
Safari
Wisata Sejarah ke Pulau Galang
Kisah manusia perahu yang sempat menikmati keramahan nusantara membuat museum di Pulau Galang ini menjadi menarik.
Kapal kayu itu berlayar oleng, terombang-ambing di tengah lautan. Tampak jelas kapal nelayan itu sarat, bahkan kelebihan beban. Manusia berjubel mengisi seluruh sisinya. Sekitar seratus orang berbagai umur, mungkin, ada di sana.
Lukisan itu seolah menjelaskan tragedi manusia yang dipamerkan di Museum Wisata Sejarah Galang Batam, Kepulauan Riau. Lukisan itu sedikit banyak menggambarkan kondisi pengungsi Vietnam yang terombang-ambing di Laut Cina Selatan dengan kapal dan perbekalan seadanya, berjubel di kapal sederhana tanpa tahu kapan dan di mana mereka akan berlabuh.
Ratusan bahkan mungkin ribuan kapal berlayar meninggalkan Vietnam selama Perang Vietnam yang dimulai pada 1975. Tidak semua kapal beruntung bisa berlabuh di pulau terdekat yang mereka temui. Sebagian tenggelam, mengubur penumpangnya di antara kehidupan bawah laut.
Pengungsi Vietnam meninggalkan kekacauan perang ke tengah lautan untuk mencari suaka. Berbulan-bulan di atas kapal yang sempit, pencari suaka yang juga disebut 'manusia perahu' ini sampai ke negara-negara terdekat, termasuk Indonesia. Kapal pertama sampai di Indonesia pada 1975. Kapal tersebut berisi 75 pengungsi.

Setelah itu, muncullah eksodus ke Kepulauan Riau. Pengungsi Vietnam berlayar masuk ke Indonesia melalui Kepulauan Natuna. Dan, mereka tersebar di pulau-pulau di Riau, meminta pertolongan masyarakat setempat.
Karena kedatangan pengungsi semakin besar, pemerintah akhirnya meminta bantuan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh lembaga PBB yang bertugas mengurus pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Indonesia diminta untuk menyediakan lokasi sementara bagi pengungsi Vietnam. Pulau Galang, Kepulauan Riau, dipilih sebagai lokasi pengungsian. Pulau ini dipilih karena memenuhi sejumlah persyaratan, seperti kemudahan untuk menyalurkan pengungsi ke negara ketiga, mudah diisolasi, dan mudah diakses untuk kelancaran logistik. Kala itu Pulau Galang bertransformasi menjadi Kampung Vietnam.
Terisolasi
Pengungsi dikumpulkan di Camp Galang mulai 1979 hingga 1996. Setidaknya, ada 250 ribu pengungsi yang dikumpulkan di Camp Galang. "Sebelumnya ada yang ditempatkan di kamp sementara di Kabupaten Anambas," ujar pemandu wisata Pulau Galang, Syahid Adnan, belum lama ini.
Kamp ini terdiri dari dua sektor, yaitu Galang I dan Galang II. Setiap sektor memiliki enam zona yang disebut Zona A sampai Zona F. Setiap sektor diisi setidaknya lebih dari 100 ribu pengungsi. Kedua sektor mendapatkan fasilitas yang sama seperti tempat tinggal, air bersih, listrik, dan kebutuhan pangan. Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas umum, seperti fasilitas kesehatan, tempat ibadah, sekolah, pemakaman, penjara, dan fasilitas umum lain.

Masyarakat yang mengungsi juga diberdayakan sesuai dengan profesinya masing-masing. Guru diberi kesempatan mengajar di sekolah darurat, sementara dokter dan perawat Vietnam yang mengungsi dibolehkan mengisi fasilitas kesehatan.
Syahid yang dulu sempat bekerja sebagai operator di Camp Galang ini mengatakan, selama menjadi lokasi pengungsian, Pulau Galang 100 persen terisolasi. Pengungsi Vietnam dilarang berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Interaksi penduduk dan pengungsi hanya terjadi sebatas jual beli atau barter. PBB dan Pemerintah Indonesia telah menyebar petugas keamanan untuk memastikan tidak ada penduduk yang melakukan komunikasi dengan pengungsi.
Pemulangan pengungsi dimulai pada awal 1990-an. Pengungsi terakhir dipulangkan pada September 1996. Pengungsi terakhir yang dikirim pulang sebanyak 4.750 orang. Pemulangan bukan tanpa masalah. Banyak sekali pengungsi Vietnam yang enggan kembali ke negaranya karena mengalami trauma perang. Namun, sesuai dengan Bangkok Statement yang ditandatangani pada 1979, pengungsi Vietnam tidak boleh tinggal di lokasi pengungsian. "Mereka dipulangkan dengan pesawat udara dan kapal laut," ujar Syahid yang dulu bekerja di bawah bendera PT Karya Titan tersebut.
Hari ini, wisatawan masih dapat melihat bukti-bukti sejarah Kampung Vietnam di Pulau Galang. Sejumlah bangunan dan fasilitas umum masih berdiri menjadi saksi ketakutan penduduk Vietnam atas perang yang terjadi di negerinya. Beberapa fasilitas lain sudah mulai rusak, termasuk barak tempat tinggal pengungsi dan kapal yang membawa pengungsi dari Vietnam menuju Indonesia.
Di Museum Wisata Sejarah Galang Batam, pengunjung dapat melihat peninggalan sejarah yang tersisa dari pengungsi, seperti alat makan, elektronik, kerajinan, dan kendaraan yang digunakan pengungsi selama di Camp Galang. Museum tersebut juga menyuguhkan dokumentasi selama pengungsi berada di lokasi pengungsian selama lebih dari 17 tahun.

Menuju Pulau Galang
Pulau Galang merupakan wilayah yang masih termasuk wilayah pemerintahan Kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini merupakan rangkaian pulau besar ketiga yang dihubungkan oleh sejumlah jembatan. Jembatan-jembatan tersebut memiliki nilai wisata sendiri bagi masyarakat Batam dan sekitarnya.
Dari Batam, wisatawan akan melewati enam jembatan yang disebut dengan Jembatan Barelang. Barelang sendiri merupakan akronim dari Batam-Rempang-Galang. Hanya perlu waktu sekitar 1-2 jam menuju pulau yang luasnya sekitar 80 kilometer persegi tersebut.
Setiap pengunjung yang ingin berwisata sejarah di Pulau Galang cukup mengeluarkan uang sekitar Rp 2.000 sampai Rp 5.000 per kepala sebagai biaya retribusi. Wisata dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi atau bus sewaan. Bagi yang gemar tracking, wisata sejarah Pulau Galang bisa dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi rute wisata, termasuk makam pengungsi Vietnam, kapal peninggalan pengungsi, museum, fasilitas penjara, pusat remaja, gereja, dan vihara.
Selain melihat-lihat ke kompleks pengungsian, wisatawan juga dapat berkunjung ke vihara yang sampai hari ini masih berdiri. Vihara Quan Am Tu menjadi salah satu objek wisata tersendiri bagi pengunjung. Lokasinya tidak jauh dari kompleks pengungsian, tapi berada di jalur yang berbeda.
Disadur dari Harian Republika edisi 12 Januari 2014 dengan reportase Friska Yolanda
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Senja di Baduy Luar
Kampung masyarakat Baduy Luar tak kalah menariknya untuk dikunjungi.
SELENGKAPNYAMenengok Jejak Multatuli di Bumi Rangkas
Nama Multatuli dikenal masyarakat Lebak tak lebih dari nama jalan dan apotek.
SELENGKAPNYAKu Datang ke Tanah Sumba ...
Penyambutan tamu secara adat diakhiri dengan acara tombak babi yang menunjukkan keramahtamahan orang Sumba.
SELENGKAPNYA