
Safari
Bertamu Ke Kampung Adat Cikondang
Kampung adat sejak abad ke-17 bertahan di tengah-tengah hunian modern.
Pangalengan bagaikan buku yang menyisakan halaman-halaman yang jarang terbaca. Kami sepakat membukanya dengan menapak ke Kampung Adat Cikondang. Kampung adat ini adalah satu dari kampung adat yang terdata di Kabupaten Bandung.
Berlokasi di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Kampung Adat Cikondang sudah ada sekurang nya sejak abad ke-17. Dari kota kecamatan Pangalengan, kampung ini berjarak sekitar 11 kilometer ke arah Kota Bandung. Sebaliknya dari Kota Bandung, jaraknya kira-kira 38 kilometer. Cukup satu sampai dua jam waktu tempuh dari Kota Bandung.
Jika menggunakan kendaraan umum, dari Bandung dapat menggunakan angkutan umum dari Terminal Tegalega ke arah Banjaran. Perjalanan dapat dilanjutkan menumpang angkutan umum jurusan terminal Pangalengan. Jalanan yang dilewati relatif mulus dan sepi.
Tapi, kampung ini tak terjangkau angkutan umum. Dari jalan raya, ojek adalah pilihan bila tak membawa kendaraan pribadi. Cukup dengan ongkos Rp 5.000.
Abad ke-17
Nama kampung ini berasal dari kondisi saat awal kehadirannya. Yaitu gabungan dari kata ci dari cai (sumber air), dan kondang, nama pohon di hutan tempat kampung berada. Ilin Dasyah, atau yang akrab disapa Abah Ilin, fasih bertutur soal sejarah kampung ini.
Dia adalah sesepuh adat, generasi ketujuh pendiri Kampung Cikondang. Dulu, kata dia, kampung ini berada di tengah hutan dengan mata air besar yang muncul dan membasahi sekitar pohon kondang. “Cai anu kaluar tina kondang,” ujar lelaki usia 75 tahun ini tentang asal nama kampung.

Siapa yang pertama kali membuka hutan dan tinggal di kampung tersebut, tak ada yang tahu pasti. Tapi, sejarah —setidaknya lisan— hanya bisa dirunut sampai abad ke- 17 itu. Yaitu merujuk pada penyebaran agama Islam ke kawasan tersebut.
Seperti sebagian besar wilayah di Jawa Barat, penyebaran Islam selalu terkait dengan aktivitas Sunan Gunung Jati. Konon, wilayah ini menjadi garapan salah satu murid Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Tapi, yang datang ke Kampung Cikondang adalah Syekh Muhammad Tunggal.
Bahkan Ilin maupun sesepuh desa lain tak tahu atau tak bersedia memastikan apakah Syekh Muhammad Tunggal adalah nama seseorang atau sebatas penyebutan untuk tokoh atau simbol tertentu. Seperti halnya mereka mengatakan nama leluhur kampung adalah tabu disebutkan. “Kami hanya menyebutnya sebagai Uyut Pamegeut dan Uyut Istri,” kata Ilin.
Bila tak jeli, tak ada hal yang benar-benar spesial tampak kasat mata di Kampung Cikondang. Rumah modern bercampur dengan rumah yang masih berdinding kayu.
Ternyata, sentral kampung adat ada di belakang pemukiman. Sebuah areal khusus dipagari dengan pola bersilang ‘kandang ja ga’. Isinya tak banyak. Dua bangunan rumah panggung berdinding kayu. Itu pun, satu bangunan yang di muka bukanlah bagian dari situs, karena yang mendirikan adalah instansi pemerintah daerah.
Penuh simbol
Satu bangunan adat yang ada, disebut dengan hawu. Bentuknya sederhana saja. Tapi filosofinya, dahsyat. Karena laiknya ajaran para wali dan sunan, agama Islam diajarkan dalam kemasan yang halus, penuh simbol, tapi jauh lebih mendalam daripada pola tekstual hari-hari ini.

Bentuk bangunan itu serupa huruf T, tapi dengan bagian tengah pendek saja. Bagian yang menjorok itu pun, sejatinya tidak disebut sebagai rumah, karena labelnya adalah bale.
Di belakang lahan berukuran sekitar enam kali sepuluh meter berpagar kandang jaga itu, terdapat kompleks makam. Dua gubuk menaungi makam Uyut Pamegeut. Tidak sembarang orang boleh masuk kompleks makam, yang pagarnya punya pola berbeda. Pagar kompleks makam adalah ‘gagar’ berupa bebeberapa pagar beberapa baris bambu horizontal.
‘Ritual’ di kompleks adat, berlangsung setiap Ahad malam dan Rabu malam. Ada yang mengambil tempat di sekitar makam, atau di hutan larangan yang berada di belakang ‘hawu’.
Dedi Sukaendi, tokoh setempat, mengatakan konsep kampung adat sebenarnya adalah tata lingkungan disisipi ajaran Islam. Dari lokasi, konsepnya adalah bumi. Hutan yang melingkari hawu, menjadi simbolnya, dengan pembatas pagar penjaga.
Hutan larangan pun, kata Dedi, bukan sekadar diartikan sebagai hutan yang dilarang dimasuki. Tapi lebih pada hutan yang tidak boleh dirusak, karena kehidupan bumi tergantung pada keberadaan hutan itu. Hawu, sebagai tempat tinggal kita, berada di tengah pusat bumi.
Bagi masyarakat adat, makhluk hidup sejatinya ada tiga, dan tergambar dalam tatanan kebijakan masyarakat. Ketiga makhluk itu disebut ‘cicing’, ‘nyaring’, dan ‘eling’. Lingkungan hidup yang harus dilestarikan untuk menunjang seluruh kehidupan, adalah ‘cicing’. Sedangkan ‘nyaring’ adalah sebutan untuk hewan. Manusia seharusnya merupakan makhluk ‘eling’.
Selipan ajaran Islam, kental dalam arsitektur rumah adat. Pintu rumah, hanya ada satu. Pesan yang disimbolkan adalah ketauhidan. Lima jendela dianggap sebagai simbol rukun Islam. Tiga jendela berada di sisi kanan rumah, bila kita menghadap pintu. Sedangkan dua jendela ada di sisi kiri kita, tapi satu jendela ada di samping rumah dan satu di depan.

Menurut Dedi, ada pesan kepemimpinan yang juga tersirat dalam bangunan rumah. Ruangan di dalam rumah, dibagi dua. Tepat di belakang pintu, siapa pun yang punya izin masuk, dapat menggunakannya. Tapi dua ruangan yang lain, tak sembarang bisa dimasuki. “Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Ada syarat, ada ujian,” ujar dia. Tapi, Dedi menegaskan seluruh ajaran adat kampungnya menekankan satu hal. Kesederhanaan. Apa yang kasat mata, bukanlah yang sejati. Termasuk soal ajaran, implementasi, bahkan sampai ke bangunan yang penuh simbol. Ujung yang diharapkan, tambahnya, ajaran menjadi laku nyata.
Acara besar, berlangsung setiap Muharram. Puncaknya setiap 15 Muharram, tapi kegiatan berlangsung sepanjang bulan. Dari pembuatan tumpeng massal yang jumlahnya bisa mencapai ratusan, ritual menumbuk padi, dan kegiatan pembersihan peninggalan leluhur.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 April 2012 dengan reportase Palupi Annisa Auliani dan Angga Indrawan
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.