Sastra
Siapa yang Mengetuk Pintu Malam itu?
Cerpen Achmed Sayfi Arfin Fachrillah
Oleh ACHMED SAYFI ARFIN FACHRILLAH
Malam itu, gerimis datang berinai-rinai. Dengan payung bercorak warna komplementer, Damar mematung di antara rekahan-rekahan sisa bangunan gosong. Sesekali ia menunduk, tempias air hujan kerap singgah pada lipatan bagian bawah celana panjangnya. Bulir-bulir air itu menyusup dari celah sobekan payungnya yang robek. Tadi pagi, ketika Damar menunjukkan bakat sapuan kuas di payungnya yang baru saja dibeli dari toko kelontong samping rumah, teman-temannya sesama pengamen itu lantas menyobeknya. Katanya, lukisan Damar tak lebih dari sekadar cakaran cerpelai. Padahal baginya, oretannya itu memiliki makna simbolik meski ranggas dipandang mata.
Gerimis mulai mereda. Namun bulan masih buram keabu-abuan. Damar menyalakan senter ikat di dahinya. Ia mulai beringsut. Menyusuri sudut per sudut. Beberapa waktu lalu, sekitar pukul satu dini hari, Damar bangun dengan napas terengah sebab dentuman keras di kejauhan. Gempita di luar rumah timbul lalu tenggelam. Sesaat setelah beranjak kemudian membanting pintu seng, bergumpal-gumpal asap membubung sekitar seratus meter dari rumahnya yang kumuh. Damar menyipitkan mata, menggosoknya, dan tergopoh-gopoh melebur dengan orang berwajah masam yang berlarian membawa jerigen.
“Cepat, siram!”
Mereka memekik. Pemukiman orang-orang lusuh berkaos partai lagi beralas kardus itu hangus oleh api. Tiga hari lalu, dari cerita warga, beberapa orang kekar bersepatu laras dengan kumis yang rimbun datang ke mereka. Katanya, mereka harus pindah karena wilayah tersebut akan dibangun tol lintas kota. Semenjak peristiwa itu, orang-orang “pinggiran” kerap didera risau berkepanjangan. Hingga tiga Malam setelahnya, petaka menumbuk mereka.
Damar menatap nanar. Api di hadapannya sebentar lagi akan menjelma liuk cat akrilik di atas kanvas. Ia menoleh, seseorang tersenyum di balik tembok berlumut.
Malam larut dengan segenggam gigil. Senter di dahi Damar mulai meredup. Barangkali sebentar lagi baterainya akan habis. Mata Damar menyapu sekitar. Lalu memaku pandang pada tembok berkarat sepanjang tujuh meter yang luput dari dahaga api. Ia menyunggingkan senyum. Setiap malam, ia tak perlu gamang akan kehabisan kanvas bekas. Seketika saja, gemerisik pelepah pohon siwalan seakan mengajaknya pulang.
“Aku tak mau lihat kanvas-kanvas usang hasil rongsokan berserakan di belakang rumah lagi.”
Ketus Dahri pagi-pagi sekali. Tak senoktah pun pandangannya singgah di tubuh Damar. Ia bergegas, langkahnya berderap-derap. Kuas cat, palet warna, dan kanvas berdebu bertebaran di mana-mana. Benda-benda itu Damar dapatkan dari ngarai tempat pembuangan akhir di tenggara simpang tiga pemukiman kumuh. Anak-anak komunitas lukis kabupaten lah yang membuangnya. Aromanya kadang mengundang bersin.
Sayup-sayup deru truk merisak dari luar rumah. Sejenak kemudian, hilang ditelan desau. Damar tidak tahu ayahnya itu bekerja apa. Yang pasti, setiap remang datang menggantikan gulita berkombinasi mega, selalu saja ada truk berhenti di luar rumah menjemput lelaki jangkung itu. Di baknya, orang-orang berwajah layu dengan kantung mata yang besar terlihat berkerumun. Jumlahnya sekitar sepuluh orang termasuk Dahri. Damar enggan bertanya. Ia tahu ayahnya akan menjawab dengan ocehan.
Ketika itu pula, Damar memanfaatkan kesempatan. Ia bergegas ke jalan Pahlawan simpang empat di jantung kota untuk mengamen. Uangnya, ia gunakan untuk membeli cat. Hari ini, bocah ingusan itu terlihat amat bersemangat. Sebab, ia butuh banyak uang lagi buat beli cat semprot. Seonggok tembok putih sedikit berlumut meronta-ronta di pikirannya.
***
Mural itu terlukis dengan sendirinya. Lanskap senja dengan anak kecil yang memakan dagingnya sendiri, siluet sapuan kasar tepat pada lukisan otak seorang ibu yang digerogoti belatung, dan lukisan-lukisan muram lainnya. Terkadang beberapa pelancong mampir untuk sekadar berpotret. Wartawan koran lokal pun sering bertandang melihat-lihat, mencatat sesuatu, lalu meliputnya. Sekarang, sudah enam meter dinding bisu di pinggir trotoar itu dipenuhi mural. Tak seorang pun tahu siapa pembuatnya. Yang warga tahu, setiap subuh berlabuh, selalu saja ada mural baru yang teroret.
Malam sudah sedikit renta ketika Dahri memilih tetap mematung di ruang tamu. Matanya sulit terpejam, pikirannya berkecamuk tak karuan. Retinanya memaku pandang pada jala kumuh tak terurus. Sudah lama dirinya tak menyambangi lautan. Semenjak ada pekerjaan proyek jalan tol yang lebih mirip pada kerja rodi dan diiming-imingi segepok uang walau hanya sebatas wacana belaka, tak sepintas pun dirinya menyambangi lautan. Setelah beberapa jenak, ia beranjak menuju kamar tidur untuk menemui Damar. Rupanya, anak berwajah oval itu juga belum rebah tertidur dan sedang melipat baju yang baru saja kering sebab hujan.
“Tumben kau membersihkan barang tak berguna itu dari belakang rumah.”
tukas ia memulai. Ucapannya acuh tak acuh. Hal tersebut dapat diterka dari guratan rona di wajahnya. Tak ada pandangan Dahri menyapu tubuh Damar walau sekilas. Gerakan tangan lelaki itu ketika menyeruput kopi tubruk seraya membasahi kumisnya yang rindang, tak sederajat pun berubah. Seakan hanya semerbak angin yang datang menemuinya. menyeruput kopi tubruk, membasahi kumisnya yang rindang. Ia merogoh saku dan mengambil sesuatu. Kemudian menyalakan sepuntung rokok hasil berhutang di warung Mak Ramna tadi pagi. Aroma tembakau bakar seketika menguar.
“Bapak sendiri yang Menyuruhnya.”
Damar membuang pandang. Suaranya agak serak lagi sumbang. Semalam, ia menyelinap ke tempat terbakarnya pemukiman kumuh. Sebelum fajar mengumbar, ia baru pulang sembari berjalan lunglai.
“Kau tak Melukis lagi?”
“Masih. Tapi Damar lebih tertarik pada mural”
Mata Dahri terbelalak. mulutnya hampir menyemburkan ampas kopi. keningnya menjelma ombak, bergelombang. Ia terhenyak, membuang puntung rokok yang sudah hampir terbakar dengan gabusnya. Wajahnya berubah temaram seakan gundah menghanyutkannya hingga menabrak karang lalu karam. Bulan yang hampir bulat sempurna sebentar lagi akan berselimut daun pohon akasia di ladang sebelah tenggara rumah, milik Santoso. Mereka terjebak pada pikiran mereka masing-masing. Hampa. Hanya suara tandus desir angin di luar jendela yang terdengar sumbang, menusuk gendang telinga.
Berjejal-jejal suara ketukan pintu terdengar tiba-tiba. Angin berhenti berembus sejenak. Rengat keringat membasahi pelipis Dahri. Ia merasakan sesak merajalela
“Siapa, Pak. Tamu kok tengah malam?”
“Cepat sembunyi”
Belum sempat Damar menimpali, raut wajah ayahnya memaksa ia agar cepat beranjak. Dari balik meja, Damar melihat orang kekar bersepatu laras sembari memegang pistol bercekcok dengan ayahnya. Satu tembakan melesat, menembus plafon rumah. Burung Cabak memekik seperti tercekik. Tembakan kedua, mengenai cangkir di atas meja kaca bertaplak satin. Kepingan kacanya mengenai pipi Damar. Bercak darah merembes hingga mengairi celah-celah jahitan bajunya yang kumal.
Peristiwa itu berakhir ketika Damar unjuk muka. Dua orang berbaret merah, menggiringnya ke dalam mobil hitam pekat bernopol merah. Sedangkan Dahri hanya membisu, terisak dalam dada. Di atas almanak, jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari.
Keesokan harinya, saat Dahri lewat di dekat dinding putih yang dipenuhi mural menuju proyek jalan tol, ia melihat lukisan ketujuh. Seorang anak menangis di dekat tentara yang senyum semringah. Perlahan diamatinya mural itu, lelaki bermata sendu itu sekilas mengenal wajah anak pada mural ketujuh tadi. Ya, wajahnya persis seperti Damar. Sungguh sangat persis. hari ini Dahri akan membuat dilema. Ia ingat, korek api masih dalam genggamannya.
***
Detak detik jam dinding terdengar semakin parau di telinga Dahri. Meski bulan hampir rebah pada pangkuan pelepah pohon siwalan di ladang sebelah barat rumah berdinding retak itu, dari kelambu jendela yang tersingkap setengah, ia masih mematung –memandang bulan tanggal lima belas sura. Wajah anaknya terbayang di antara pekat lalu-lalang awan.
Membayangkan itu, hatinya sontak terasa sesak. Teramat sesak. Memang, semenjak Damar tiba-tiba pergi ke tempat yang jauh, malam-malam Dahri ditemani seberkas resah. Malam ini pun, ia hanya bisa menukar pandang dengan bulan. Sepintas terlintas di benaknya; apakah Dahri juga memandang bulan malam ini? Ia tak tahu. ketukan pintu terdengar lagi. Kali ini lebih mencekam.
Annuqayah, 2024
Achmed Sayfi Arfin Fachrillah. Penulis kelahiran Gapura, Sumenep Jawa Timur merupakan siswa SMA Annuqayah. Salah satu peserta Rakara Residensi Cerpen 2024 se-Madura yang diadakan oleh kerja sama antara Lesbumi Gapura dan Komunitas Damar Korong.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
