Istana Siak. | Prayogi/Republika

Safari

Menjejak Tanah Siak

Sungai Siak membawa imajinasi kita ke muara sejarah, tempat pertama kali kota ini berkembang.

Kota yang tenang, kendaraan jarang lalu lalang. Angkutan umum pun belum ada. Aktivitas warga kebanyakan menggunakan kendaraan roda dua. Mereka sebut kendaraan itu honda, tetap honda padahal jelas-jelas mereknya berbeda. Sore menghampiri senja di pelataran Sungai Siak, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Sudah pukul 18.00, matahari tak juga turun. Alam Siak membenam surya jika waktu menunjuk pukul 18.40.

Kabupaten Siak, 150 kilometer dari Pekanbaru. Saya berkunjung bersama rombongan Lawatan Sejarah Nasional 2014 yang diadakan Kemendikbud beberapa waktu lalu. Siak dipercaya sebagai tuan rumah membuktikan kelayakannya sebagai sumber sejarah. Siak dikenal kota kerajaan, penguak tabir sejarah kebudayaan Melayu muda, kebudayaan yang menghubungkan Indonesia dengan kebudayaan serupa di beda negara seperti Malaysia dan Singapura.

Syahdunya aliran Sungai Siak sedap dipandang. Airnya tenang meski pekat kecokelatan. Kapal pengangkut kayu dan pasir hilir mudik. Sungai Siak pernah didaulat sebagai sungai terdalam di Indonesia. Konon, sungai yang dulu bernama Sungai Jantan itu memiliki kedalaman hingga 30 meter. Kedalamannya terkenal hingga kapal tanker mampu dibuatnya mengapung. Namun, beberapa tahun terakhir, sungai sepanjang 527 kilometer itu mendangkal. Banyak alasannya.

Sungai Siak pun membawa imajinasi ke muara sejarah, tempat pertama kali kota ini berkembang. Siak lahir berkat Kerajaan Melayu Islam, Kesultanan Siak Indrapura, pewaris sisa kejayaan Melayu yang dititipkannya kemudian kepada Republik Indonesia. Kerajaan Siak hadir dan berkembang juga berkat keberadaan Sungai Siak. Tiap peninggalannya berada di tepian sungai. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Siak Indrapura berdiri pada 1723 yang saat itu memiliki seorang raja bernama Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah atau yang dikenal dengan nama Raja Kecik.

photo
Makam Raja Kecik di Kota Siak. - (Prayogi/Republika)

Dewasa ini masih banyak yang melempar pertanyaan seberapa kental kekerabatan Indonesia dengan Malaysia. Kerajaan Siak Sri Indrapura--kerajaan yang mewarisi kebudayaan Melayu di Indonesia, merupakan embrio yang lahir dari kerajaan Melayu dari dinasti Malaka sejak abad ke-14.

"Raja Kecik (raja Siak pertama--Red) merupakan anak dari Sultan Mahmud Syah, sultan Johor yang mati terbunuh karena perebutan takhta kerajaan," kata sejarawan Siak yang juga ketua Lembaga Warisan Budaya Melayu Riau, Drs HOK Nizami Jamil. Goresan sejarah ini yang kemudian membuat Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan darah, karena merupakan keturunan yang sama dari Kerajaan Melayu Johor.

Semasa Raja Kecik masih dalam kandungan, diceritakan Nizami, terjadi perebutan takhta di Kerajaan Johor pada 1699. Raja Johor Sultan Mahmud Syah tewas dibunuh. Sang permaisuri, Encik Pong yang sedang hamil tua, melarikan diri ke Singapura, kemudian menyeberang Ke Jambi. Dalam pelarian itulah Encik Pong melahirkan Raja Kecik. Kemudian, Raja Kecik dibesarkan dalam asuhan keluarga Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau.

 

Istana Siak nan Megah

Sejak berdaulat pada 1723, Kerajaan Siak Indrapura mewarisi 12 raja hingga berakhir pada 1946. Sejatinya, keberadaan pusat pemerintahan Kerajaan Siak berpindah-pindah tempat karena situasi politiknya di era masing-masing. Kendati demikian, ada sebuah peninggalan begitu gemilang yang disisakan kerajaan Melayu Islam tersebut.

photo
Istana Siak. - (Prayogi/Republika)

Adalah Istana Matahari Timur yang kemudian tak luput saya kunjungi. Istana ini juga dikenal dengan nama Istana Asserayah Hasyimiah. Merupakan Istana peninggalan Kerajaan Siak Indrapura yang dibangun pada abad ke-19, saat kemapanan ekonomi kerajaan makin tangguh. Istana Siak dibangun pada pemerintahan Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, pada 1889.

Bangunannya megah, menyita lahan seluas lima hektare. Istana mengadopsi gaya melayu, Eropa, dan Arab. Konon, pembangunan istana dilakukan oleh arsitek berkebangsaan Jerman. Bangunan Istana Siak rampung 1893. Di Istana ini dapat dilihat banyak koleksi kerajaan. Pada dinding istana, berhias keramik yang dihadirkan langsung dari Prancis. Terdapat juga patung Wilhelmina, sang Ratu Belanda di dalamnya.

Sebuah alat musik gendang besar menyita perhatian. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Siak, Said Muzani, menyebut itu bukan gendang sembarang. Alat itu disebut gendang nobat. Perkakas krusial yang menjadi jantung perjalanan hidup kerajaan. "Gendang itu ditabuh tiap kali penobatan raja, dilakukan sejak kerajaan Siak berdiri pada 1723," ujar Said.

Istana bertingkat dua. Di lantai atas merupakan ruangan yang dibuat berkamar-kamar yang merupakan kamar penghuni istana. Saya sedikit menggumam, memang dasar Eropa pemuja keindahan. Jendela utama seketika dibuka, terpampang keindahan. Istana dibangun persis berhadapan langsung dengan Sungai Jantan/Siak.

photo
Istana Siak. - (Prayogi/Republika)

"Ada sekitar 425 koleksi dari peralatan istana," kata Said. Namun begitu, ia tidak membantah banyak koleksi dan peralatan makan istana yang hilang tak berbekas. Dulu, katanya, koleksi istana mencapai lebih dari 200 lusin. "Sejak 1970, banyak yang hilang karena dipakai secara umum oleh masyarakat," jelasnya. Biasanya, banyak peralatan istana digunakan untuk keperluan hajatan, dipinjam namum kemudian tidak dikembalikan.

 

Buantan, lokasi tertua Kerajaan Siak

Setengah jam perjalanan ke arah timur dari Istana Siak, saya, masih bersama rombongan Lasenas 2014, tiba di sebuah desa bernama Buantan di kecamatan Bungaraya. "Kita sudah sampai di pusat pemerintahan pertama kali Kerajaan Siak berdiri," teriak Said Muzani melalui TOA-nya kepada ratusan pelajar Lawatan Sejarah Nasional.

Informasi yang justru membuat heran para rombongan. Teriakan yang terucap di sebuah lapangan ilalang, di sebuah perkampungan sepi di tepian Sungai Siak. Tak ada sesuatu yang merepresentasikan bahwa kawasan ini merupakan pusat ibu kota sebuah kerajaan besar.

Perjalanan berlanjut menelusuri jalan setapak memasuki lebih dalam perkampungan warga. Berdiri sebuah bangunan berpendopo beratap gaya melayu. Bangunan itu sebuah kompleks pemakaman. Makam Raja Kecik, raja pertama Siak Indrapura.

Catatan sejarah, tuturan sejarawan, tak membantah Buantan merupakan daerah pertama kali Siak Indrapura membangun sebuah kerajaan. Namun, saat ini yang tersisa hanya makam sang raja dan beberapa bangunan penghiasnya. Hampir sulit ditemukan beberapa peninggalan berarti saat ini.

photo
Makam Marhum Buantan alias Raja Kecik. - (Prayogi/Republika)

Informasi lain tentang bukti pusat kerajaan adalah cerita dari Tri Riki (38 tahun), penjaga sekaligus juru pelihara makam Raja Kecik. Tak jauh dari pusat makam, ujarnya, terdapat beberapa sisa pondasi kerajaan yang dibangun dengan beberapa pondasi kayu. Tri Riki merupakan petugas pembantu dalam penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Batusangkar beberapa tahun lalu. Sejak saat itu pula, ia benar-benar mengakui bahwa tanah Buantan adalah tanah bersejarah.

"Saat itu ditemukan sekitar 28 kayu di lahan sekitar 100 meter persegi," ujarnya. Lokasi penemuan terdapat di lahan yang kini menjadi perkebunan getah karet. Penelitian membuktikan bahwa struktur kayu menunjukkan sebuah pilar-pilar kokoh, menandakan sebuah bangunan yang berbeda dengan pilar-pilar kayu lainnya yang ditemukan tak jauh dari areal tersebut.

 Berjarak 100 meter ke arah barat dari makam Raja Kecik, terdapat sebuah kolam kecil. Meski berwarna cokelat pekat, kolam ini dikenal masyarakat dengan nama kolam hijau. Banyak cerita mengenai asal-usul namanya. Mitos yang berkembang paling dominan, kolam ini konon berwarna hijau saat datang malam bulan purnama.

Kolam hijau merupakan satu keping sejarah nan penting. Di tempat inilah para prajurit kerajaan Siak mengasah perlengkapan perangnya. Kolam yang dibangun pada 1723 itu diyakini memiliki keramat. Saat kerajaan Siak menghadapi pasukan Belanda yang ingin merebut wilayahnya, kolam ini menjadi tempat pencucian keris dan tombak para serdadu kerajaan. "Banyak yang percaya, kolam ini kemudian memberi racun pada tiap-tiap senjata prajurit Siak," ujar Said Muzani, kepala rombongan Lasenas itu.

 

Peninggalan lain Siak

Balai Kerapatan Tinggi dibangun pada masa pemerintahan Siak saat dipimpin Sultan Assyaidi Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada 1889. Bangunan istana juga menghadap ke arah Sungai Siak. Balai Kerapatan tinggi Siak berfungsi sebagai tempat pertemuan (sidang) Sultan dengan panglima-panglimanya. Saat ini dijadikan Museum Budaya dan Warisan Siak.

photo
Masjid Raya Sahabuddin. - (Prayogi/Republika)

Masjid Syahabuddin berdiri pada 1926 saat Siak dipimpin Raja ke-11, Sultan Syarif Kassim I. Nama Syahabuddin diambil dari kata Syahad, satu suku di Arab. Asal namanya mengadopsi dari sultan ke-2 Sultan Muhammad Ali yang memang berasal dari sana. Arsitektur bangunan ini perpaduan antara Timur Tengah dan Eropa.

Merupakan raja terakhir kerajaan Siak. Makamnya terletak di belakang Masjid Syahabuddin. Sultan Kasim II wafat pada 23 April 1968. Nama Sultan Syarif Kasim juga diabadikan sebagai nama bandara di Pekanbaru. Sultan Kasim II Menyandang gelar pahlawan nasional pada masa BJ Habibie. Menyudahi era kerajaan, Sultan menghibahkan kekayaannya yang mencapai 13 juta gulden serta istana dan tanah di wilayah kerajaannya. Dana tersebut diberikan kepada Republik Indonesia guna meneruskan cita-cita kemerdekaan.  50 meter ke arah timur dari Istana Siak. Terdapat sebuah kompleks pemakaman bernama Koto Tinggi. Bangunan berukuran 70 meter persegi itu bersemayam beberapa ahli waris kerajaan Siak Sri Indrapura. 

Disadur dari Harian Republika edisi 6 Juli 2014 dengan reportase Angga Indrawan dan foto-foto Prayogi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat