Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga. | ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Ekonomi

Industri Tekstil Krisis, BRICS Jadi Peluang Diversifikasi Pasar Ekspor

BRICS harus dimanfaatkan untuk keluar dari ketergantungan terhadap pasar-pasar tradisional.

JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah mengalami krisis struktural. Ribuan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), kapasitas produksi terpangkas, dan pabrik-pabrik terseok menghadapi serbuan barang impor murah.

Di tengah tekanan itu, peluang baru muncul lewat kerja sama dengan negara-negara BRICS, menyusul keanggotaan penuh Indonesia di blok ekonomi tersebut sejak 2024. Potensi pasar nontradisional ini dinilai bisa menjadi jalan keluar dari stagnasi ekspor dan ketergantungan terhadap negara maju.

Kepala Kanwil Bea Cukai Sulbagsel Djaka Kusmartata menyampaikan bahwa saat ini kapasitas industri TPT nasional telah merosot hingga 55 persen. Lebih dari 150 ribu pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang 2023, disusul sekitar 14 ribu PHK tambahan pada pertengahan 2024.

“Ini paradoks. Secara nilai industri TPT tetap berpotensi tumbuh, namun kenyataannya sedang mengalami degradasi struktural akibat serbuan impor murah, undervaluasi, dan kerusakan mesin produksi yang sebagian besar berusia 10–25 tahun,” ujar Djaka seusai sidang terbuka promosi doktor Ilmu Ekonomi dengan disertasi berjudul “Integrasi Tawhidi String Relation dengan Gravity Model of Trade dalam Analisis Determinan Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia: Strategi Optimalisasi Kapasitas Produksi (2014–2023)” di Universitas Trisakti, Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga problem etika produksi dan tata kelola perdagangan global. Ia menyoroti praktik undervalue dalam bahan baku serta banjir impor dari negara-negara tertentu sebagai faktor yang memukul industri domestik.

photo
Kepala Kanwil Bea Cukai Sulbagsel Djaka Kusmartata - (Republika)

Namun di balik krisis ini, Djaka menilai keanggotaan Indonesia di BRICS menjadi peluang strategis untuk mendiversifikasi pasar ekspor. BRICS yang kini mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan lima anggota baru termasuk Indonesia, mewakili sekitar 36 persen PDB global (setara 30 triliun dolar AS) dan hampir separuh populasi dunia.

BRICS adalah blok ekonomi baru dengan preferensi dagang yang makin menguat. BRICS harus dimanfaatkan untuk keluar dari ketergantungan terhadap pasar-pasar tradisional seperti Amerika Serikat yang saat ini justru mulai menerapkan tarif resiprokal.

"Perluasan pasar yang non-konvensional itu diperlukan, karena kita harus memperluas jaringan. Sehingga apabila kita dapat memanfaatkan kesempatan perluasan jaringan, maka peluang kita untuk berdagang semakin lebar. Itu hanya bisa ditempuh di pasar-pasar yang memang belum ramai dengan kompetisi,“ katanya.

Djaka juga menekankan pentingnya sinergi antarpemangku kepentingan untuk mengoptimalkan peluang ekspor ke BRICS.

Dalam disertasinya, ia mengusulkan model integratif berbasis Gravity Model of Trade (GMT) yang dikombinasikan dengan pendekatan Tawhidi String Relation (TSR), sebuah teori ekonomi Islam yang menekankan relasi etis, keberlanjutan, dan kesalingan manfaat dalam perdagangan global.

Hasil disertasinya menunjukkan bahwa dari delapan variabel GMT yang diuji, antara lain GDP negara tujuan, infrastruktur, jarak, tarif, dan perjanjian dagang, variabel infrastruktur menjadi penentu utama keberhasilan ekspor TPT. Sementara GDP negara mitra justru berpengaruh negatif, menunjukkan bahwa pasar dengan PDB tinggi belum tentu menyerap produk TPT Indonesia secara optimal.

Ia juga menekankan pentingnya optimalisasi pemanfaatan free trade agreement (FTA) dan standardisasi produk, baik melalui ISO maupun sertifikasi tekstil berkelanjutan.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat