Sejumlah massa Masyarakat Cinta Rasulullah melakukan Aksi Damai Bela Nabi di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (30/10). Mereka mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai telah menyinggung umat islam serta meny | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Laporan Utama

Mencintai Nabi di Tengah Karikatur Islamofobia

Banyak negara Barat masih menderita sindrom etnosentrisme kebudayaan, termasuk agama.

Maulid Nabi menjadi sarana untuk menebalkan cinta kepada Rasulullah SAW. Pada momentum istimewa ini, umat Islam dunia diuji dengan fenomena karikatur Nabi yang menampakkan semangat Islamofobia di Prancis. Meski amat menyakitkan, butuh sikap yang cerdas dan akhlak beradab dari kaum Muslimin untuk menyikapi perilaku tak beradab itu.

Charlie dan Hilangnya Sensitivitas Media

 

 

Tahun ini, Charlie Hebdo kembali membuat heboh dengan memasang karikatur Nabi Muhammad SAW. Mereka berdalih itu merupakan hak dari kebebasan berekspresi.

Direktur Charlie Hebdo, Laurent Sourisseau, seperti dikutip France 24, tak menyesal dengan publikasi karikatur yang menuai protes dari kaum Muslimin. "Saya tak ingin menjadi tergantung dari rasa kesewenangan-wenangan fanatik. Tidak ada yang perlu disesalkan," kata Sourisseau.

Pengamat komunikasi Universitas Padjadjaran, Prof Deddy Mulyana, menilai, banyak faktor yang membuat sejumlah media di Eropa kerap memasang konten-konten yang menyinggung komunitas Muslim. Charlie Hebdo yang berkali-kali memuat karikatur Nabi Muhammad hanya salah satunya.

Menurut Deddy, sebagian besar negara Barat masih menderita sindrom etnosentrisme kebudayaan, termasuk agama. Mereka meremehkan kebudayaan lainnya terlebih nonkulit putih serta ajaran dan nilai agama minoritas.

Meski demikian, Deddy menilai, tidak semua negara di Eropa memiliki kecenderungan merendahkan Islam sebagai agama minoritas di kebanyakan negara Eropa. Inggris, misalnya, justru mempunyai hubungan yang baik dengan komunitas Muslim. Menurut Deddy, hal tersebut tergambar dalam banyak tayangan-tayangan media Inggris yang juga banyak mengakomodasi komunitas Muslim.

Untuk media-media dari Prancis, Deddy menilai, mereka tidak memiliki sensitivitas terhadap keragaman budaya dan agama. Demi kepentingan bisnis, sejumlah media justru memilih menyuguhkan konten-konten yang menarik sensasi kendati menyinggung budaya maupun agama.

Padahal, dia berpendapat, saat teknologi semakin canggih, seyogianya media digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, perdamaian, kemajuan bersama. "Bukan untuk saling meremehkan dan merendahkan. Jelas bahwa mereka (media Eropa seperti Charlie Hebdo) tidak punya sensitivitas dan kepekaan antarbudaya," ujar dia.

 
Jelas bahwa mereka (media Eropa seperti Charlie Hebdo) tidak punya sensitivitas dan kepekaan antarbudaya
 
 

Jika memiliki empati, kata dia, mereka cukup cerdas sehingga tak akan menerbitkan konten yang memancing reaksi. Deddy menegaskan, mereka seharusnya mengerti kemuliaan Nabi Muhammad bagi kaum Muslimin yang amat tinggi dan mulai dari siapa pun.

Selain itu, Deddy menilai, ada stereotipe negatif akut yang terjadi pada orang-orang Eropa dalam memandang Islam. Steorotipe tersebut mempengaruhi media-media dalam menyuguhkan konten yang menstigma umat Islam sebagai teroris dan radikalis.

Di samping itu, pemberitaan media Eropa dinilai tidak berimbang khususnya pada kasus-kasus kekerasan atau pelanggaran hak asasi yang menimpa komunitas Muslim di Eropa maupun belahan dunia lain. Di lain sisi, kasus-kasus yang berkaitan dengan kelompok Muslim menjadi perhatian serius dan cenderung dibesarkan.

"Mereka menganut freedom of the press, paling-paling tanggung jawab sosial. Sekarang ada yang berbau ekonomi media, komoditas. Apa pun bisa disiarkan sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan, memang itulah yang mereka anut," kata dia.

Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh menilai, penghinaan pada simbol agama seperti memuat karikatur Nabi Muhammad yang dilakukan Charlie Hebdo dengan dalih kebebasan berekspresi tidak dapat dibenarkan. Menurut Nuh, meski kebebasan pers sangat penting, tapi harus tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.

Nuh menegaskan, pers Indonesia tidak mengenal kemerdekaan sebebas-bebasnya tanpa ada batas. Menurut dia, kemerdekaan pers penting, tetapi harus dibingkai oleh kode etik jurnalistik.

"Dalam kode etik jurnalistik itu ada hal yang tidak boleh dilampaui, termasuk penghinaan kepada orang per orang, apalagi terhadap simbol-simbol agama. Seperti Charlie Hebdo dan lainnya. Tidak mungkin kita hidup tanpa ada saling meng hormati dan menghargai," kata Nuh.

 
Dalam kode etik jurnalistik itu ada hal yang tidak boleh dilampaui, termasuk penghinaan kepada orang per orang, apalagi simbol agama.
MUHAMMAD NUH, Ketua Dewan Pers
 

Di balik konten media yang menghina simbol-simbol Islam, dia menilai, terdapat pihak-pihak yang memiliki pandangan anti-Islam. Mereka menggunakan media untuk menyalurkan pemikiran dan cara pandang yang sejatinya keliru terhadap Islam.

Di samping itu, Nuh mengungkapkan, munculnya konten-konten tersebut bisa jadi bagian dari strategi bisnis. "Dari isu sensitif itulah nanti muncul pembaca, publik respons. Bererti media itu dapat iklan. Media itu kan baru dapat makna kalau ada pembaca yang merespons," kata dia.

Nuh menilai, apa yang dilakukan seperti oleh Charlie Hebdo kemungkinan tidak terjadi di Indonesia. Menurut dia, apabila ada media di Tanah Air yang melakukan penghinaan terhadap simbol-simbol agama, terlebih Islam, maka terancam akan gulung tikar karena ditinggal pembaca dan menurunnya iklan. "Itu bunuh diri bagi media kalau melakukan penghinaan terhadap simbol agama," ujar dia.

photo
Sebuah foto yang dipasang menunjukkan sampul mingguan satir Prancis Charlie Hebdo dengan kartun kontroversial Nabi Muhammad yang diterbitkan pada 2012, berada di antara surat kabar Prancis lainnya, pada hari pembukaan persidangan serangan, di Paris, Prancis, 2 September 2020. Serangan aksi teror terhadap Charlie Hebdo di Paris terjadi pada 7 Januari 2015  - (EPA)

Selesaikan Islamofobia dan Ekstremisme

 

Pembunuhan seorang guru oleh seorang remaja di Prancis telah menimbulkan kekhawatiran meningkatnya Islamofobia. Akibat insiden itu, ketegangan antara negara dan Muslim Prancis kian dalam. Muslim Prancis khawatir kematian tragis guru bernama Samuel Paty itu dijadikan senjata untuk memajukan kebijakan pemerintah yang berpotensi mencampurkan Islam dengan terorisme.

Kekhawatiran itu semakin meningkat setelah presiden Emmanuel Macron pada 2 Oktober 2020 lalu meluncurkan sebuah rencana melawan apa yang disebutnya sebagai separatisme Islam dan mengatakan Islam dalam krisis di seluruh dunia. Muslim menjadi sasaran.

"Saya yakin Macron menggunakan Islamofobia untuk memperkuat kampanyenya," kata seorang aktivis Muslim Prancis, Yasser Louati, dilansir Aljazirah.

Sebelumnya, Samuel Paty (47 tahun) dibunuh dengan cara dipenggal oleh seorang remaja bernama Abdoullakh Anzorov (18 tahun). Paty dibunuh dalam perjalanan pulang dari sekolah tempat dia mengajar pada Jumat (16/10) lalu di Conflans-Sainte-Honorine, pinggiran Paris, Prancis.

Anzorov merupakan seorang remaja etnis Chechen dari Chechnya, Rusia, yang lahir di Moskow. Ia telah ditembak mati oleh polisi.

Tersangka disebut marah karena guru sejarah dan geografi tersebut pada Oktober lalu menunjukkan serangkaian kartun dan karikatur Nabi Muhammad saat ia mengajar kelas tentang kebebasan berekspresi kepada murid-muridnya. Insiden itu menuai curahan kesedihan dan keterkejutan di antara para pejabat tinggi.

Pada Rabu lalu, Paty secara anumerta menerima Legiun d'Honneur, sebuah penghargaan tertinggi Prancis, dalam sebuah upacara yang dihadiri Macron. Ribuan orang juga melakukan protes atas pembunuhan tersebut. Beberapa hari setelah pembunuhan, pemerintah melancarkan tindakan keras terhadap organisasi Muslim.

Sementara itu, kelompok sayap kanan main hakim sendiri dengan menyerang masjid. Beberapa Muslimah bahkan diserang. Tempat ibadah di Beziers dan Bordeaux telah ditempatkan di bawah perlindungan polisi setelah diancam dengan kekerasan.

Dewan Kepercayaan Muslim Prancis meyakinkan negara-negara Muslim bahwa Muslim di Prancis tidak dianiaya pascarentetan kasus yang terjadi. "Prancis adalah negara besar, warga Muslim tidak dianiaya. Mereka dengan bebas membangun masjid dan menjalankan agama mereka dengan bebas," kata ketua Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFMC) Mohammed Moussaoui, seperti dilansir France 24.

photo
Seorang pekerja supermarket di Yaman menurunkan produk-produk buatan Prancis dari rak di ibu kota Yaman, Sanaa, Senin (26/10). Aksi boikot produk Perancis menyusul pernyataan Presiden Perancis Emmanuele Macron yang menyebut Islam sebagai agama yang tengah mengalami krisis - (AP/Hani Mohammed)

Pernyataan itu dikeluarkan CFMC setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan akan memerangi kelompok radikal Islam dan menyebut Islam sebagai agama yang mengalami krisis. Itu disampaikan Macron pascakasus pemenggalan guru sejarah yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad sebagaimana yang diterbitkan majalah Charlie Hebdo kepada murid-muridnya. Setelah Macron mengeluarkan pernyataan itu, negara-negara mayoritas Muslim bereaksi dan melayangkan protes.

Di beberapa negara seperti Suriah dan Libya, massa membakar foto presiden dan bendera Prancis. Tak hanya itu, beberapa negara juga memboikot barang-barang asal Prancis, seperti Qatar, Kuwait, Yordania, dan Turki.

photo
Gambar rak di salah satu pusat perbelanjaan di Kuwait yang dikosongkan dari produk-produk Prancis, Ahad (25/10). - (Ahmed Hagagy.Reuters)

Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Muhammad Nur Hayid menilai Islamofobia yang kini semakin akut terjadi di Barat salah satunya dilatarbelakangi oleh pola-pola dakwah yang tidak tepat. Segelintir Muslim cenderung menyerang orang-orang yang memiliki pandangan berbeda sehingga membuat stereotipe negatif terhadap Islam.

Menurut Gus Hayid, bibit-bibit Islamofobia sebenarnya juga terlihat di Indonesia meski dapat diantisipasi oleh pemerintah melalui penegakan hukum. Tetapi, menurut dia, untuk potensi pelecehan simbol-simbol agama seperti yang dilakukan oleh Charlie Hebdo, kecil kemungkinan terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia.

"Kita harus terus melakukan dakwah Islamiyah dengan dakwah yang toleran, moderat, bijak seperti yang dicontohkan Rasul agar bibit Islamofobia ini tidak tumbuh," katanya.

Lebih lanjut, Gus Hayid menilai sikap Prancis yang membiarkan Charlie Hebdo melakukan penghinaan terhadap simbol agama telah mencederai demokrasi. Dia mendorong agar Islam di negara-negara Barat dikomunikasikan lewat dakwah yang moderat. "Dari situ, mereka bisa mendapatkan pemahaman jika Islam tak seperti yang dibayangkan."

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Да обезобразит Всевышний лицо этой твари и всех его последователей, которые под лозунгом свободы слова оскорбляют чувства более полутора миллиарда верующих мусульман. Да унизит их Всевышний в этой жизни, и в следующей. Аллах скор в расчёте и вы это увидите. Мы - мусульмане, любим нашего Пророка Мухаммада (да благословит его Аллах и приветствует) больше, чем наших матерей, отцов, детей, жён и всех остальных близких нашему сердцу людей. Поверьте мне, эти провокации им выйдут боком, конец всегда за Богобоязненными. - ‎قبح الله وجه هذا الأبتر وجميع تبعهم الذين يؤذون الشعور أكثر من نصف مليار مسلم تحت قناع الحرية ‎أذلهم الله في الدنيا والآخرة إن الله سريع الحساب ‎نحن مسلمون نحب رسولنا ونبينا محمد صلى الله عليه وسلم أكثر من أمهاتنا وآبائنا وأبنائنا وأزواجنا ومن جميع خلق الله سبحانه وتعالى ‎صدّقوني هذه الاستفزازات سوف تخرج من أعناقهم والعاقبة للمتقين - Holy Quran 33:57 ------------------ إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا Воистину, тех, которые поносят Аллаха и Его Посланника, Аллах проклял в этом мире и в Последней жизни и уготовил им унизительные мучения.

A post shared by Khabib Nurmagomedov (khabib_nurmagomedov) on

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat