
Safari
Ku Datang ke Tanah Sumba ...
Penyambutan tamu secara adat diakhiri dengan acara tombak babi yang menunjukkan keramahtamahan orang Sumba.
Saya ulangi kata per kata hingga membentuk kalimat di dalam hati. "Nanti kalau diberi buah sirih sama biji pinang, diterima ya. Habis itu coba dikunyah." Nasihat itu seolah melekat di benak saya selama dua jam perjalanan dari Bandara Tambolaka menuju sebuah desa tak berlistrik di pengujung barat Pulau Sumba, Kendautana.
"Itu sebagai bentuk penghormatan kita atas sambutan mereka," nasihat itu terus berlanjut di pikiran saya. Di atas mobil double cabin yang saya tumpangi, yang melaju di antara padang sabana yang hanya dihuni satu-dua pohon meranggas, saya terus meyakinkan diri saya sendiri. "Harus dikunyah," batin saya.
Lupa mengoreksi jam tangan ke Waktu Indonesia Tengah, jarum jam saya masih menunjuk pukul dua siang. Padahal, seharusnya pukul tiga sore, tepat saat rombongan kami tiba di gerbang desa yang kami tuju. Sebuah desa yang masuk ke dalam Kabupaten Sumba Barat Daya ini.
Dari kejauhan, saya bisa melihat keramaian warga yang berkerumun di depan gapura desa yang terbuat dari bambu. Penduduk desa tampak berpakaian adat warna-warni. Para wanita mengikat rambutnya ke belakang, memakai atasan warna-warna cerah berenda. Sedangkan, para pria memakai ikat kepala yang terbuat dari kain hinggi, kain tradisional Sumba.

Seorang pria, yang kemudian saya ketahui sebagai kepala suku, datang mendekat. Di pinggangnya terikat hinggi kombu, kain pelengkap serupa sarung bagi orang Melayu. Ikat kepalanya ikut bergoyang-goyang mengikuti gerakannya yang rancak, melompat ke kanan dan kiri sambil meneriakkan kalimat dalam bahasa lokal. "Dia menyambut kita," ujar Adi Lagur, salah satu pendamping kami.
Di belakang sang kepala suku ada lima orang laki-laki, dua dewasa, dan tiga anak-anak, mereka ikut menarikan woleka, upacara penyambutan tamu di Kendautana. Sang kepala suku kemudian berjalan ke dalam gerbang, membimbing kami untuk mengikutinya. Lima laki-laki di belakangnya lantas berlari ke depan, membentuk formasi di depan sebuah rumah besar dari bambu, beratap jerami.
Saya berdiri di barisan paling belakang. Terimpit penduduk lokal yang tak bosannya menyunggingkan senyum. Satu per satu dari kami kemudian diperintahkan untuk membentuk barisan, bergiliran untuk bersalaman dengan sang kepala suku. "Ini, nih. Nanti dikasih sirih pinang," ucap Adi Lagur memberikan bocoran.
Barisan kami mengular seperti anak sekolah dasar yang antre masuk kelas. Sang kepala suku ibarat guru yang menunggu di depan kelas, mengulurkan tangannya untuk diraih murid-muridnya. Namun, yang saya alami bukan sekadar murid yang girang memulai hari. Saya sedang diinaugurasi untuk masuk ke dalam lingkungan adat sebuah suku yang masih memegang teguh prinsip tradisi.

Masing-masing dari kami maju ke depan, bergiliran bersalaman dengan sang kepala suku sambil diberikan sehelai kain hinggi yang harus disematkan di tubuh, bebas mau dipakai di mana. Giliran saya tiba. Kain hinggi saya lilitkan di leher, serupa syal. Warnanya biru dengan garis kuning memenjang paralel sepanjang kain. Kepala suku kemudian memberikan saya sebuah besek bambu kecil seukuran telapak tangan. Isinya seperti yang saya nantikan: beberapa butir biji pinang dan dua batang buah sirih. "Selamat datang di desa kami," ujar dia lirih menutup ritual singkat penyambutan.
Kami kemudian dipersilakan masuk ke dalam uma peghe, rumah bambu tiga tingkat berukuran 10 x 10 meter, beratap jerami. Bagian teratas atap rumah ini menjulang setinggi lima meter, membuatnya lebih mirip menjadi menara ketimbang atap rumah. Saya dan rombongan laki-laki lainnya, masuk lewat pintu depan yang memiliki teras kecil. Sedangkan, tamu perempuan harus masuk lewat pintu belakang. Tak ada tangga, hanya ada pijakan bambu setinggi 40 sentimeter yang harus dilalui. Kaki pendek saya terpaksa sedikit melompat untuk naik ke lantai utama: pelataran luas dengan empat pilar menopang atapnya dan sebuah perapian di tengah.
Tingkatan di uma peghe melambangkan level kehidupan. Tingkatan terbawah adalah kali kambunga, bagian tanpa dinding yang hanya terdiri atas tiang-tiang bambu penyangga rumah. Sebagai tingkat terbawah, masyarakat Sumba biasa memelihara hewan ternak mereka di sini. "Tingkat terbawah adalah tempatnya hewan, tempat kotoran," ujar Pater Mike, salah satu tokoh adat setempat, yang kemudian diangkat sebagai kepala suku kehormatan.
Tingkat kedua, bagian yang saya masuki, adalah uma bei. Di tempat inilah kehidupan manusia berlangsung. "Sebagai tempat sosialisasi, manusia berhubungan dengan manusia," lanjut Pater Mike. Bagian teratas disebut uma deta yang melambangkan dunia atas atau dunia para dewa. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan lokal masyarakat Sumba yang masih memeluk Marappu, sebuah kepercayaan lokal yang berkaitan dengan sistem animisme dan dinamisme. Di uma deta, penganut Marappu biasa menyimpan bahan pangan, seperti beras, jagung, dan juga beberapa peralatan upacara.

Upacara tombak babi
Sekira setengah jam kemudian, kepala suku mempersilakan kami keluar. "Kita lihat prosesi tombak babi," kata dia. Upacara tombak babi diadakan di halaman uma peghe, disaksikan semua penduduk Kampung Kendautana. Keriuhan warga yang mengenakan kostum warna-warni terdengar jauh lebih kencang dibanding kami para pendatang yang malah terdiam.
Bagi saya yang seorang Muslim, prosesi pembunuhan babi adalah hal yang sama sekali baru. Babi sendiri adalah salah satu hewan ternak utama di Sumba yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen dan kepercayaan Marappu.
Upacara tombak babi diawali dengan tari-tarian yang dimainkan oleh tiga orang lelaki. Lelaki pertama bertugas memegang tombak yang nanti akan dia hunuskan ke dada babi, lelaki kedua merapalkan kalimat-kalimat dalam bahasa lokal (yang isinya adalah pemujaan untuk Marappu), dan lelaki ketiga bermain kendang untung menyemarakkan upacara. Para penonton membentuk lingkaran untuk menyaksikan upacara adat kebesaran orang Sumba ini.
Persembahan babi ketika ada tamu yang datang adalah bukti betapa ramahnya orang Sumba. Beberapa dari kami ada yang tidak tega melihatnya. Babi yang telah mati ini nantinya akan dimasak bersama-sama untuk disantap bersama di uma peghe malam harinya. Ritual tombak babi adalah penutup upacara penyambutan sore itu. Dada saya berdesir ketika menyaksikan bahwa masih ada orang-orang di sudut Tanah Air ini yang masih menjaga betul tradisi mereka.
Disadur dari Harian Republika edisi 16 November 2014 dengan reportase Sapto Andika Candra
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.