Gelap Lantas Tiba Cantik Sekali | Daan Yahya/Republika

Sastra

Gelap Lantas Tiba, Cantik Sekali

Puisi Abdullah Muzi Marpaung

Oleh ABDULLAH MUZI MARPAUNG

Gelap Lantas Tiba, Cantik Sekali

 

Tidakkah kauperhatikan cuaca di sekitar sini

Angin melambat, kawanan burung menepi

Gerimis menahan kaki, sepi mematut diri

 

Gelap lantas tiba, cantik sekali

 

Tidakkah kau lihat awan merendah diri

Agar tergapai oleh luka tak terperi:

Luka yang memisahkan cinta abadi

 

Gelap lantas tiba, cantik sekali

 

Tidakkah kaudengar rentak kupu-kupu menari

Pada ujung usia yang tinggal sehari

Hampa dan tiada telah menemukan arti

 

Gelap lantas tiba, cantik sekali

 

Tidakkah ini yang kita tunggu sedari pagi

Sehamparan lanskap beringsut pergi

Sesak dan lega dalam satu harmoni

 

Gelap lantas tiba, cantik sekali.

 

2025

***

 

Rentak Sedegam Langkah Sepijak

 

Rentak sedegam langkah sepijak

Redamlah redam semua yang tidak

Cinta telah diam tak lagi berontak

 

Rentak sedegam langkah sepijak

Jiwa yang lebam tak lagi tidak

Kuanginkan malam pada tak nyenyak

 

Rentak sedegam langkah sepijak

Tentramlah tentram bumi di tapak

Telah tersulam semua yang retak

 

Rentak sedegam langkah sepijak

Rumah yang hilang sudah tak tidak

Kepada pulang diri berpihak

 

2025

***

 

Siluet

 

Pada air sungai yang mengalir itu

kita mengerti apa yang dirisaukan batu.

 

Pada dedaunan yang tak semestinya jatuh itu

kita mengerti apa yang dikeluhkan waktu.

 

Pada hujan yang membekas pada kemarau itu

kita paham apa yang mengusik kala menunggu.

 

Pada embun yang lekat di di tingkap itu

kita mafhum mengapa lebah mencintai madu.

 

Pada mendung yang seketika menjadi awan itu

kita lantas tahu apa yang seharusnya kita obrolkan dulu.

 

Pada puisi yang kini dituliskan itu

kita rindu yang tak terucapkan sang ragu.

 

2025

***

 

Aku Ingin Bersurat Kepadamu

 

Basah jalan selepas hujan

Jejak tak mewakili yang silam

Sunyi sepi tak menanti salam

 

Aku ingin bersurat kepadamu

Ingin sekali lagi memanggilmu

dengan sebutan yang merdu

Paling tidak, merdu di masa lalu

 

Basah jalan selepas hujan

Cahaya lampu di kejauhan

Di waktu yang mana dinanti terang?

 

Aku ingin bersurat kepadamu

Sekali lagi berpihak kepada rindu

Mengingkari semua yang kita buru

semua yang kita lepaskan dulu

 

Basah jalan selepas hujan

sehingga jelas dapat kutafsirkan

apa yang lenyap di permukaan

 

Aku ingin bersurat kepadamu

Tapi tampaknya aku mesti menunggu

Debu-debu berkumpul jadi satu:

Menjadi alamat rumahmu.

 

2025

***

Abdullah Muzi Marpaung lahir dan besar di Pulau Bintan. Kini ia adalah seorang dosen Teknologi Pangan di Swiss German University. Ia telah menyukai bahasa dan sastra serta  mulai menulis puisi sejak remaja. Puisi dan artikel bahasanya telah dimuat di banyak media massa. Sejak 2015 ia mulai aktif menulis cerita pendek. Ia sudah   menghasilkan   dua   buku kumpulan cerita pendek berjudul “Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan” dan “Ruas Jalan yang Selalu Kusapu Untukmu”, serta satu buku kumpulan puisi berjudul “Catatan Hari Kemarin".

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kartini dalam Puisi Akrostik

Puisi Akrostik adalah jenis puisi yang menggunakan huruf awal dari setiap baris.

SELENGKAPNYA

Tarian Kupu-Kupu Merah

Cerpen Darju Prasetya

SELENGKAPNYA

Tukang Doa Keliling

Cerpen Muhammad Subhan

SELENGKAPNYA