Warga menunjukan surat suara sebelum mengunakan hak pilihnya saat pemungutan suara susulan Pilkada 2024 di Kelurahan Tanjung Gusta, Medan Helvetia, Medan Sumatera Utara, Ahad (1/12/2024). | ANTARA FOTO/Yudi Manar

Opini

Terapan Demokrasi Pascareformasi di Indonesia: Kedudukan Pancasila dalam Konteks Kekinian

Demokrasi Indonesia saat ini membutuhkan penataan ulang.

OLEH Aulia Imran (Mahasiswa S1 Hukum Universitas Nasional Jakarta)

Reformasi 1998 digadang sebagai titik balik demokrasi Indonesia dari masa kelam otoritarianisme Orde Baru. Harapan besar masyarakat tersemat pada kebebasan berpendapat, pers yang bebas, serta pelibatan rakyat dalam proses politik. Namun, dua dekade lebih berlalu, kita perlu mempertanyakan: apakah demokrasi pascareformasi sungguh berpijak pada Pancasila atau justru menjauh darinya?

Empat kali amandemen UUD 1945 memang mencerminkan upaya demokratisasi, terutama melalui pembatasan masa jabatan presiden dan reposisi MPR. Namun, dampaknya tidak selalu ideal. Tidak adanya pedoman pembangunan jangka panjang seperti GBHN mengakibatkan arah pembangunan bergantung pada rezim yang berkuasa. Inilah yang menjadikan proyek-proyek besar seperti Hambalang dan IKN kehilangan legitimasi kolektif.

Pemilu langsung adalah buah manis reformasi, tetapi juga melahirkan politik biaya tinggi dan transaksi oligarki. Nilai-nilai musyawarah mufakat, sebagaimana sila keempat Pancasila, tergusur oleh kepentingan elektoral semata. Demokrasi seolah menjadi arena pertarungan uang dan popularitas, bukan adu gagasan dan integritas.

Fenomena “cebong vs kampret” dalam dua pilpres terakhir menandakan rusaknya etika demokrasi. Polarisasi politik berubah menjadi konflik horizontal yang memecah masyarakat. Semangat gotong royong dan persatuan, jantung dari sila ketiga Pancasila, tergerus oleh kampanye hitam dan ujaran kebencian yang terstruktur.

Data dari KPK dan ICW menunjukkan kepala daerah yang terseret kasus korupsi terus meningkat. Ini bukan sekadar masalah individu, tetapi sistemik. Ketika jabatan politik ditentukan oleh logistik dan modal kampanye, maka pemimpin lebih berutang budi pada donatur daripada rakyat. Akibatnya, sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi korban pertama.

Semangat keterbukaan pascareformasi melahirkan banyak partai politik, namun jumlah bukan jaminan kualitas. Alih-alih menjadi corong aspirasi rakyat, partai-partai sering kali menjadi kendaraan elite untuk mengamankan kepentingan. Praktik koalisi pascapemilu juga menihilkan fungsi oposisi dan pengawasan kekuasaan.

Partai politik yang seharusnya menjadi mitra kritis pemerintah justru terjebak dalam euforia kekuasaan. Akibatnya, kontrol terhadap kebijakan publik melemah. Rakyat dibiarkan menghadapi kebijakan yang tidak pro terhadap kesejahteraan mereka. Inilah bentuk pengkhianatan terhadap sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila sering hanya menjadi jargon dalam pidato dan kampanye politik, tanpa penghayatan dan implementasi yang nyata. Ketika nilai luhur seperti musyawarah, keadilan, dan kemanusiaan tidak diinternalisasi dalam praktik bernegara, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Demokrasi menjadi prosedural, bukan substantif.

Penting untuk merevitalisasi pendidikan Pancasila yang tidak hanya menghafal sila-sila, tetapi juga memahami makna dan penerapannya. Namun, pendidikan nilai tidak akan efektif jika para pemimpin bangsa gagal memberi teladan. Keteladanan elit dalam menjunjung etika politik dan moralitas publik menjadi prasyarat utama bangkitnya Demokrasi Pancasila.

Demokrasi Indonesia saat ini membutuhkan penataan ulang. Bukan dengan kembali ke model otoritarian Orde Baru, tetapi dengan merevitalisasi nilai-nilai Pancasila secara jujur dan berkesinambungan. Arah pembangunan harus dikembalikan ke jalur kebersamaan, pemilu harus disucikan dari praktik oligarki, dan partai harus dikembalikan pada fungsi kerakyatan. Jika tidak, maka demokrasi akan terus menjadi panggung pertunjukan elite, bukan rumah bersama rakyat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat