Perajin menunjukkan produk kerajinannya yang dipasarkan melalui media daring di Desa Peunaga Cut Ujong, Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Jumat (3/7). | ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS

Opini

Hindari Jadi Negara Gagal

Pemerintah punya peluang besar mereformasi ekonomi politik secara mendasar.

Oleh DIDIN S DAMANHURI

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Sangat banyak potensi Indonesia untuk sukses jadi ‘’negara besar dan makmur’’ pada masa depan. Antara lain karena faktor kekayaan alamnya yang luar biasa, bonus demografi hingga 2035, dan kecerdasan lapisan terpelajarnya.

Dunia mencatat, Habibie dan banyak lulusan program doktor di dalam ataupun luar negeri yang diakui secara internasional. Juga kearifan lokal dengan ditahbiskannya Indonesia oleh Global Giving Index tahun 2018 sebagai ‘’masyarakat paling dermawan’’.

Di sisi lain, Indonesia memiliki ‘’modal sosial’’, juga sebagai ‘’negara demokrasi terbesar ketiga’’ setelah AS dan India.

Namun, mengapa ketika bicara Why Nation Fail, buku best seller dunia yang ditulis dua wartawan Daren Acemoglu dan James Robinson yang terbit 2015 dan dicetak ulang 2019, Indonesia juga dikategorikan bisa jadi negara gagal?

 
Di sisi lain, Indonesia memiliki ‘’modal sosial’’, juga sebagai ‘’negara demokrasi terbesar ketiga’’ setelah AS dan India.
 
 

Buku yang mendapatkan penghargaan Pulitzer ini, analisisnya sangat komprehensif dengan membandingkan data sejarah (time series) dan perbandingan antarnegara (cross section). Yakni, membandingkan negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.

Indonesia dihadapkan sebagai negara miskin dengan Singapura dan Malaysia (dua negara paling sukses) sebagai yang lebih makmur di Asia Tenggara.

Acemoglu-Robinson menyimpulkan, sebuah negara bisa jadi negara miskin dan terancam gagal, bukan karena alasan geografi dengan iklim dan kekayaan alamnya (seperti ada mitos utara lebih kaya dan selatan lebih miskin), budaya (ada teori culture of poverty dari kalangan antropolog, pen.), serta elite yang malas (tuduhan penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya, pen).

Menurut kedua penulis buku ini, dari hasil analisis data sejarah dan perbandingan antarnegara, yang menjadikan sebuah negara gagal lebih pada faktor ekonomi-politik. Tesis utamanya, umumnya negara yang makmur kalau lebih inklusif (terbuka dan demokratis).

Sementara itu, negara yang gagal adalah yang ekstraktif (tertutup dan pengelolaan ekonominya dipenuhi pemburu renten). Adanya pemburu renten karena regulasi yang tak berkeadilan, pasar yang terdistorsi, elite yang otoriter.

Selain itu, monolitisme (antidemokrasi, tidak ada ruang perbedaan pandangan politik serta kontrol terhadap parpol), tidak adanya akses terbuka bagi para pelaku UMKM terhadap sumber-sumber kemajuan, seperti perbankan, teknologi, dan tata ruang, misalnya.

Jadi, besarnya potensi Indonesia menjadi negara besar yang makmur juga bisa dilihat, apakah terdapat struktur dan budaya dari ekonomi politik yang menghalanginya? Misalnya, dengan adanya UU KPK baru, UU Minerba, RUU Cipta Kerja, dan seterusnya yang bermasalah.

Regulasi itu ditengarai tak berkeadilan karena lumpuh dalam pemberantasan korupsi, ada kelompok kepentingan tambang batu bara, hilangnya prinsip analisis dampak lingkungan, adanya ancaman terhadap tenaga kerja lokal dari serbuan tenaga kerja asing.

Kalau mekanisme pasar yang belum sehat karena adanya monopoli dan oligopoli sudah banyak penelitiannya. Masih banyaknya elite yang tertangkap tangan KPK sebelum UU KPK baru juga sudah banyak dilaporkan media.

Juga adanya gejala turunnya level demokrasi, the Economic Intellegence Unit melaporkan, pada 2019, turunnya indeks demokrasi Indonesia bersamaan dengan naiknya indeks demokrasi Malaysia.

 
Seharusnya untuk menghindari jadi negara gagal, pemerintah punya peluang besar mereformasi ekonomi politik secara mendasar.
 
 

Terkait kurang terbukanya akses UMKM, antara lain, dirilis Bank Indonesia. Disebutkan, turn over perbankan sekitar Rp 8.000 triliun, UMKM yang sebanyak 99,99 persen dari total uni usaha, hanya memperoleh 18 persen dana perbankan.

Sisanya, yang 82 persen masuk ke kelompok usaha besar yang hanya berjumlah ribuan dari jumlah unit usaha sekitar 65 juta menurut data BPS. Jadi, itulah realitas baru yang kita hadapi pada era reformasi, yang mana pada masa prareformasi berbagai indikatornya lebih baik.

Dengan demikian, jika Indonesia mau masuk normal baru pascapandemi Covid-19, seharusnya untuk menghindari jadi negara gagal, pemerintah punya peluang besar mereformasi ekonomi politik secara mendasar.

Reforma tersebut dilakukan terhadap struktur dan isi seperti telah disebutkan di atas, yang merupakan batu sandungan yang sangat mengganggu terhadap regulasi berkeadilan, mekanisme pasar yang sehat, demokrasi, pemerintahan, serta akses terbuka bagi UMKM.

 
Pertama, adanya pasar yang diisi kaum entrepreneur sejati, bukan para pemburu renten, apalagi kaum oligarki finansial ataupun poltik.
 
 

Reforma bisa dalam bentuk revisi berbagai UU dan terobosan kebijakan langsung dari negara. Mengunci teorinya, Acemoglu-Robinson menyatakan, negara yang terbuka memiliki empat serangkai kunci.

Pertama, adanya pasar yang diisi kaum entrepreneur sejati, bukan para pemburu renten, apalagi kaum oligarki finansial ataupun poltik.

Kedua, adanya individu kreatif dan inovatif yang keberadaannya terjamin dalam ruang publik, baik ekonomi (dalam pasar yang sehat) maupun politik (demokrasi yang substansial).

Ketiga, masyarakat sipil yang kuat. Beruntung kita mempunyai ormas, seperti Muhammadiyah, NU, serta LSM sejati (seperti ICW, LP3ES, dan lain-lain). Keempat, adanya negara (pemerintah, DPR, dan peradilan) yang menjaga serta mengatur agar pilar-pilar itu berfungsi maksimal memakmurkan rakyat, seperti Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat