Sastra
Dalbo Masuk Desa
Cerpen Abi Utomo
Oleh ABI UTOMO
Suatu pagi yang petang, mendung-mendung mencekik bunga. Padi-padi tak mengering. Pagi yang tak memiliki sinarnya, telah merenggut pekerjaan orang-orang Desa Modo. Namun tidak dengan proses berjalannya pemerintahan balai desa. Proses administrasi desa terpantau sangat lancar. Kantor desa terlihat aman terkendali dan ramai seperti biasa.. Beberapa warga sedang mengurus berkas-berkas keluarga, pun demikian dengan Mas Bangkit yang sedang mengurus surat kepindahannya ke desa tersebut. Bangkit merasa senang dengan menjadi bagian dari desa yang akan ia tinggali. Tanpa ada merasa aneh sedikitpun, Bangkit mulai bergegas sambil membawa barang-barang kepindahan ke rumah yang ia akan tempati bersama istrinya.
Seperti biasa, sebagai warga baru, Bangkit dan istri berjalan mengitari dusun hanya untuk tegur sapa dengan para tetangga sebelum mengadakan syukuran. Saat melalui depan balai desa, Mas Bangkit kaget bukan kepalang melihat awan gelap menyelimuti balai desa. Sontak Mas Bangkit bertanya kepada Istri.
“Apakah kamu melihat awan hitam menyelimuti balai desa itu?”
“Tidak, semua normal seperti aktivitas biasanya.”
Pertanyaan bangkit sangat membuat istri merasa aneh. Namun istri sudah tak kaget dengan suaminya tersebut. Bangkit adalah suami yang sedikit spesial. Setiap bulan Bangkit selalu memiliki waktu bertirakat dan berkhalwat untuk menjaga laku spiritualnya. Maka bukan hal baru lagi bagi sang istri dengan semua hal aneh yang diutarakan Bangkit
Semenjak Bangkit mengetahui peristiwa tersebut, keadaan kantor balai desa mulai tidak stabil. Ditambah lagi dengan keterangan penjaga malam melihat berbagai kejanggalan di dalam kantor. Mulai dari mesin-mesin ketik berbunyi, kertas-kertas, pensil-pensil menari sendiri di ruangan. Tak jarang kantor seperti perayaan orang yang sedang melakukan rapat besar-besaran. Seisi ruangan riuh ramai dengan bunyi-bunyian peralatan kantor yang membuat satpam merinding di sekujur tubuh.
Bak gayung bersambut. Adegan mistis yang ada di dalam kantor memengaruhi orang-orang kantor desa. Sifat para petugas mulai berbeda. Mereka menjadi lebih pemarah. Yang semula biasa berpuasa, mereka kini tak lagi ingin berpuasa. Kegiatan semakin konsumtif dari biasanya. Mobil-mobil mewah dengan sekejab terbeli membuat Bangkit merasa heran.
“Mana mungkin hanya sebagai pegawai desa dapat membeli Pajero terbaru,” gumam Bangkit.
Merasa berbagai keanehan yang terjadi di balai desa, Bangkit mulai kembali berkhalwat untuk mencari petunjuk. Kali ini, Bangkit bersama teman yang di kenalnya selama tinggal di desa Modo. Rusdi adalah yang selama ini memerhatikan kegelisahan Bangkit. Selama tinggal di Desa Modo, Rusdi memerhatikan Bangkit yang selalu gelisah ketika lewat di depan balai desa.
Seteleh berkhalwat, muncul peristiwa-peristiwa aneh terjadi di desa. Kebijakan-kebijakan aneh kini diterapkan. Penyitaan sawah yang tidak di tanami, pengalih fungsian rumah yang tak ditinggali, dan kebijakan lainnya yang membuat masyarakat hingga trauma berat. Bagaimana tidak, sawah yang tidak ditanami memang diakibatkan harga pupuk yang sangat melonjak drastis sehingga masyarakat kecil tidak mampu untuk membelinya. Sementara rumah-rumah kosong yang ditinggalkan pemilikinya disita atau bahkan dibeli paksa oleh desa dengan harga murah untuk dialih fungsikan menjadi kafe-kafe. Banyak warga sengaja meninggalkan rumahnya karena pekerjaan di desa tak pernah bisa mencukupi kebutuhan mereka. Mereka lebih memilih meninggalkan rumah lama dan membuat rumah baru yang lebih dekat dengan tempat pekerjaan.
Bangkit mulai mendapatkan kepercayaan dari para warga sekitar. Di sisi lain, para warga juga menyaksikan sendiri keanehan-keanehan belakangan yang terjadi di Balai Desa Modo beserta pegawainya. Akhirnya Bangkit mulai memberi intruksi kepada warga sekitar untuk bergiliran berjaga selama dua bulan. Bekerja sama dengan satpam desa, para warga dengan mudah masuk ke balai desa tanpa perlu melapor para pegawai.
Kembali terjadi keanehan. Para warga dengan jelas melihat aktivitas di dalam kantor. Terdengar suara bising orang sedang berdiskusi dengan sengit. Warga semakin percaya dengan semua prasangka dan keanehan di desa.
“Yang jelas kurang lebih dua bulan ini harus disahkan secepatnya,” terdengar suara tanpa wujud di dalam kantor.
“Sebentar lagi era lama akan kembali baru semula.”
“Kita yang akan kembali menguasai. Sudah dua puluh enam tahun kita tertidur.”
Suara-suara riuh itu sangat jelas terdengar oleh warga yang sedang berjaga malam. Dibarengi dengan suara-suar mesin ketik dan printer yang sedang berjalan. Sorot lampu senter datang dari salah satu warga ke dalam kantor. Tak ada seorang pun di dalamnya. Hanya sesekali tikus yang berlalu lalang di atas brankas uang desa.
Kesok harinya, Bangkit mengajak para warga berkumpul bersama pada pukul dua belas malam melakukan ritual. Tanpa basa-basi Rusdi mempersiapkan segala macam alat untuk melakukan ritual yang sangat penting untuk desanya. Ritual mulai dilakukan. Bangkit mulai membakar wangi-wangian. Warga yang lain memukul-mukul alat dapur berulang kali diiringi zikir yang di rapal Bangkit. Sebagian dari mereka ada yang membakar ban bekas. Proses ritual telah berlangsung cukup lama. Menjelang puncak ritual, hujan deras memecah kerumunan warga di belakang kantor desa. Bangkit masih bersikukuh di tempat, sementara warga lainnya berhamburan ke mana-mana. Ritual pun diakhiri, namun belum berakhir karena misteri belum terpecahkan. Balai desa masih terselimuti awan hitam yang begitu pekat.
Selepas ritual semalam, para pegawai desa mulai kehilangan kesadaran. Pegawai desa dan Babinsa salah menangkap maling namun dipaksa mengaku maling. Karena warga terlampau cepat berkumpul di balai desa, pegawai desa dan Babinsa tidak ada pilihan lain untuk memaksa orang yang dianggap maling adalah maling. Dengan perasaan panik dianggap salah tangkap, para perangkat desa dan Bhabinkamtibmas langsung menggelandang orang tersebut ke penjara. Dengan sok berlagak pahlawan Pak Bhabinkamtibmas dan para perangkat desa berorasi di depan warga. Namun sungguh sangat ironis, maling mencuri sayuran dan padi para warga masih berkeliaran di luar.
Sepulang berorasi, bak seperti kesurupan, Pak Bhabinkamtibmas dengan kendaraan mobilnya menyerempet mobil yang terparkir di bahu jalan. Dengan persaan tidak bersalah, Pak Bhabin berlalu begitu saja memacu motornya berstiker baa. Pemilik mobil di bahu jalan tersebut pun keluar dari rumahnya. Sontak terkaget melihat mobilnya yang terparkir di bahu jalan tergores cukup parah. Ia mengecek CCTV pun telah mengetahui bahwa pelaku perusak mobil adalah seorang polisi.
Melihat kekacauan di desa semakin tak terkendali, Bangkit kembali mengajak warga untuk melakukan ritual sekali lagi. Seperti biasa, Rusdi membantu menyiapkan segala keperluan untuk melakukan ritual mulai dari dupa, bunga-bunga, ban bekas, hingga peralatan dapur. Warga pun mulai berkumpul. Kali ini Bangkit memiliki keyakinan penuh bahwa petunnjuk akan segera muncul. Dupa pun mulai disulut, ban mulai dibakar, dan peralatan dapur mulai dibunyikan. Sebagian warga berteriak dengan lantang.
“Keluarlah…. keluarlah hal buruk yang singgah di desa kami!”
“Pergi….pergilah kekuatan buruk yang akan mengganggu stabilitas desa kami. Pergilah…..pergilah… pergilah…!!!
Seketika rimbun bambu yang berada di belakang kantor desa bergetar hebat. Asap mengepul tebal. Bangkit mengingatkan kepada warga agar tidak panik. Namun para warga bergetar melihat sosok yang tinggi besar muncul di balik rimbun bambu itu. Sosok berbulu hijau kehitaman itu mengerang mengerikkan. Beberapa warga berlari tunggang langgang. Beberapa di antara mereka masih berteriak mengusir makhluk tersebut. Makhluk itu pun berkarta.
“Kalian tidak dapat mengusir aku, karena aku sudah diutus menetap di sini. Bukan hanya desa ini saja. Temanku yang lain pun juga berada di seluruh desa lainnya.”
“Apa tujuanmu datang ke mari?” sergah Bangkit.
“Tujuan kami datang ke mari tidak lain dan tidak bukan untuk menguasai seluruh Nusantara ini. Bukan hanya desa, kecamatan, kota, dan provinsi pun telah kami kuasai.”
Para makhluk berbulu berwarna hijau kehitaman tersebut kini menetap di segala penjuru wilayah. Tidak ada yang mampu dan berani mengusirnya kembali. Kekacauan demi kekacauan akan terus terulang kembali. Era baru akan datang di bawah kendali DALBO.
Abi Utomo lahir di Jombang. 22 Mei 1997, tepatnya di sebuah desa sederhana Dusun Kemodo Utara, Desa Dukuhmojo. Aktif berkesenian di Kelompok Alief Mojoagung sebuah kelompok teater di Jombang. Abi juga aktif menulis puisi, cerpen, dan ulasan teater. Ia bisa dihubungi lewat email abiutomo15609415b@gmail.com.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.