Yahya/Repubika

Sastra

Kuburan Keadilan

Puisi Fileski Walidha Tanjung

Oleh FILESKI WALIDHA TANJUNG

Timbangan Mendengkur

 

Keadilan pernah duduk di kursi pengadilan

dengan mata terpejam seperti petani tua yang lelah.

Di meja kayu itu, ia menunggu mulut-mulut bersuara

menyebut namanya dengan cinta,

yang terdengar hanya dengkur para saksi.

 

Sang waktu sedang sibuk memotong kuku,

halaman sejarah menjadi banjir dengkur.

Di luar gedung, ketidakadilan berlari telanjang,

memanggul obor dan tertawa.

Ia yakin, kemenangan akan datang

pada mereka yang dibangunkan.

 

2025

***

 

Monumen Tengah Jalan

 

Monumen yang terbuat dari batu hitam

bertuliskan nama-nama yang dibungkam.

Setiap pejalan yang lewat, memalingkan muka

seolah pahatan itu sekadar hiasan musim.

 

Hujan menitikkan air mata di atas prasasti,

membaca nama-nama dengan nada lirih.

Sementara jalan raya terus memakan ban-ban mobil,

dan udara tak henti mengunyah deru mesin.

 

Keadilan menjadi patung:

megah tak bergerak,

terabaikan sampai lumut dan menyerah.

 

2025 

***

 

Surat Terakhir Seekor Burung

 

Seekor burung menulis surat di langit,

ia menggores awan-awan dengan sayap:

Orang-orang di bawah melihat coretan awan.

Burung adalah pembawa angin,

dan angin adalah pembawa suara.

 

Bulunya yang terakhir jatuh di tanah,

kesunyian menutup amplopnya,

ketidakadilan mengirimkan perangko

pada seluruh dunia:

harga untuk bisu selalu lebih mahal

daripada harga untuk berteriak.

 

2025 

***

 

Tak Ada Keadilan di Pasar Malam

 

Di pasar malam, keadilan dijual murah

di kios sebelah boneka dan permen kapas.

Lampu warna-warni menyilaukan mata pembeli

hingga mereka tak sadar telah membeli tirani

dengan kembalian senyum palsu.

 

Keadilan duduk di pojok, memeluk lutut,

mendengar musik dangdut dari pengeras suara

yang pecah nadanya.

Setiap nada patah adalah tulang rusuk

yang retak di tubuhnya,

namun tak seorang pun membawanya pulang.

 

2025 

***

 

Kuburan Keadilan

 

Kuburan keadilan itu tak pernah sepi.

Rumput liar tumbuh seperti doa-doa yang gagal.

Setiap malam, bulan menaburkan cahaya

sebagai lilin bagi pusara.

 

Di kejauhan, suara tawa tirani

menyelimuti tanah ini,

seperti kafan robek.

Di bawah nisan, keadilan berteriak

mencoba untuk membuka kelopak mata,

namun begitu berat

bukan oleh batu-batu yang menimpa,

tetapi oleh ketidakpedulian

yang dilemparkan dunia.

 

2025 

***

 

Fileski Walidha Tanjung adalah penulis dan penyair kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi, esai, cerpen di berbagai media nasional.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat