
Nostalgia
Fesyen Ulama Modernis Mengguncang Sumatra Utara
Kelompok Islam modernis yang bermukim di Sumatera Westkust berupaya menunjukkan identitasnya.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia
Wabah modernisasi yang melanda Sumatera Westkust di awal abad ke-20. Memadukan gaya berbusana ala Barat dengan identitas Islam telah dipraktikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang akrab disapa Haji Rasul. Ia pun dihujat karena telah berperilaku tasyabbuh. Bahkan ia dituduh zindiq dan kafir. Ada apa dengan Kaum Muda di masa lalu? Semuanya bermula dari naiknya grafik perjalanan haji – terutama di Sumatra Westkust.
Kenaikan Grafik Haji
Pasca padamnya perlawanan di Sumatra Barat dan Jawa, pemerintah Kolonial Belanda tetap mencurigai motif-motif perjalanan haji. Tahun 1859 serangkaian peraturan diumumkan di wilayah jajahan, dan berlaku sampai akhir abad ke-19. Menurut William R. Roff alasan Belanda melakukan larangan untuk muslim berangkat haji tidak jelas. Tapi tentu saja berkaitan dengan kekhawatiran atas simbol-simbol prestisius, khususnya gelar haji dan busana Arab yang dikaitkan dengannya (Roff, 2008).
Pemerintah Kolonial Belanda yang masih phobia pasca melawan pasukan Padri—berusaha mencari alasan lain untuk mengurangi jumlah jemaah haji – terutama di Sumatra Westkust. Mereka diwajibkan memiliki sarana untuk menyelesaikan ibadah haji selama di Tanah Haram, dan meninggalkan biaya untuk keluarganya.
Tidak sebatas itu, ketika kembali ke tanah air, para haji wajib mengikuti pemeriksaan—guna menyelidiki apa saja yang dilakukan mereka selama di Mekah, dan tempat lainnya. Dan, bila lulus ujian, mereka menerima sertifikat yang mengizinkan untuk berjubah, memakai serban, bahkan bercelana cingkrang.
Aturan-aturan ketat yang ditetapkan pemerintah Kolonial Belanda, rupanya tidak menyurutkan langkah calon jemaah haji. Ada kalanya antara tahun 1853 sampai 1896 terjadi kenaikan jumlah haji, pada saat lain menurun drastis karena mewabahnya kolera. Sejak 1853 tercatat 1.100 jamaah haji, lima tahun kemudian menjadi meningkat menjadi 3900 orang (1858). Namun tahun 1865 terjadi penurunan jumlah haji yang hanya mencapai 1901 orang.
Kenaikan grafik jemaah dari tahun ke tahun, menurut Noer (1997) telah memicu sentimen Belanda selama bermukim di Arab. Setiap berkumpul, para jemaah haji selalu membicarakan heroiknya perlawanan dan kekalahan Kompeni di daerah mereka. Seluruh kisah ini direkam dalam laporan spionase Kompeni
Ada hal yang menarik, dari grafik kenaikan luar biasa jemaah haji tahun 1896. Sebelumnya jumlah jemaah haji hanya berkisar 900 orang (1884), kemudian naik tajam menjadi 11.909 orang di tahun 1896. Kenaikan luar biasa ditopang realitas Mekah sebagai sentra Islam, turut menjadi magnet kuat berduyun-duyunnya calon haji.
Di Sumatera Westkust sendiri, tokoh-tokoh Naqsyabandiyah mengirim putranya, untuk mendalami Islam di Mekah karena faktor Syekh Ahmad Khatib bermazhab Syafii. Sehingga dari murid-murid Ahmad Khatib, ketika kembali ke Sumatera Barat menandai dirinya dalam identitas Kaum Muda, Kaum Tua, dan Kuminih.
Murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang awal, mempropagandakan gaya busana ala Eropa dan Turki adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Haji Abdullah Ahmad. Jenis busana yang mereka pakai, terkadam beragam. Terkadang memakai jas kerah tinggi dipadu kain sarung atau pantalon. Dan ada kalanya mereka bergaya ala Turki, seperti halnya Sultan Mehmed VI dan Mustafa Kemal Pasha dengan tarbusnya.
Kelompok Islam modernis yang bermukim di Sumatera Westkust berupaya menunjukkan identitasnya, bahwa mereka berbeda dengan ulama tradisional yang masih berjubah dan memelihara jenggot. Pengungkapan identitas modernis Kaum Muda di Sumatera Barat, bisa dilihat dari setelan jas, pantalon, tarbus, dan lainnya. Selain itu busana mereka, juga dilengkapi dengan kacamata, dasi, rantai arloji, dan tongkat.
Wabah modernisasi yang melanda Sumatera Barat tentu mudah dipahami. Watak orang Minang yang terbentuk dalam mamangan sakali Ombak Gadang, sakali tapian beralih–dipahami sebagai keterbukaan orang Minang terhadap perubahan-perubahan yang datang dari Rantau kemudian memengaruhi Darek yang senantiasa dinamis. Di samping itu, pada awal abad ke-20 penduduk Sumatera Westkust memang tidak terlalu padat (Khan, 1993: 229), sehingga proses transformasi budaya berlangsung cepat. Untuk diketahui, pada tahun 1905 jumlah penduduk di Padang Panjang sekitar 54,989 jiwa, dengan rincian laki-laki 27,842 orang dan perempuan 27,147 orang.
Gejala modernisasi busana di Sumatera Barat sudah tampak dari modisnya kalangan nasionalis, mulai dari A Rivai, Mohamad Hatta, Sjahrir menolak berpenampilan tradisional. Mrazek melihat kenecisan tokoh-tokoh pergerakan bergerak cepat, melewati batas-batas norma, dan memicu gejolak di tengah masyarakat. Sementara tokoh Islam modernis turut mengadopsi aturan berbusana, dalam konteks perubahan hidup mereka. Van Dijk menyebut gejala ini menjadi isu integral dan mengundang perdebatan dimana-mana (Mrazek, 1994; Schulte Nordholt, 2002: 24).
Haji Rasul dan Haji Abdullah Ahmad Berkumis Tebal
Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang kerap dipanggil Haji Rasul merupakan murid terbaik Syekh Ahmad Khatib—pernah diamanahi untuk mengajar di Mekah, ketika kali kedua kunjungannya di Tanah Haram. Haji Rasul memang berlainan karakternya dengan murid Syekh Ahmad Khatib lainnya, sebut saja KH Ahmad Dahlan, Syekh Thaher Djalaluddin, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan Haji Abdullah Ahmad.
Karakter Haji Rasul yang keras, tegas, dan tidak kenal kompromi untuk penyimpangan tauhid, bid’ah, khurafat, hukum waris, dan lain sebagainya, menjadikan pribadinya kawan sekaligus lawan. Sekembali dari Mekah, Haji Rasul mengawali pengajiannya di Maninjau. Ia menyerang seluruh praktik keagamaan Naqsyabandiyah maupun Syattariyah.
Dan, disinilah letak perbedaan gerakan Islam modernis pada awal abad ke-20 dengan Padri. Justru sekembali dari Mekah, Haji Rasul dan Haji Abdullah Ahmad lebih mengutamakan retorika dakwah dan meninggalkan radikalisme. Mereka juga melawan pemahaman sempit menggunakan produk budaya dari Barat, hukumnya haram.
Kaum Muda menandai dirinya dengan identitas baru—terutama dalam berbusana, dan tentu saja berbeda dengan pakaian para haji. Berkenaan dengan identitas berbeda yang ditampilkan kalangan Kaum Tua dan Kaum Muda, erat hubungannya dengan hibriditas.
Hibriditas di lingkungan Hindia Belanda dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas dari rezim, maupun identitas-identitas nasionalis bayangan yang harus menggantikannya. Dan penekanan ini tampak dari kelompok Islam modernis yang digawangi Haji Rasul cs. Jejak-jejak penampilan mereka diidentifikasi diri dengan sarung, sorban, pantalon, jas, baju kerah tinggi, ataupun berkopiah (peci) beludru.
Identitas dengan kumis tebal tanpa jenggot, seperti yang dipraktikan Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad, Haji Muhammad Thaib Umar, diikuti oleh murid-murid dan massa pengikutnya. Identitas Haji Rasul dilanjutkan murid-murid terbaiknya, di antaranya Zainuddin Labay El-Yunusi dan Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.
Hamka (1958) dalam Ayahku beberapa kali mengisahkan gaya berbusana Haji Rasul, yang dianggap aneh, sekaligus unik pada masa itu. Kisahnya bermula tahun 1911, dimana Kampung Kubu yang terletak di tepian Maninjau, ingin menyelenggarakan shalat Jumat. Sudah beberapa kali 40 orang pemuda meminta persetujuan kepada kepala nagari, namun ditolak ninik mamak. Datuk Makhudum—seorang penghulu kepala mencium gelagat, Haji Rasul berada dibalik tuntutan anak nagari Kubu. Ia pun marah besar. Haji Rasul harus berhadapan dengan otoritas adat, sekaligus anak Tuanku Laras.
Ketika pelaksanaan shalat Jumat tiba, Haji Rasul menunjukkan identitas modernisnya. Anak Tuanku Kisai itu, tidak lagi memakai jubah kebesaran ulama Naqsyabandiyah. Malah ia memakai jubah anggur hijau ala Syekh Muhammad Abduh, kain serban Halabi, dan berkaca mata hitam. Benar-benar identitas yang sama sekali baru di kampung halamannya. Seluruh murid pengajiannya mengiring di belakang laki-laki berkumis lebat itu. Dan pada Jumat berikutnya, Haji Rasul tetap dengan stylish yang sama—berjubah, bertongkat, dan berkaca mata hitam.
Pilihan Haji Rasul cs berbusana Eropa dan Turki pun menyulut reaksi negatif, terutama dari kalangan Kaum Tua. Haji Rasul dianggap melawan jumhur ulama yang memfatwakan haram untuk bertasyabbuh.
Kritik keras Haji Rasul sejak menyebar paham Islam modernis dan menghantam soal praktik keagamaan tarekat, memicu kemarahan dari Kaum Tua. Rentetan idiom buruk, segera dialamatkan pada dirinya, mulai dari tuduhan zindiq, khawarij, dan mu’tazilah. Kehebohan Kaum Tua pada perilaku tasyabbuhnya dan menanggalkan kain sesamping—yang ketika itu tetap dipertahankan kalangan Islam tradisional sebagai simbol keislaman.
Dari fenomena Kaum Muda berbusana, ulama Kaum Tua juga punya argumentasi sendiri. Mereka merujuk fatwa Jusuf Nabhani—bahwa memuji dan berpakaian orang kafir, sama saja dengan kafir. Ribut-ribut atribut Kaum Muda itu, berujung meresahkan. Sampai-sampai seorang pembaca al-Munir bertanya tentang tasyabbuh.
Dan Haji Rasul menjelaskannya dengan gamblang. Seseorang dituduh tasyabbuh—menurut Haji Rasul bila memakai tanda-tanda keagamaan, seperti tanda salib, dan lain sebagainya (Al-Munir tanggal 17 Januari 1915). Sedangkan cepiau dan berdasi—lanjut Rasul, tidak termasuk tasyabbuh, karena ia merupakan produk budaya manusia, bukan simbol keagamaan.
Haji Rasul juga menyayangkan fatwa gegabah Kaum Tua, bahwa orang yang berpakaian ala Eropa dan Turki langsung dituduh kafir dan telah merusak imannya. Dan juga tidak masuk akal, sambung Haji Rasul, apabila persoalan pakaian itu dianggap melanggar adat istiadat, karena tidak satu pun dalam aturan adat Minang yang melarang memakai pakaian di luar adat dan tidak disebutkan sanksi apa yang harus diterima si pemakai busana.
Dalam Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin, Haji Abdul Karim Amrullah menegaskan, tuduhan-tuduhan jahat yang dialamatkan kepada Kaum Muda, ratusan juta orang Turki, Arab, Mesir, dan Suriah merupakan bentuk kebencian dan tidak beralasan. Ia pun merujuk pada riwayat Bukhari, bahwa Nabi Muhammad pernah memakai jubah dari bangsa Roma (Al-Munir tanggal 17 Januari 1915).
Fatwa Haji Rasul membela cepiau dan pantalon dalam al-Munir, rupanya tidak meredakan ketegangan. Bukannya respon negatif yang diterimanya dari kalangan masyarakat, malah jas, pantalon, dasi, cepiau, dan topi Panama segera mewabah di Sumatera Westkust (Hamka, 1958: 85-86). Busana modern ala Eropa oleh sebagian masyarakat, dianggap lebih maju, bernilai estetika, teknologi, dan menunjukkan identitas sosial. Dalam perspektif Haji Rasul, busana jenis ini boleh dipakai ketika bekerja, berceramah, dan acara-acara resmi lainnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
BP Haji: Saudi Bilang Mungkin Enggak Ada Lagi Haji Furoda
Pemerintah hanya akan bicara tentang haji non-visa reguler di RUU Haji
SELENGKAPNYAKemenag Serahkan 'Tongkat Estafet' ke BP Haji
Setelah 75 tahun, kendali atas penyelenggaraan haji berpindah ke badan khusus.
SELENGKAPNYADahnil, Orang Batak dan Reformasi Haji
Dia paradoks dengan stigma orang batak yang kasar dan emosional.
SELENGKAPNYA