
Khazanah
RMI PBNU Minta Aturan Anti Kekerasan Pesantren Ditegakkan
Kasus kekerasan di lingkungan pesantren meningkat baik jumlah maupun tingkat kekerasannya.
JAKARTA – Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Abdul Ghofarrozin meminta pemerintah segera mengimplementasikan aturan anti kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Aturan tersebut untuk mengantisipasi kekerasan terhadap santri kembali terulang. Seperti diketahui, salah seorang santri tewas usai dibakar oleh seniornya di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Korban sempat dirawat selama 19 hari sebelum akhirnya mengembuskan nafas terakhir pada Kamis (19/1) lalu.
Gus Rozin, panggilan akrabnya, menjelaskan, kekerasan di lembaga pendidikan, bahkan berbasis agama, semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ia mengatakan sebagai lembaga yang mendidik akhlak mulia semestinya kekerasan tidak boleh ada di pesantren. Namun demikian, kasus kekerasan di lingkungan pesantren meningkat baik jumlah maupun tingkat kekerasannya.
"Kita khawatir ini merupakan fenomena gunung es. Berbagai peristiwa tersebut harus secara serius mendorong aksi berbagai pihak, mulai dari otoritas negara maupun pesantren. Kementerian Agama perlu mempercepat implementasi aturan anti-kekerasan yang sudah disahkan. Harus sampai ke level kabupaten. Tidak perlu ragu bertindak tegas bahkan mencabut izin operasional jika dirasa perlu," kata Gus Rozin kepada Republika pada Senin (23/1/2023).
Berbagai peristiwa tersebut harus secara serius mendorong aksi berbagai pihak, mulai dari otoritas negara maupun pesantren.KH ABDUL GHOFARROZIN Ketua RMI PBNU
Gus Rozin juga mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk memberikan aksi konkret mencegah peristiwa serupa. Di sisi lain, dia mengajak pesantren untuk bermuhasabah dengan membangun kesadaran di level asatidz, pengurus maupun santri bahwa kekerasan tidak boleh terjadi "Majelis Masyayikh sendiri menyiapkan kurikulum pesantren tanpa kekerasan untuk ma’had aly, pesantren muadalah, pendidikan diniyyah formal dan pesantren salafiyah, sesuai dengan wilayah dan otoritasnya," kata dia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah menyampaikan duka yang mendalam atas wafatnya santri berinisial INF (13 tahun) tersebut."Kami menyampaikan duka yang sangat mendalam, kami memantau sejak ada laporan sekitar dua pekan yang lalu bahwa anak (korban) sudah di rumah sakit tapi dikabarkan anaknya meninggal dunia," kata Ai kepada Republika, Sabtu (21/1/2023).
View this post on Instagram
Ai mengatakan, peristiwa ini menjadi perhatian serius bahwa kekerasan di lingkungan keagamaan harus menjadi catatan di awal tahun. Selama 2022, KPAI mencatat, angka kekerasan fisik atau psikis kepada anak itu menempati angka tertinggi kedua setelah kekerasan seksual atau kejahatan seksual.
Menurut dia, masyarakat punya keberanian untuk melapor dan mengungkap kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual sehingga angka kasusnya terbilang besar. Dia menjelaskan, pendidikan agama maupun umum harus menjadi skala prioritas untuk mencegah bahkan menangani kasus kekerasan. "Ini (peristiwa santri meninggal dibakar seniornya) satu cambuk luar biasa, dan otokritik bagi segala macam bentuk program dan komitmen, baik itu secara regulatif maupun program pemerintah dalam pembangunan,”ujar Ai.
Ai menyampaikan, KPAI akan berinisiatif melakukan langkah-langkah monitoring terutama memastikan ruang lingkup hukum pelaku. Menurut dia, peristiwa meninggalnya santri harus semakin menumbuhkan kesadaran bahwa pesantren ramah anak dan lembaga pendidikan ramah anak butuh komitmen, bukan hanya slogan. Dia pun mengajak semua pihak untuk melihat peta kekerasan terhadap anak yang sudah memprihatinakn. Padahal, ujar dia, lembaga keagamaan seperti pesantren semestinya menjadi role model untuk pendidikan terhadap anak.
"Saya juga punya kekhawatiran, apakah anak ini melihat selama pengalaman di manapun, di rumah atau di tempat lembaga pendidikan, apakah seperti itu jika melakukan penyelesaian dengan kekerasan, ini menjadi otokritik bagi kita semua," jelas Ai.
Saya juga punya kekhawatiran, apakah anak ini melihat selama pengalaman di rumah atau di tempat lembaga pendidikan, ini menjadi otokritik bagi kita semua.AI MARYATI SOLIHAH Ketua KPAI
KPAI meminta Kementerian Agama agar melakukan tindakan nyata untuk penyelesaian secara kelembagaan. Kemenag juga diminta untuk memberikan dukungan baik itu untuk pencegahan dan menangani peristiwa-peristiwa di lembaga keagamaan. Menurut Ai, kasus kekerasan bukan hanya terjadi di pesantren tapi berdasarkan laporan yang diterima KPAI ada kasus di gereja, sekolah Minggu, Vihara dan lain-lain.
Ketua PW Perempuan Bangsa, Hikmah Bafaqih mengecam keras segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Baik di lingkungan rumah, pendidikan, sosial, dan ranah publik.
"Kami menuntut negara menjamin hak perempuan dan anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan dari diskriminasi, dan kekerasan," kata Hikmah.
Koordinator Gerakan Peduli Perempuan dan Anak Jatim tersebut mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum menegakkan Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan perempuan dan anak. Ia pun mengimbau semua pihak untuk menggencarkan upaya pencegahan dengan berbagai respon program yang tersistem dan terukur capaiannya.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim itu juga membeberkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim yang masih cukup tinggi. Meski dalam data Simfoni PPA Jatim ada penurunan kasus. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2020 mencapai 924 kasus.
Kemudian menjadi 901 kasus di 2021, dan 826 kasus pada 2022. "Fenomena terakhir yang menyita perhatian publik adalah tingginya angka perkawinan anak di Jatim dan kekerasan di pesantren dan sekolah berasrama," ujarnya.
Ia pun mendorong penguan pengasuhan bersama berbasis masyarakat. Menurutnya, yang tak kalah penting adalah menggencarkan literasi media sosial bagi anak dan keluarga. Kemudian, penguatan kelembagaan keluarga dengan program ketahanan keluarga, serta pencegahan perkawinan anak dengan ketat.

Kasus hukum
Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menambahkan pasal dakwaan kepada terduga pelaku penganiayaan terhadap seorang santri sebuah pesantren di Pasuruan hingga korban meninggal dunia karena mengalami luka bakar.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan Jemmy Sandra saat dihubungi di Pasuruan, Jumat (20/1), mengatakan semula institusinya menjerat terduga pelaku MHM dengan pasal 80 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak jo UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Namun, karena ada fakta baru, yakni korban meninggal dunia maka kami menambahkan pasal 80 ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014," kata dia.
Ia mengatakan berdasarkan pasal 144 KUHAP, jaksa penuntut umum diperbolehkan mengubah surat dakwaan sebelum sidang digelar. "Ditemukan fakta baru dalam kasus tersebut, yakni meninggalnya korban. Itu artinya pihak jaksa penuntut umum bisa saja menambahkan atau mengubah dakwaan sebelum dakwaan itu dibacakan di depan persidangan," ujar dia.
Kasus penganiayaan santri berinisial INF yang diduga dibakar sedianya memasuki persidangan pertama pada Kamis (19/1), namun sidang di Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, itu gagal digelar karena pihak keluarga korban belum bisa hadir. Ketidakhadiran pihak keluarga itu karena pada hari yang sama korban INF yang sempat 19 hari dirawat di RSUD Sidoarjo meninggal dunia akibat luka bakar yang diderita.
Santri INF mengalami luka bakar sekitar 70 persen di sekujur badannya. Peristiwa itu terjadi setelah korban berselisih dengan seorang santri seniornya di penghujung pergantian malam Tahun Baru 2023. INF diduga mengalami kekerasan fisik atau penganiayaan dari seniornya berinisial MHM dengan cara disiram cairan bahan bakar minyak, lalu disulut dengan korek api. Korban mendapatkan perawatan intensif di RSUD Sidoarjo hingga akhirnya meninggal dunia pada Kamis (19/1).
Sudahi Kekerasan di Pesantren
Kejadian pembakaran santri harus jadi titik aksi bersama.
SELENGKAPNYABudaya Utama Pondok Pesantren
Ada beberapa budaya pokok pondok pesantren yang harus tetap dipertahankan.
SELENGKAPNYAMeluruskan Stereotipe Tentang Pesantren
Melalui buku ini, KH Nasaruddin Umar meluruskan stereotipe yang sering dialamatkan pada pesantren.
SELENGKAPNYA