
Safari
Senja di Baduy Luar
Kampung masyarakat Baduy Luar tak kalah menariknya untuk dikunjungi.
Saya terdiam sejenak. ''Sudah sampai di Rangkas tapi tidak ke Baduy, perjalanannya tidak akan lengkap, Kang,'' kata Haodudin kepada saya. Hao adalah pemandu kami dari Banten Heritage yang menemani perjalanan ke daerah Banten Selatan. Ia adalah putra asli Rangkas yang mengenal cukup akrab warga Baduy Luar.
Sejujurnya, Baduy ini tak masuk ke dalam agenda perjalanan kami. Tapi, nama Baduy yang sudah dikenal lewat kearifan masyarakat adat yang mendiami wilayah pegunungan Kendeng, akhirnya membuat hati saya luluh. Saya menyadari apa yang diucapkan Haodudin itu ada benarnya juga. Tanpa ke Baduy, perjalanan kami di Rangkasbitung ini ibarat makan nasi tanpa garam.
Dari Kota Rangkas, kami mengarah ke sebelah selatan. Jaraknya dari Kota Rangkas sekitar 40 kilometer lebih. Namun, butuh waktu hampir dua jam lebih, saat kami melintasi jalan-jalan berlubang di sepanjang jalan Cimarga menuju Leuwidamar dan berakhir di Ciboleger.
Perkampungan Baduy ini berada di Desa Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di Ciboleger inilah, kendaraan kami di parkir. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan dengan menapaki anak tangga menuju Kampung Kadu Ketuk yang berada di Desa Kanekes. Kampung Kadu Ketuk ini merupakan tempat permukiman suku Baduy Luar yang berbatasan langsung dengan warga non-Baduy.

Memasuki kampung
Ketika masuk ke perkampungan ini, kami disambut dengan suara yang khas. Alunannya ritmis, dengan pola ketukan yang sama dan selalu berulang. Bunyinya memunculkan pola suara “cetak ... cetak .…” Suara itu berasal dari potongan bambu yang dibenturkan dengan kayu. Itulah suara mesin tenun manual yang setiap hari menjadi ritual wanita-wanita Baduy. ''Biasanya kita mulai dari pagi sampai sore,'' kata Ambu Alis (31 tahun), ibu beranak dua dari suku Baduy luar ini.
Kain tenun buatan Ambu Alis ini biasanya menjadi buah tangan incaran para pelancong. Untuk kain songket berukuran panjang 2 meter dan lebar 90 meter, ia mengerjakannya sekitar satu minggu. ''Kain ini saya jual bisa sampai Rp 350 ribu,'' kata dia.
Sekitar 1,5 jam kami sempat beristirahat di Kampung Kadu Ketuk ini sambil mendengarkan alunan bunyi mesin tenun. Kami merelaksasi diri di rumah panggung beratap rumbia milik Sarif. Rencana sudah ditetapkan untuk berjalan ke Baduy dalam. Seusai beristirahat cukup, kami memulai perjalanan.
Perjalanan meninggalkan Kampung Kadu Ketuk ini melewati jalan bebatuan dan tanah lempung. Medannya menanjak. Di sepanjang perjalanan, kami melewati wilayah sangat rindang dengan vegetasi pepohonan yang beragam. Saat memulai perjalanan, langit terlihat cukup cerah. Tapi, baru satu jam berjalan, cuaca berubah. Awan hitam mulai menutupi langit pada perjalanan kami. Lalu tanpa basa-basi, guyuran air selanjutnya seperti membanjur tubuh kami yang tak melengkapi diri dengan payung atau jas hujan.

''Ayo jalan ke atas sedikit lagi,'' ajak Sarif terdengar memecah suara hujan yang langsung deras mengguyur. ''Di sana, ada saung.'' Kami pun berlari-lari kecil sambil tetap waspada supaya tak tergelincir ke bagian lereng yang ditumbuhi semak belukar.
Tak sampai semenit, kami melihat sebuah saung. Lokasi saung ini berada di wilayah Kampung Balimbing. Di sekitar saung itu terhampar padi gogo berusia empat bulan. ''Ini padi saya. Jenisnya padi huma, beda dengan padi yang ada di luar (suku Baduy). Biasanya pola tanam padi ini hanya setahun sekali saja,'' kata Sarif.
Hampir sejam kami tertahan di saung beratap rumbia dan berbilik kayu anyaman. Setelah hujan mereda, Sarif berkata, ''Kalau mau terus ke Gajeboh (perbatasan Baduy luar dan dalam), kita tidak cukup waktu. Keburu gelap.'' Setengah bercanda, saya berseloroh kepada fotografer Republika Aditya Pradana Putra, ''Mau jadi orang desersi dari tugas atau mau nekat jalan terus, nih?'' Ah, rupanya canda tersebut menjadi nyata. Kami memutuskan untuk kembali ke Baduy luar.
Saat perjalanan kembali, kami cukup sering berpapasan dengan warga Baduy. Ada ibu-ibu, anak kecil, hingga orang dewasa. Sarif mengatakan, pada sore hari warga Baduy memang sering pergi ke ladang. Said (25 tahun), warga kampung Kadu Ketuk, adalah salah satunya. Berjalan tanpa alas kaki, pria ini mengaku hendak mencari nira yang menjadi bahan pembuat gula merah. ''Biasanya pagi dan sore saya mencari nira,'' kata dia.
Wanita Baduy
Tak lama, kami melihat jejeran atap rumbia berwarna hitam. Warga Baduy menyebutnya leuit atau lumbung padi. Setelah itu, tak berapa jauh dari leuit, terlihatlah perkampungan Kadu Ketuk besar. Sarif bercerita, beberapa tahun lalu, perkampungan ini pernah terbakar. ''Bangunannya habis semua, tapi kemudian warga di sini bergotong royong membangun kembali rumah mereka,'' katanya. Budaya gotong royong ini menjadi salah satu dari kearifan yang masih lestari dan terjaga di suku Baduy.

Menyusuri jalan menurun, suara mesin tenun manual kembali terdengar. Cuma alunannya hanya satu kali entakan saja. Sarif mengatakan, kalau suara satu kali itu biasanya untuk membuat tenunan berukuran lebih kecil. Di kampung Kadu Ketuk Babakan ini, kami menyaksikan tiga remaja putri yang tengah menenun.
Satu di antaranya memiliki rupa menyerupai penyanyi Nafa Urbach. Wanita berusia 15 tahun itu bernama Dewi. Ia hanya tersipu malu ketika kamera diarahkan kepadanya, termasuk juga saat diajak berbicara. Remaja yang telah berstatus janda ini mengaku mulai menenun sejak usianya masih 10 tahun. ''Biasanya bersama teman-teman (buat tenunan),'' katanya.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini, saya melihat dua wanita yang tengah menumbuk kopi dengan alat alu dan lesung. Kedua alat itu terbuat dari bahan kayu. Ketika suara alu menyentuh lesung, terdengarlah alunan yang harmonis menyerupai alunan suara perkusi.
Alunan alu menumbuk lesung itu diselingi juga dengan suara ayam kampung dan anak-anak kecil yang berlarian. Saya sungguh menikmatinya. Sambil merebahkan diri di atas bilik bambu, tak lupa juga untuk mencium aroma kopi yang terbawa angin kala tertumbuk di dalam lesung, saya tersadar kalau hari sudah mulai gelap. Walau tak sampai ke Baduy dalam, persinggahan singkat ke perkampungan Baduy ini telah menyelipkan kesan tak terlupakan. Ya, menikmati senja di Baduy sesungguhnya bisa menjadi hiburan yang menyenangkan, terutama jika ingin mewujudkan romantisme suasana kampung yang bersahaja.
Disadur dari Harian Republika Edisi 16 Maret 2014 dengan reportase oleh Mohammad Akbar
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ku Datang ke Tanah Sumba ...
Penyambutan tamu secara adat diakhiri dengan acara tombak babi yang menunjukkan keramahtamahan orang Sumba.
SELENGKAPNYA