Petani mengangkut hasil panen padi yang telah dipilah di area persawahan Pajukukang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (27/8). Area persawahan di daerah itu mengalami kekeringan akibat kemarau. | ANTARA FOTO/Arnas Padda

Tajuk

Antisipasi Dampak Kemarau

Meluasnya gagal panen tentu akan berdampak pada ketahanan pangan nasional.

Selama masa pandemi Covid-19, bencana demi bencana masih terus melanda negeri ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sejak Januari hingga akhir Juni 2020, total bencana alam yang terjadi di seantero negeri mencapai 1.549 kali. 

Sekitar 99 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor dan angin puting beliung. Akibatnya, 198 jiwa meninggal, 8 hilang,  273 luka-luka dan mengungsi 2,3 juta. Tak hanya itu, ribuan bencana itu telah menyebabkan rusaknya 21.496 unit rumah, 430 unit tempat peribadatan, 382 unit sarana pendidikan dan 67 unit sarana kesehatan. 

Memasuki September, kita dihadapkan pada ancaman bencana kekeringan. Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperkirakan bahwa puncak kemarau masih akan terjadi antara Agustus hingga September 2020. Saat ini, sekiktar 85 persen daerah zona musim telah memasuki musim kemarau. Daerah-daerah itu telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari, dan di atas 60 hari.

 
Meluasnya gagal panen tentu akan berdampak pada ketahanan pangan nasional. 
 
 

Dampak kemarau mulai dialami sejumlah daerah di Tanah Air. Sejumlah wilayah di Jawa Barat dilaporkan mulai mengalami kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar mencatat, sejumlah wilayah seperti Bogor, Indramayu dan Cirebon sudah mulai kekeringan.

Dari Mataram, NTB, Dinas Pertanian Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyebutkan sekitar 400 hektare areal pertanian berpotensi terdampak kekeringan. Fenomena yang sama juga terjadi di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di wilayah itu juga ratusan hectare tanaman padi  terancam kekeringan saat memasuki musim kemarau ini.

Kita tentu berharap pemerintah pusat dan daerah segera bergerak untuk mengantisipasi dampak kemarau ini. Pemerintah harus memastikan masyarakat yang terdampak kemarau mendapatkan pasokan air bersih. Air adalah sumber kehidupan yang utama bagi manusia. Jika kebutuhan air bersih tak terpenuhi, maka akan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat.

Langkah cepat perlu dilakukan. Jangan sampai krisis air bersih menyebabkan munculnya wabah penyakit baru. Menurut WHO, krisis air bersih dapat memicu sederet wabah antara lain, kolera, hepatitis, polymearitis, typoid, disentrin trachoma, scabies, malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan.

Saat ini, bangsa ini tengah mengerahkan segala energinya untuk menghadapi pandemi Covid-19. Karenanya, jangan sampai penyakit akibat krisis air bersih muncul karena akan semakin membebani. 

Pemerintah bisa merangkul lembaga amil zakat nasional (Laznas) untuk membantu daerah krisis air bersih. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk memastikan semua warga untuk mendapatkan haknya menikmati air bersih. Dan, masyarakat yang sedang mengalami krisis air bersih perlu memiliki kesadaran untuk menghemat air dan lebih menjaga kebersihan lingkungannya.

Dampak kedua yang harus diantisipasi dari bencana kemarau adalah gagal panen atau fuso. Karenanya, pemerintah pusat dan daerah harus bergerak cepat untuk mendata area persawahan yang terancam gagal panen akibat kekeringan. Tak cuma itu, pemerintah harus segera membantu menyediakan pompa-pompa air agar sawah dan kebun bisa tetap terairi.

 
Sudah menjadi tugas pemerintah untuk memastikan semua warga untuk mendapatkan haknya menikmati air bersih. 
 
 

Meluasnya gagal panen tentu akan berdampak pada ketahanan pangan nasional. Tentu hal ini tak akan terjadi apabila pemerintah segera mengambil langkah-langkah penyelamatan. Bukan hanya mengancam ketahanan pangan, gagal panen juga bisa membuat angka kemiskinan masyarakat di pedesaan terus meningkat.

Dampak lainnya yang harus diantisipasi di musim kemarau ini adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kita tentu perlu mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat untuk mencegah karhutla. BNPB, misalnya, mengedepankan pelibatan semua unsur dalam pentaheliks, yakni pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media massa untuk mencegah terjadinya karhutla. 

Dan, sudah enam provinsi telah menetapkan status siaga darurat karhutla. Kita tak boleh lengah. Karhutla yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya lalu tentu tak boleh terulang. Karena dampak yang ditimbulkannya sangat besar dan merugikan rakyat dan bangsa ini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat