
Safari
Pangalengan, Swiss Tanpa Salju
Ada sejuta identitas yang kita bisa sematkan pada Pangalengan.
Pangalengan. Apa yang seketika terbersit di benak Anda, yang mengaitkannya dengan Pangalengan? Sepertinya tidak ada, ya. Bagi warga Bandung dan sekitarnya, bisa jadi jawaban pertanyaan di atas adalah susu sapi. Tapi lebih karena pasokan susu untuk Kota Bandung memang berasal dari wilayah di sekitarnya, termasuk Kabupaten Bandung, tempat Pangalengan berada. Atau, akan disebut sentra sayuran. Padahal mungkin juga hanya menebak, dengan mengira-ngira posisi Pangalengan di atas peta. Sementara sentra sayuran juga bertebaran di sekitar Bandung Raya.
Berbeda dengan misalnya saat disebut Sumedang, kita bisa lebih cepat menjawab ‘tahu’ sebagai produk yang identik. Apalagi bila disebut Garut, pasti langsung menyebut dodol. Padahal, ada sejuta hal bisa disebutkan, bila kita menjelajah Pangalengan. Bahkan, pada satu masa, Pangalengan dikenal orang sebagai Swiss-nya Indonesia. Belum lagi, Pangalengan adalah daerah yang punya ‘tali darah’ lebih kuat dengan Bosscha, ketimbang keberadaan observatorium di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang mengadopsi namanya.
Pangalengan dengan perkebunan tehnya, sampai hari ini juga merupakan pemasok teh kualitas nomor satu standar jamuan teh kerajaan Inggris, ke berbagai negara. Meski ironisnya, Indonesia kini juga merupakan pengimpor teh untuk ‘kelas rakyat’. Posisi kawasan ini sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang pernah dibangun kolonial Belanda, tak seharusnya begitu saja menguar, tersaput kabut kerentanan ingatan dan kelalaian.
Beragam situs juga tak bisa diabaikan di wilayah yang kini masuk kawasan administratif Kabupaten Bandung. Tak hanya menjadi lokasi Gunung Wayang yang merupakan hulu Sungai Citarum —sungai terbesar di Jawa Barat— tapi juga beragam jejak sejarah peninggalan Islam dan Galuh Pakuan Padjadjaran. Setiap situs maupun komunitas adat menorehkan sejarah, peran, dan mitos yang tak bisa diabaikan pula.

Alam dan iklim, adalah anugerah terindah yang dimiliki Pangalengan. Dari kedua nya, beragam potensi kekayaan alam berasal. Meski banyak tanaman yang hari ini dicatat sebagai produk Pangalengan bukan merupakan tanaman asli lokal, tapi alam menjadikannya sebagai komoditas yang pada masanya mendulang banyak pundi. Dari alam juga, julukan Swiss-nya Indonesia untuk Pangalengan, berawal. Terutama untuk kawasan Situ Cileunca. situ ini bukan satu-satu nya yang ada di Pangalengan.
Alam pula yang sudah menghidupkan beragam tradisi yang kini masih dirawat sejumlah kampung adat. Meski lebih banyak balutan ‘mistifikasi’ yang tertinggal, namun kearifan lo kal kental terasa saat kita mau menggali sedikit lebih dalam. Dari Cikondang, perjalanan kearifan lokal akan berawal. Cagar Alam Gunung Tilu menjadi penghujungnya. Semua yang terangkai di dalamnya, memiliki jejaring ikatan. Antara fakta, cerita, dan mitos, tapi menyimpan kearifan lokal yang dalam. Penjelajahan pun harus dimulai.
Situ Cileunca
Sebutan Pangalengan sebagai Swiss-nya Indonesia, sebenarnya bermula dari situ ini. Sebuah danau yang jernih, dengan hutan di belakang, dan di seberang terlihat sesosok gunung. Sebuah foto lama, disebutkan dalam referensi diambil pada 1927, menyimpankan kenangan tentang situasi itu.
Salah satu kisah hebat yang boleh dikulik bila datang ke sini, adalah mitos pembangunan situ ini. Konon, Situ Cileunca tidak digali dengan cangkul, tapi menggunakan halu. O,iya, situ ini dibangun pada rentang 1919 sampai 1926. Kehadiran Situ Cileunca, diperkirakan terkait grand designpengembangan Pangalengan oleh peme- rintah kolonial Belanda. Yaitu, perkebunan, peternakan, dan wisata.

Seperti banyak catatan sejarah Indonesia, banyak catatan soal Pangalengan justru dimiliki dan ada di lembaga bahkan negara Belanda. Salah satu yang bisa cukup dekat diakses, bila berminat, adalah KITLV yang bahkan punya perwakilan di Jakarta. Yaitu di kawasan Jl Prapanca Raya, Kebayoran Baru.
Cagar Alam Gunung Tilu
Tak banyak yang tahu tentang Cagar Alam Gunung Tilu. Kalaupun ada yang tahu soal Gunung Tilu, kebanyakan juga hanya sebatas sebagai kawasan perkebunan teh, atau lebih parah hanya sekadar terlihat dari Pa ngalengan.
Cagar Alam Gunung Tilu dari Kota Bandung, adalah menuju Ciwidey, dilanjutkan ke Gambung, sejauh 40 kilometer, melalui jalan raya yang kini sudah mulus. Dari Gambung menuju cagar alam, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sejauh satu kilometer.
Teh putih adalah produk sangat spesial yang dihasilkan dari kawasan ini. Hanya satu pucuk daun per pohon teh, yang bisa menghasilkan teh jenis ini. Itu pun dengan perlakuan khusus, untuk memastikan kadar zat istimewa di dalamnya maksimal.
Konon, teh putih dapat menenangkan peminumnya, menjadikan lebih sigap dan percaya diri. Harganya ? Satu juta rupiah per kilogram. Mungkin hari ini lebih mahal lagi.

Gunung Tilu ditetapkan sebagai cagar alam sejak 1978. Barangkali hanya para peneliti yang cukup akrab dengan cagar alam yang membentang seluas 8.000 hektare ini. Flora dan fauna yang ada di dalamnya menggoda untuk ditelaah. Salah satu yang cukup langka, adalah 48 jenis anggrek, yang menempel pada beragam pohon besar. Beberapa di antaranya adalah Apendikula ramosa, Agrostophyllum denbergeri, Coelogine miniata, Liparis pholidota, Cymbidium roseum, dan Phaius flavus.
Ingin melihat taman anggrek di hamparan liar ? Coba jajal cagar ini. Bahkan konon ada satu jenis anggrek yang kembangnya bisa bertahan satu bulan, tak seperti anggrek lain yang hanya berumur sepekan.
Surili, menjadi maskot Cagar Alam Gunung Tilu. Jenis primata ini tak dijumpai di kawasan lain. Dia adalah primata pemakan daun muda. Termasuk salah satu satwa yang dilindungi, karena populasinya diperkirakan tak sampai sepuluh ribu ekor. Habitat Surili baru diketahui di kawasan Jawa Barat dan Banten.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 April 2012 dengan reportase Palupi Annisa Auliani dan Angga Indrawan
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.