
Safari
Semalam di Cianjur
Cianjur meiliki kekayaan sejarah dan kuliner.
Kan kuingat di dalam hatiku
Betapa indah semalam di Cianjur...
Kota ini begitu membekas di hati almarhum Alfian. Sampai-sampai biduan yang masyhur di era 1960-an itu mengabadikannya dalam sebuah tembang berjudul “Semalam di Cianjur”.
Jika bertandang ke kota kecil tersebut hari ini, secara sepintas Anda tak akan menjumpai sesuatu yang spesial. Hanya toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan dengan ratusan lapak pedagang kaki lima memenuhi setiap sudut kota. Bahkan, lalu lintas yang semrawut boleh dibilang sudah menjadi pemandangan lumrah di sini.
Namun, di balik wajahnya yang biasa-biasa itu, Cianjur menyimpan banyak hal menarik untuk disingkap. Mulai dari sejarahnya, ragam kuliner, bangunan-bangunan kuno, hingga kebudayaan masyarakatnya.
Dari Jakarta, ibu kota kabupaten ini dapat dicapai lewat jalur Bogor-Ciawi-Cisarua-Cipanas. Sebelum pembangunan Jalan Tol Cipularang, rute itu menjadi lintasan favorit bagi warga DKI yang hendak berkunjung ke Bandung. Jalur lainnya adalah Bogor-Sukabumi-Warungkondang. Namun, jalan alternatif ini kondisinya banyak yang rusak.

Sejarah berdirinya Kabupaten Cianjur secara keseluruhan dimulai sekitar abad ke-17. Kala itu, daerah ini terdiri atas satuan-satuan masyarakat lokal yang dikenal dengan istilah padaleman. Tiap-tiap padaleman tersebut dipimpin seorang penguasa yang disebut dalem.
“Sistem pemerintahan ini kira-kira setara dengan nagari yang ada di Minangkabau,” tutur budayawan Cianjur Tatang Setiadi.
Pria itu memaparkan, ada enam padaleman di daerah ini saat itu, yakni Cikundul, Cimapag, Cipamingkis, Cihea, Cibalagung, dan Cikalong. Pada masa selanjutnya, setelah dibuat kesepakatan di antara para dalem, keenam padaleman tersebut dilebur menjadi satu dengan nama Padaleman Cianjur.
Reiza D Dienaputra dan kawan-kawan (2006), dalam Sejarah Lokal Cianjur menyebutkan, padaleman baru ini berkemungkinan besar dibentuk sesudah 1619. Pasalnya, sebelum itu toponimi Cianjur belum lagi dikenal di Jawa Barat.

Sementara, menurut catatan Cikundul-bond, Padaleman Cianjur dibentuk sekitar 1677. Hal ini diperkuat oleh fakta sejarah, tahun itu merupakan masa-masa akhir kekuasaan Mataram yang ditandai dengan penyerahan wilayah Priangan Barat ke VOC. Perjanjian tersebut disepakati pada 19-20 Oktober 1677.
Aria Wira Tanu diangkat menjadi Dalem Cianjur pertama. Di awal masa pendirian daerah ini, ia memusatkan pemerintahannya di Cikundul. Kota “Cianjur lama” ini terletak sekitar 25 km sebelah timur laut pusat kota Cianjur sekarang.
“Sebelum adanya penyatuan padaleman-padaleman tersebut, Aria Wira Tanu memang sudah lebih dulu menjabat sebagai Dalem Cikundul,” jelas Tatang. Hari ini makam “Bupati” Cianjur pertama itu masih bisa dilihat di Desa Majalaya, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Pecinan yang hilang
Seiring pergantian waktu, Padaleman Cianjur mengalami berbagai dinamika. Pusat pemerintahannya beberapa kali berpindah tempat, mulai dari Cikundul, Pamoyanan, hingga ke Kampung Cianjur (kota Cianjur sekarang --Red).

Di bawah pemerintahan VOC, padaleman ini berubah menjadi kabupaten. Wajah Kampung Cianjur terus berubah hingga menjadi kawasan permukiman dan perniagaan. Penduduknya pun semakin bertambah dan beragam. Keragaman tersebut diwarnai oleh kehadiran etnis Tionghoa di daerah ini pada awal abad ke-19. Pendirian kampung Cina melalui beslit tanggal 9 Juni 1810, menjadi penanda keberadaan orang-orang Cina di Cianjur.
Salah satu bangunan lama Cina yang masih dapat disaksikan di daerah ini adalah Kelenteng Hok Tek Bio. Kimsin (patung dewa) Hok Tek Ceng Sin, yang menjadi tuan rumah kelenteng ini, berasal dari Bogor. “Patung tersebut dibawa ke kota ini oleh Oey Seng Kiat, seorang kapitan yang menjabat di Cianjur pada masa itu,” tutur sang pengurus kelenteng Hendra Kurniawan.
Menurut Hendra, jalur umum kedatangan orang-orang Cina ke daerah ini dimulai dari Batavia, Bogor, baru kemudian ke Cianjur. Mereka membangun pertokoan di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto dan Mangunsarkoro. Kawasan dagang ini lebih tua usianya dari Kelenteng Hok Tek Bio. Selain itu, ada lagi pertigaan Sugwe di Jalan Taifur Yusuf. Nama lokasi ini diambil dari nama seorang saudagar Cina Cianjur yang termasyhur di zamannya, Gou Su Gwee.
Sekarang, kawasan-kawasan tersebut sudah jauh berubah wajahnya. Perbauran yang terjadi antara peranakan Tionghoa dan penduduk pribumi tak lagi membuat tempat-tempat ini menampilkan kesan layaknya pecinan kebanyakan.

Di daerah Pasir Hayam, tepatnya di Desa Sirnagalih Kecamatan Cilaku, terdapat kompleks kuburan kuno warga Cina Cianjur. Setidaknya, terdapat tiga bukit utama yang dijadikan sebagai area pemakaman tersebut. Pusara-pusara yang terdapat di kompleks ini kebanyakan berukuran besar dengan arsitektur megah khas Cina. Pada beberapa nisan, dapat dilihat usia makam tertua dibangun sekitar tahun 1920-an.
“Saat ini, area kompleks pemakaman kuno tersebut dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cianjur dan masih digunakan hingga sekarang,” terang anggota komunitas Cianjur Heritage Ilham Nurwansah.
Menikmati Cianjur Heritage
Bangunan-bangunan kuno warisan masa lalu masih dapat dijumpai di Cianjur hari ini. Ilham Nurwansah (24 tahun) menyebutkan, arsitektur bergaya khas yang kerap ditemukan berupa puncak atap berbentuk pelana dengan ornamentasi khas Cina.
Arsitektur semacam ini masih dapat dilihat pada sejumlah bangunan di Jalan HOS Cokroaminoto, Jalan Siti Jenab, Jalan Suroso, Jalan Barisan Banteng, Jalan Taifur Yusuf, Jalan Sinar, dan beberapa ruas jalan lainnya di kawasan Kota Cianjur. Arsitektur serupa juga ditemukan di sekitar Pasar Warungkondang. “Beberapa di antaranya sudah berubah fungsi,” imbuh anggota komunitas Cianjur Heritage itu.

Wisma Karya di Jalan Sanghai (sekarang Jalan Mohammad Ali Cikidang --Red), misalnya, dulu merupakan gedung serbaguna yang dibangun oleh warga keturunan Tionghoa. Gedung ini sempat beralih fungsi sebagai tempat kegiatan kesenian rakyat. Di bawah pemerintahan Bupati Wasidi Swastomo (2001-2006), Wisma Karya menjadi gelanggang olahraga tenis meja sampai kini. Begitu pula halnya dengan Gedung Ampera di Jalan Suroso. Bangunan sekolah kaum Tionghoa yang dibangun pada 1956 itu sekarang menjadi Gedung Dewan Kesenian Cianjur.
Nuansa kuno juga dapat dijumpai pada Stasiun Kereta Api (KA) Cianjur yang berlokasi di Jalan Yulius Usman. Stasiun ini dibangun pada 1883, bertepatan dengan dibangunnya jalur rel kereta api Sukabumi-Cianjur sepanjang 39 km. Stasiun KA Cianjur mulai beroperasi tahun berikutnya, setelah rampungnya pembangunan jalur rel kereta api Cianjur-Bandung sejauh 59 km.
Gaya arsitektur Eropa dari zaman kolonial pun masih tampak pada beberapa bagian bangunan tersebut. “Stasiun ini sudah tidak beroperasi lagi sejak tiga bulan lalu. Kini fungsinya sebagai cagar budaya saja,” kata salah satu petugas Stasiun Cianjur, Nana S (34).
Di seberang stasiun itu terdapat bangunan kuno lainnya, yaitu Sinar Theater. Bangunan bioskop tersebut tidak difungsikan lagi sejak akhir 1990-an.

Ada pula Pendopo Kabupaten Cianjur yang didirikan sekitar 1780. Bangunan bergaya campuran Eropa dan lokal ini sekarang menjadi bagian dari kompleks Kantor Bupati Cianjur. Di depan kompleks tersebut terdapat sebuah lonceng besar buatan Batavia dengan angka tahun 1774 yang digantungkan pada tiang beton. Di masa lalu, lonceng ini dibunyikan sebagai pertanda waktu masuk, istirahat, dan selesai kerja para pegawai pemerintahan. “Sampai sekarang tradisi lonceng ini masih berlaku,” imbuh Ilham.
Ia mengungkapkan, keberadaan bangunan kuno di Cianjur semakin terkikis oleh perkembangan zaman. Bangunan-bangunan heritage yang tersisa pun belum mendapatkan perhatian layak dari pemerintah daerah setempat dan kebanyakan terhalang oleh sejumlah lapak pedagang kaki lima yang mangkal di depannya. “Harus ada penataan kota yang lebih baik lagi,” tegasnya.
Disadur dari Harian Republika edisi 5 Mei 2013 dengan reportase Ahmad Islamy Djamil dan foto-foto Aditya Perdana Putra
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Sebuah Surga di Pulau Hoga
Keindahan alam di bawah laut membuat banyak orang tak pernah bosan menyelam di perairan Wakatobi.
SELENGKAPNYAWisata Sejarah ke Pulau Galang
Kisah manusia perahu yang sempat menikmati keramahan nusantara membuat museum di Pulau Galang ini menjadi menarik.
SELENGKAPNYAPacu Jawi nan Mendunia
Joki yang wajahnya telah penuh lumpur, menggigit ekor salah satu sapi. Lari kedua sapi itu pun kembali lurus.
SELENGKAPNYA