
Kitab
Meluruskan Stereotipe Tentang Pesantren
Melalui buku ini, KH Nasaruddin Umar meluruskan stereotipe yang sering dialamatkan pada pesantren.
Pesantren merupakan salah satu wujud khazanah Islam di Indonesia. Lembaga pendidikan tradisional ini berperan penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Bahkan, pengaruhnya mencuat pula dalam konteks perjuangan kemerdekaan RI. Banyak pejuang yang berasal dari kalangan kiai dan santri.
Namun, citra pesantren di dunia internasional tidak selalu positif. Sebab, berbagai stigma masih diarahkan pada institusi tersebut. Hal itu diungkapkan cendekiawan Muslim KH Prof Nasaruddin Umar. Imam Besar Masjid Isqtiqlal itu mengungkapkan kegelisahan dan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul Rethinking Pesantren.
Menurut mantan wakil menteri agama itu, segelintir masyarakat Barat mengaitkan dunia pesantren dengan pelbagai stereotip tentang kekerasan atas nama agama. Sebagai contoh, lanjut dia, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa sistem pendidikan di ponpes tidak berbeda dengan pola kaderisasi yang dilakukan Taliban.
Banyak pejuang yang berasal dari kalangan kiai dan santri.
Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini beberapa kali melawat ke Amerika Serikat (AS), baik sebagai narasumber maupun peserta seminar-seminar akademik. Ia mengaku pernah mendapati anggapan-anggapan yang beredar di publik Barat tentang miskonsepsi atas dunia pesantren. Maka dari itu, pengasuh Pondok Pesantren al-Ikhlas Bone, Sulawesi Selatan, ini memutuskan untuk menuangkan elaborasinya melalui buku ini.
Rethinking Pesantren membahas pelbagai topik. Di antaranya mengulas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, semisal “apakah sebenarnya pesantren itu?”; “bagaimana sistem pengajaran di dalamnya?”; “apa saja yang diajarkannya?”; “seperti apakah sistem kaderisasi yang diterapkan di dalamnya?”
Menurut Kiai Nasaruddin, stigma yang menyasar pesantren didasari generalisasi yang serampangan, yang mengaitkan antara terorisme-radikalisme dan praksis keagamaan-dalam pendidikan. Memang, tutur dia, beberapa kali tindakan radikal mengatasnamakan Islam. Itu pula yang mencemarkan nama baik Muslimin di dunia internasional kini.
Stigma yang menyasar pesantren didasari generalisasi yang serampangan.
Padahal, pesantren memiliki latar sejarah yang sangat panjang. Bahkan, riwayatnya mendahului dunia modern. Inilah basis utama pendidikan Islam di Indonesia. Kiai Nasaruddin pun mengajak publik Barat untuk tidak lantas menggeneralisasi, seumpama, ketika ada oknum teroris yang—kebetulan—adalah alumni ponpes.
Ia menekankan, pesantren-pesantren di Tanah Air melahirkan banyak ulama besar. Hal itu teruji dalam sejarah. Untuk sekadar menyebut beberapa nama, berikut contoh alim ulama yang dihasilkan dari dunia pesantren: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makassari, Kiai Sholeh Darat, KH Hasyim Asy’ari, dan lain-lain. Di samping menggiatkan transmisi keilmuan, mereka pun memotori diseminasi pandangan moderat dalam beragama.
Isi buku
Rethinking Pesantren terbagi ke dalam tiga bagian. Dalam bagian pertama, Prof Nasaruddin memaparkan aspek kesejarahan pesantren di Tanah Air. Kemudian, ia menjelaskan perihal tantangan-tantangan kaum santri kini.
Kiai Nasaruddin mengutip berbagai pendapat tentang definisi dan etimologi pesantren. Manfred Ziemek, misalnya, memahami pesantren sebagai sebuah istilah yang berakar dari pe-santri-an, yang berarti 'tempat tinggal.' Di tempat tinggal itu, santri mendapatkan pelajaran dari pimpinan pesantren, yaitu kiai dan para ustaz.
Adapun Nurcholis Madjid menyatakan, kata santri berasal dari bahasa Jawa Timur, yaitu cantrik yang berarti 'seseorang yang selalu mengikuti guru ke manapun perginya.'
Dari berbagai defenisi itu, Kiai Nasaruddin memahami bahwa santri tidak hanya terbatas pada individu yang sedang atau pernah mengenyam pendidikan keagamaan di pondok-pondok pesantren.
Lebih dari itu, seseorang yang belajar dan memahami ilmu-ilmu keagamaan, secara autodidak maupun via institusi-formal, dapat pula dikatakan sebagai santri. Itu dengan catatan, ilmu yang diserapnya kemudian diwujudkan dalam aktivitas keseharian.
Pesantren dikenal luas sebagai basis heroisme melawan penjajah.
Dalam buku ini, Prof Nasaruddin juga mengaitkan perjalanan pesantren dari masa ke masa dengan narasi sejarah kebangsaan Indonesia. Sebab, kalangan santri berperan penting dalam perjuangan nasional, baik selama masa penjajahan maupun pascaproklamasi kemerdekaan RI. Bahkan, lanjut dia, pesantren dikenal luas sebagai basis heroisme melawan penjajah.
Untuk sekadar menyebutkan satu contoh, di daerah Gresik, Jawa Timur, terdapat Pondok Pesantren Maskumambang. Sejak masa kolonialisme dahulu, para warga ponpes ini aktif melawan penjajah. Di sinilah para pemuda yang hendak maju perang berkumpul terlebih dahulu untuk melakukan “isian dan gemblengan". Jiwa dan raga mereka diolah dengan doa-doa dan pelatihan agar siap menghadapi musuh.
Selain itu, penulis juga membahas tentang keilmuan dan pendidikan pesantren. Menurut penulis, pelajaran utama yang diberlakukan di tiap pondok pesantren adalah membaca Alquran. Namun, masing-masing kiai memiliki kecenderungan yang berbeda-beda.
Ada yang ahli dalam beberapa hal sekaligus. Ada pula yang ahli dalam satu hal saja atau spesialisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, pondok-pondok pesantren pun mulai menerima pengajaran kitab-kitab yang dibawa oleh para ulama dari Haramain. Di antaranya adalah akhlak, fikih, tajwid, dan ushul fikih.
Melalui tulisan-tulisannya di buku ini, Prof Nasaruddin Umar ingin membangkitkan kesadaran bahwa pesantren merupakan kawah candradimuka bagi generasi Muslimin yang berpandangan moderat. Karena itu, anggapan bahwa lembaga pendidikan ini seluruhnya menyebarkan paham-paham ekstrem adalah tudingan belaka. Ia berharap, pihak-pihak Barat berhenti melakukan generalisasi yang berlebihan.
Semua pembahasan dalam buku Rethinking Pesantren pada intinya ingin mengajak para pembaca untuk mengenal pesantren lebih dekat. Buku ini layak menjadi jawaban atas stigma negatif sebagian besar media Barat terhadap dunia pesantren.
Menlu Retno: Selesaikan Akar Masalah Rohingya
Sudah 1.500 migran etnis Rohingya teregistrasi di Indonesia,
SELENGKAPNYAKhalifah Pun Menjadi Kuli Panggul
Dia juga rajin menguping langsung dari rakyat dan menyaksikan praktik langsung kebijakannya di lapangan.
SELENGKAPNYAMenjaga Ibadah Sunnah
Di antara ibadah sunnah yang mesti kita jaga shalat sunnah Rawatib dan shalat Dhuha.
SELENGKAPNYA