Bau Asap Rokok | Daan Yahya/Republika

Sastra

Bau Asap Rokok 

Cerpen Teuku Hendra Keumala

Oleh TEUKU HENDRA KEUMALA

Tak seperti biasanya, bau asap rokok itu melesat dari sela-sela ranting kayu meranti, menyeruak memasuki bivak yang dibangun dua hari lalu. Entah dari mana asal muasal aroma asap rokok tidak bertuan itu datang, menyebar keseluruh penjuru hutan ini, tajam menghujam hidung, asap itu kadang tercium bersama udara pagi tatkala matahari naik perlahan, pun ketika matahari tenggelam diantara suara jangkrik bersahutan. 

Janggal terasa dihidung, bagaimana mungkin aroma itu semerbak diantara bukit terjal pegunungan Beutong yang terpaut jauh dari pemukiman, jika boleh berasumsi bisa jadi asap itu dibawa pemburu rusa, pencari jernang, atau pencari kayu gaharu, tapi kemungkinan itu sangat kecil terjadi, sebab semenjak perang saudara pecah di daerah ini warga tidak semudah itu memasuki hutan. 

Sebab mereka lah yang sebenarnya pemikul beban dari pergolakan senjata ini, posisi mereka kian terjepit bagai menelan buah simalakama, akan berakibat fatal jika berhadapan dengan tentara pemerintah, mereka akan dicap pemberontak, begitu juga jika bertemu para pejuang akan dianggap sebagai mata – mata, posisi mereka serba salah.

Jadi bisa dipastikan tak ada manusia lain disana, selain Duki dan sahabatnya Dokaha yang sedang mencari peruntungan, berlindung di antara pepohonan besar di tengah hutan belantara bukit barisan, menjauh dari kejaran tentara pemerintah. Mereka terpisah dari rombongan pejuang lain saat penyerbuan hebat terjadi di hulu krung Labuhan yang membuat mereka berpencar. 

”Untuk sementara kita bertahan disini,” kata Duki membuka percakapan dengan Dokaha temannya

”Kurasa kita cukup aman disini,” sambung Duki

”sampai kapan,” tanya Dokaha lagi

”sampai kita merasakan tempat ini sudah tidak aman lagi untuk diduduki,” ujar Duki

”Apa langkah kita selanjutnya Duki?” 

”Tidak ada, cukup kita bertahan disini, sembari menunggu kawan – kawan yang lain, jika ada pasukan kita yang selamat pasti akan menyusul,” ujar Duki.

”Coba kau pastikan lagi melalui sambungan radio, siapa tau tersambung, tanyakan personil yang selamat dan sampaikan koordinat kita saat ini,” perintah Duki

”Baik, saya akan berupaya mengontaknya lagi,” sahut Dokaha

”Keamanan kita disini terjamin. Jika menempuh perjalanan dari pemukiman, sekitar delapan hari tujuh malam berjalan kaki untuk berada di tempat ini dengan medan naik turun gunung, sangat sulit dijangkau oleh mereka yang tidak menguasai medan,” jelasnya Duki lagi.

Sebagai bawahan Dokaha bertanggung jawab atas akses informasi, menghubungkan pasukan yang terpencar setelah ada penyerangan terjadi. Sementara Duki sebagai komandan dalam wilayah itu selalu memastikan keselamatan pasukannya. 

Tidak lupa mengingatkan pasukan supaya setiap mendirikan bivak agar selalu memilih untuk berdampingan langsung dengan aliran air, membatasi aktivitas agar tidak mudah terdeteksi musuh, apalagi membuang sampah plastik sembarangan, atau barang lain yang memberi jejak dan memudahkan bagi musuh untuk melacak. Kadang ia memerintahkan pasukannya untuk berjalan mundur ketika berjalan di tanah basah.

Dia paham betul seluk - beluk hutan disini, pandai membaca tanda bahaya, selalu awas dengan keadaan sekitar, meskipun itu cuma bau asap rokok yang dianggapnya ganjil.

”Tidak seharusnya kau menyembunyikan rokok dari ku” tegur Duki.

”Tak ada yang berani menyembunyikan rokok,” sanggah Dokaha.

”kau tidak bisa hidup dengan rokok itu di hutan seperti ini,” kata Duki lagi.

”sudah dua bulan kita tidak memiliki barang itu,” jelas Dokaha.

”dari mana juga aroma asap rokok.”

”itu hanya perasaanmu saja, tandanya kau sedang ingin merokok,” sanggah Dokaha.

”Lagi pula kau suka lupa diri kalau lagi ada rokok,” sambungnya lagi.

Jika diingat - ingat tidak ada yang menyimpan rokok di antara mereka, jangankan rokok untuk memperoleh makanan saja sudah sangat susah, semenjak darurat militer diberlakukan kondisi mereka sudah sangat terdesak, akses ke perkampungan diawasi ketat tentara pemerintah, untuk bertahan hidup, hanya berbekal janeng yang mereka peroleh dari hutan, diselingi telur rebus itu pun dimakan sehari sebutir dibagi dua.

Jika pun ada rokok, itupun hanya pucuk daun nipah yang dilinting dengan tembakau gayo yang di dapat dari perkampungan terdekat, sekedar menghangatkan badan saat angin malam menggerogoti badan, dan bisa dipastikan hal itu amat jarang diperoleh. 

Sebab konflik telah menyeretnya jauh ke dalam hutan, berpisah dengan keluarga, berpindah-pindah tempat, dihantui rasa lapar dan ketidakpastian. Namun semua itu sudah dalam perhitungannya, dia sudah siap menanggung beban yang ditimbulkan dari perbuatan makar terhadap pemerintahan yang sah. 

Kisah Duki bergabung dengan kelompok pejuang kemerdekaan ini tergolong unik, berbeda dengan Dokaha yang nekat membawa lari senapan serbu milik tentara pemerintah yang sedang lengah, kemudian bergabung dengan kelompok Duki, mereka berjuang bersama. Jauh sebelum Duki memanggul AK-47, ia hanya seorang warga biasa yang tinggal di kaki bukit barisan, yang hari – hari tak jelas pekerjaan, sampai ia memutuskan untuk bekerja pada toke Musa sebagai pemotong kayu di hutan, kayu-kayu itu diturunkan dari bukit dan dijual kepada cukong oleh toke Musa, dari sana dia mendapatkan upah, walau sedikit tapi cukup untuk menutupi kebutuhan keluarganya.

Sekali waktu pembalakan liar itu mendatangkan malapetaka, air bah bersama gelondongan kayu besar menyeret seisi kampung, walau tidak menelan korban jiwa namun tidak sedikit harta benda yang dapat tertolong, berawal dari bencana alam ini petugas melakukan penertiban, Nama Duki ikut terseret, dijadikan target DPO kala itu, karena dihantui oleh rasa takut ia pun mulai jarang turun ke perkampungan, hanya untuk keperluan membeli sembako, ia mengembara di hutan sambil terus menjadi pembalak liar. 

Awal tahun 90an muncul kelompok gerakan perlawan terhadap pemerintah, merasa senasib dimusuhi tentara pemerintah Ia pun memutuskan untuk bergabung dengan kelompok ini, menjadikannya buronan paling dimusuhi, ada berupa imbalan dijanjikan bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kondisi ini kemudian terus menyeretnya ke tengah hutan, semakin jauh dengan kehidupan normal, hidup berpindah-pindah mencari tempat yang aman, berlindung di antara pepohonan besar, meskipun dulu pohon – pohon itu ia tebang. 

Duki sangat licin, selalu lolos dari kepungan serdadu pemerintah, pandai membaca tanda bahaya, seakan semesta dan seluruh penghuni hutan itu sedang bekerjasama menyelamatkan dirinya, meski demikian serangan bertubi - tubi terus dihadapinya. Salah satu yang masih membekas adalah ketika dihadang dua ekor harimau saat ingin melintasi krung Kila, seketika harimau itu menghentikan langkah mereka, harimau itu bersikeras tak mau beranjak, ia berdiri menghalangi jalan. Tak lama, dari seberang sungai terdengar suara tembakan, mereka pun lari kembali menerobos masuk hutan.

Bukan hanya itu, saat di tengah persembunyian di alue Sereudang, sekira Pukul 22.00 malam, mereka didatangi kawanan gajah liar yang mengobrak-abrik bivak, saat itu juga mereka minggat menjauh dari tempat itu. Saat pagi tiba, Duki bersama pasukan lain kembali ke tempat itu, untuk memastikan barang – barang yang masih bisa dipakai, tapi kemudian alangkah mengejutkan tempat itu sudah diduduki pasukan pemerintah, mengetahui itu ia segera menjauh dan mencari tempat perlindungan lain, terus berpindah – pindah, terakhir mendapat serangan dari pasukan pemerintah hingga sampai pada lokasi yang ditempati saat ini.

Sebenarnya keberadaannya di tempat ini bukan kali pertama, tempat ini dipilih ketika daerah – daerah lain sudah dirasa tidak aman lagi, lokasi ini dipilih karena jauh dari perkampungan dan sangat sulit dijangkau pasukan musuh, paling aman, lagi pula kawasan ini banyak ditumbuhi tanaman janeng yang dapat mereka olah menjadi makanan. 

Kecuali itu perihal asap rokok, kerap muncul dan menggugah rasa keinginan untuk merokok, namun keinginan itu takluk oleh kondisi yang tidak memungkinkan untuk turun ke perkampungan, kondisi mereka sudah sangat terdesak, petugas kerap melakukan patroli daerah pinggiran hutan, kadang mengendap di antara semak-semak menunggu para pemberontak turun. 

Kesejukan pegunungan Beutong membuat mereka berdua merasa aman di tempat ini, meski di tengah keterbatasan makanan, sekali waktu mereka juga dengan bebas bisa turun ke sungai besar untuk mencari kerling, tanpa ada serangan dari pihak musuh, kerling-kerling disana dikenal enak dan besar, umumnya mereka bakar. 

Pada malam purnama bulan Mei 2003 kedua sahabat itu duduk berdampingan diantara remang cahaya rembulan, sembari mengawasi keadaan sekitar. 

”Bagaimana jika besok kita pindah saja dari tempat ini, sebab aku merasa ada firasat lain dengan aroma rokok itu,” tanya Duki.

”Mengapa begitu, bukankah abang juga perokok, kenapa harus terganggu,” jawab Dokaha.

”Begini, aku hanya khawatir jika asap itu dari musuh, sebab bau itu sangat kuat, seperti bau orang menggoreng ikan asin saat siang hari di bulan puasa, kau paham kan maksudku” jelas Duki.

”Kita geser saja sedikit dari tempat ini,” ujar Duki menyakinkan Dokaha.

”Tidak mungkin bang, kita harus menunggu kawan – kawan lain disini, mereka pasti akan kesini, bila kita pindah mereka akan kehilangan jejak kita,” jawab Dokaha

”Jika asap itu dari musuh, berarti sudah sangat dekat dengan kita, tapi itu tidak mungkin, sebab aku sendiri sudah mengecek seluruh kawasan ini,” sambung Dokaha lagi

”Atau kita geser saja, dekat dengan sungai besar dibalik bukit itu,” tawar Duki

”Tidak perlu bang, itu semakin memudahkan musuh mendapatkan kita, sebab mereka sering sekali jika berpatroli akan menelusuri sungai – sungai besar,” sebut Dokaha

”Abang tidak perlu khawatir tentang itu, tempat ini aman, seperti abang sampaikan, kita ini jauh dari pemukiman, tidak mungkin musuh sampai kesini. Sekarang yang perlu kita pikirkan bagaimana mencari cara agar bisa turun ke pemukiman untuk mendapatkan pembekalan lagi” saran Dokaha.

Suatu pagi yang cerah, cericit burung bersahutan, diselimuti kabut tebal yang mengaburkan jarak pandang, Duki baru saja bangun dan keluar dari bivak, ia hendak membuat perapian untuk menghangatkan ikan kerling bakar semalam, dari arah belakang terdengar suara ranting patah, Duki menoleh, tapi kabut mengaburkan jarak pandang, saat ia hendak meraih sesuatu di dalam bivak, sebutir peluru menghujam dadanya. Semua sudah terlambat, Duki roboh ke tanah, dua peleton tentara telah menduduki lembah itu berdasarkan kode - kode yang dikirimkan Dokaha selama ini. 

***

 

Catatan

Krung : Sungai

Janeng : Sejenis umbi yang biasa tumbuh di daerah hutan Aceh

Kerling : Ikan Mahseer

Alue : Sungai Kecil


Teuku Hendra Keumala,  Kelahiran Nagan Raya, 20 Maret 1986, yang berdomisini di Kota Banda Aceh, untuk saat ini aktif menulis cerpen, artikel dan bekerja sebagai journalis di salah satu media lokal di Aceh. Ia bisa dihubungi lewat email ke hendra86keumala.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Gelap Lantas Tiba, Cantik Sekali

Puisi Abdullah Muzi Marpaung

SELENGKAPNYA

Tabungan Haji

Cerpen Ali Satri Efendi

SELENGKAPNYA

Kartini dalam Puisi Akrostik

Puisi Akrostik adalah jenis puisi yang menggunakan huruf awal dari setiap baris.

SELENGKAPNYA