
Ekonomi
Setahun Prabowo-Gibran, Ekonomi Butuh Lebih Banyak Mesin Pertumbuhan
Kebijakan likuiditas perlu diikuti dengan penguatan sektor riil.
JAKARTA – Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjukkan kemajuan di sejumlah sektor, namun tantangan besar masih membayangi perekonomian nasional. Kalangan ekonom dan pelaku usaha menilai target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen hanya akan tercapai jika pemerintah mampu mendorong investasi swasta, memperkuat daya beli masyarakat, dan menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Ekonom Sunarsip menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintahan Prabowo–Gibran tidak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan belanja pemerintah. Menurutnya, peran swasta harus diperkuat karena ruang fiskal negara semakin terbatas.
“Target pertumbuhan 8 persen memerlukan investasi yang sangat besar, baik dari swasta maupun UMKM. Di sini, peran development public investment dan dana antara menjadi sangat penting,” ujar Sunarsip dalam Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian, Senin (20/10/2025).
Ia memaparkan sekitar 70 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) habis untuk kebutuhan dasar masyarakat, 20 persen untuk pembayaran utang, dan hanya 10 persen yang tersisa untuk investasi. Karena itu, partisipasi swasta menjadi prioritas utama dalam mendorong pertumbuhan.
Namun, ia mengingatkan bahwa partisipasi swasta sulit tumbuh tanpa kepastian hukum. “Kalau pelaku korporasi atau UMKM tidak yakin dengan kepastian hukum, mereka enggan berinvestasi karena takut dikriminalisasi ketika terjadi kerugian,” ujarnya. Kepastian hukum, menurutnya, harus dijamin melalui komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.
Investasi Masih Didominasi Pemerintah
Sunarsip juga menyoroti dominasi pemerintah dalam pembiayaan investasi dalam dua tahun terakhir, yang menyebabkan peran swasta belum optimal. “Keterlibatan korporasi dalam penerbitan surat utang hanya sekitar 10 persen dari total pasar obligasi nasional. Sisanya 90 persen didominasi obligasi pemerintah,” ujarnya.
Model seperti ini perlu diperbaiki agar aliran dana ke sektor swasta lebih produktif. Pemerintah juga perlu memperbaiki mekanisme penyaluran anggaran karena dalam beberapa triwulan terakhir, konsumsi pemerintah justru berkontribusi terhadap kontraksi ekonomi. “Kalau dana bisa disalurkan lebih efektif ke swasta, hasilnya akan lebih produktif,” katanya.
Ia menambahkan, kebijakan likuiditas perlu diikuti dengan penguatan sektor riil. “Langkah pertama melalui kebijakan likuiditas sudah tepat, tapi harus diikuti dengan memastikan dana itu mengalir ke pelaku usaha tanpa hambatan,” ujar Sunarsip.
Menurutnya, momentum pemulihan ekonomi 2026–2029 harus dimanfaatkan dengan strategi lintas lembaga, melibatkan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS agar penyaluran kredit benar-benar mendukung dunia usaha. Jika langkah-langkah tersebut dijalankan konsisten, ia optimistis pertumbuhan ekonomi bisa melampaui 5,4 persen pada 2026 dan menjadi pijakan menuju 8 persen pada 2029.
Daya Beli Masih Lemah, Lapangan Kerja Terbatas
Dari sisi dunia usaha, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Otonomi Daerah Sarman Simanjorang menilai pemerintahan Prabowo–Gibran masih menghadapi pekerjaan rumah besar terkait daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan percepatan investasi.
“Pertumbuhan ekonomi nasional masih bergantung pada konsumsi rumah tangga yang menopang sekitar 57 persen PDB. Pemerintah harus menjaga stabilitas harga pangan, memastikan stok bahan pokok tersedia, serta menunda penyesuaian harga BBM, listrik, dan gas sampai daya beli masyarakat kembali normal,” ujarnya.
Faktor seperti inflasi, pemutusan hubungan kerja (PHK), pendapatan riil yang tidak meningkat, dan minimnya lapangan kerja disebut sebagai hambatan utama. Ia menilai stimulus ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintah belum cukup menggairahkan dunia usaha.
Tingkat pengangguran masih berada di kisaran 7 persen dari total 140 juta angkatan kerja. “Setiap tahun kita melahirkan 3,5 juta angkatan kerja baru. Jika tak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja, maka akan menjadi beban sosial,” katanya.
Sarman juga menilai pemerintah perlu menyiapkan strategi menghadapi bonus demografi lima tahun ke depan. “Jika tidak dikelola dengan baik, bonus demografi bisa berubah menjadi beban negara. Pemerintah perlu membentuk Satgas Bonus Demografi lintas kementerian,” ujarnya.
Dari sisi investasi, realisasi hingga kuartal III 2025 mencapai Rp1.434 triliun atau sekitar 75 persen dari target tahunan Rp1.905 triliun. Meski positif, ia mengingatkan bahwa investasi yang masuk harus lebih padat karya dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja.
Ia juga menyoroti lambatnya penyerapan anggaran pemerintah yang baru mencapai 58,7 persen dari total Rp2.663 triliun hingga akhir September 2025. Kondisi ini, katanya, menghambat perputaran uang di masyarakat dan menurunkan daya dorong terhadap perekonomian nasional.
“Belanja pemerintah memiliki efek berganda terhadap sektor swasta. Jika serapan anggaran rendah, multiplier effect-nya juga kecil,” ujarnya.
Sarman berharap Presiden Prabowo memberi target kinerja yang lebih terukur bagi kementerian di bidang ekonomi agar kontribusinya terhadap pertumbuhan dapat dimaksimalkan. “Dengan semangat kolaborasi dan Indonesia Incorporated, kita optimistis ekonomi nasional akan terus melaju,” katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.