
Safari
Menengok Jejak Multatuli di Bumi Rangkas
Nama Multatuli dikenal masyarakat Lebak tak lebih dari nama jalan dan apotek.
Langit siang di atas Kota Rangkasbitung terlihat tak cerah. Awan hitam bergumul. Udara terasa hangat tak ada embusan angin yang memberikan kesejukan. Tak heran jika Mardiana sesekali terlihat harus mengibaskan kipas dari anyaman bambu yang ada di salah satu tangannya.
Siang itu, Mardiana bersama dua anggota keluarganya duduk beralaskan tikar pada selasar sebuah rumah yang tak terawat. Warna putih pada langit-langit rumah itu telah berubah. Beberapa bagian tampak bekas sisa air yang mengering menyisakan warna kekuningan dan hitam. Di bagian lainnya, langit-langit rumah juga terlihat pecah-pecah. Di sisi bangunan lainnya, langit-langit rumah telah menghilang. Bambu-bambu yang menopang genteng langsung terlihat mata.
Tak hanya bagian langit-langit rumah yang menunjukkan kesan tak terawat. Bagian pintu pun sudah reyot, salah satu bagian sudah tidak lagi terpasang engselnya. Menengok ke bagian dalam, debu setebal sekitar 1 cm menutupi lantai. Saya sudah tak begitu jelas untuk mengenali warna lantai karena yang tampak hanyalah warna cokelat kehitaman. Di bagian dalam berserakan batu, botol minuman, potongan kayu, hingga genangan air.
''Walau rumahnya seperti ini, kami masih bisa berteduh menunggu saudara yang lagi di IGD,'' kata Mardiana merujuk pada instalasi gawat darurat yang ada di RSUD Dr Adjidarmo Rangkasbitung.

Tak terawat
Mardiana hanyalah satu dari beberapa kelompok orang yang siang itu berteduh di bangunan yang berada di belakang RSUD. Sesungguhnya, Mardiana tak mengetahui secara pasti perihal asal usul rumah yang dijadikannya tempat berteduh. Padahal, hanya dua-tiga langkah di depannya terpajang sebuah papan pengumuman bertuliskan “Cagar Budaya Rumah Multatuli”. ''Katanya dulu rumah Multatuli. Dia itu katanya orang Belanda yang pernah tinggal di Rangkas,'' ujar wanita ini dengan nada datar.
Bangunan tak terawat ini merupakan salah satu cagar budaya yang ada di Kota Rangkas. Letaknya di sisi barat daya dari alun-alun kota. Pada masa penjajahan Belanda, bangunan ini menjadi rumah dinas Douwes Dekker. Namanya tercatat dalam sejarah pergerakan kemerdekaan melalui novel berjudul, Max Havelaar. Saat menuliskan novel tersebut, Dekker menggunakan nama pena Multatuli.
Dadan Sujana, direktur Banten Heritage, mengatakan, sebenarnya sudah banyak bagian asli yang hilang dari bangunan cagar budaya ini. Ia menyebutkan pada masa Multatuli menetap, pada bagian depan rumah terdapat selasar disertai hamparan tanah lapang yang luas. Namun, ia tak memiliki catatan pasti berapa luas bangunan rumah dinas amtenar Lebak tersebut. ''Kalau dibandingkan dulu, ukurannya sudah jauh menyusut. Dulu, di bagian depannya ada teras. Kalau sekarang sudah hilang.''
Untuk hamparan tanah yang lapang, juga sudah berubah fungsi. Sejak 2003, hamparan itu disulap dengan didirikannya bangunan bertingkat RSUD Dr Adjidarmo Rangkasbitung. Lalu, berhadapan dengan rumah Multatuli ini sekarang menjadi areal parkir kendaraan. Sebelum ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, Dadan mengatakan, bangunan ini sempat difungsikan sebagai puskesmas.
''Sebenarnya dulu sempat mau dihilangkan (rumah Multatuli ini), tetapi kami berteriak. Alhamdulillah, akhirnya masih ada, walau kondisinya harus seperti ini,'' katanya.

Minimnya perhatian pemda terhadap peninggalan rumah Multatuli ini, kata Dadan, karena adanya pro-kontra terhadap sosok Multatuli. Ada sebagian pihak yang menganggap Multatuli sebagai bagian dari penjajah. ''Inilah yang membuatnya menjadi kendala untuk menokohkan Multatuli sebagai sosok pahlawan di bumi Lebak,'' kata pria yang juga aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Setia Budi Rangkasbitung.
Nama jalan
Selain peninggalan bangunan rumah, nama Multatuli sebenarnya masih dapat ditemukan di wilayah Rangkas. Di antaranya, dijadikan nama jalan utama di Kota Rangkas. Saat kami menyambangi daerah ini, lalu lintas pada siang hari terlihat cukup padat oleh lalu lalang kendaraan bermotor. ''Pencantuman nama jalan ini sudah ada sekitar dekade 1970-an,'' kata Dadan.
Masih di area perkotaan, nama Multatuli disematkan juga pada alun-alun Rangkas, salah satu ruangan di kantor Bupati Lebak, serta nama sebuah apotek yang ada di Kota Rangkas.
Lebih lanjut Dadan juga mengabarkan, bangunan yang berkaitan dengan Multatuli terdapat di Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak. Cileles ini menjadi salah satu wilayah perkebunan yang digambarkan di dalam cerita novel Max Havelaar. Letaknya antara Rangkas-Malingping.
Saya bersama tim kemudian menyambangi lokasi yang disebut Dadan. Butuh waktu perjalanan sekitar 1,5 jam dari Rangkas. Peninggalan itu berupa sebuah batu prasasti berwarna hitam. Lokasinya di tengah wilayah perkebunan. Letaknya berdekatan dengan SMP 2 Cileles.

Pada pahatan yang ada di batu itu tertulis sebuah penggalan kalimat yang diambil dari novel Max Havelaar. Kalimat itu ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Pada kalimat berbahasa Indonesia tertulis, Kegembiraan itu bukan terletak pada panen memotong padi, tapi pada panen hasil penanaman sendiri.
''Sayangnya, masyarakat Lebak hanya mengenal Multatuli itu sebatas nama jalan dan apotek saja. Sangat sedikit yang mengetahui seberapa besar pengaruh yang sudah dilakukan oleh Multatuli buat perjuangan kemanusiaan di bumi Lebak ini,'' kata Dadan.
Siapa Multatuli?
Eduard Douwes Dekker terlahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam. Ia adalah anak keempat dari pasangan Engel Dekker dan Sietske Eeltjes Klein. Ayahnya seorang nakhoda kapal.
Ubaidilah Muchtar, penggagas Rumah Baca Multatuli, mengatakan semasa kecil sosok Dekker sudah banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang gelisah. Orang tuanya sempat menginginkannya menjadi pendeta.
Dekker mulai bekerja pada Pemerintah Belanda saat usianya 18 tahun. Saat itu, ia bekerja pada Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Pada 1842, ia ditugaskan ke Sumatra Barat. Pada Juli 1842, Dekker ditempatkan sebagai kontelir di Natal.

''Ini adalah suatu jabatan yang bukan saja meminta segala tenaga kerjanya, tapi yang juga buat pertama kali membawanya berhadap-hadapan dengan penderitaan penduduk,'' katanya. ''Natal sekaligus juga menjadi duka cerita yang pertama dalam hidup Multatuli sebagai amtenar.''
Setelah dari Padang, Dekker ditugaskan ke Purwakarta, Karawang, Purworejo, Manado, dan Ambon. Pada 10 April 1846, Dekker menikah dengan Everdine Huberte van Wijnbergen di Cianjur. ''Wanita ini dijadikan tokoh Tine 'pahlawati' dalam Max Havelaar,'' kata Ubaidilah.
Pada 21 Januari 1856, Dekker tiba dengan keluarganya di Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Ia bertugas sebagai asisten residen di Lebak, mulai dari 21 Januari-29 Maret 1856. Di tempat ini ia bersinggungan dengan bupati Adipati Kartana Nagara yang dianggapnya dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mereguk keuntungan dari daerah jajahannya. Ia sempat melaporkan tindak ketidakadilan itu kepada atasannya di Residen Banten Brest van Kempen dan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist.
Sayangnya, sikap protes itu membuatnya harus meninggalkan Lebak. Rasa kecewa dan perlawanan itu dibawanya pulang ke Belanda. Dengan memakai nama pena Multatuli, terlahirlah sebuah novel yang menjadi tonggak perjuangan kemerdekaan Indonesia, yakni Max Havelaar.
Rumah Baca Multatuli untuk Daerah Tertinggal
Bagi Ubaidilah Muchtar, Multatuli adalah sosok pemberi inspirasi. Sebagai seorang guru di SMP Negeri Satuatap 3 Sobang, ia mencoba menyemaikan semangat perjuangan Multatuli itu kepada anak-anak Lebak dengan mendirikan Taman Baca Multatuli pada 10 November 2009.

Lokasi taman baca Multatuli ini berada di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Lebak. Dari Kota Rangkasbitung, lokasinya berjarak sekitar 45 km ke sebelah barat. Menumpang di rumah ketua RT setempat, ia konsisten melakukan kegiatan kelompok baca Max Havelaar. Kegiatannya dilakukan setiap Rabu pukul 16.00-17.30 WIB. ''Sampai sekarang ini sudah ada 133 kali pertemuan,'' kata pria kelahiran Subang, 4 Juli 1980 ini.
Dalam setiap pertemuan, Ubaidilah melakukannya dengan cara duduk melingkar. Setiap kali pertemuan, suami Linda Nurlinda ini biasanya membacakan 3-5 halaman saja. Pembacaannya secara perlahan. ''Terkadang kita juga menggunakan alat peraga, seperti menggunakan caping, ikat kepala, menghadirkan lesung dan alu. Semua yang tertulis di novel itu biasanya kita tampilkan dalam bentuk peragaan,'' katanya.
Para peserta taman baca Multatuli ini adalah para pelajar dari kelas SD-SMP. Rata-rata dalam setiap pertemuan dapat berjumlah 30 anak. ''Paling sedikit pernah hanya delapan orang, tetapi di lain waktu bisa mencapai 80 anak,'' kata dia.
Melalui proses semacam ini, Ubaidilah sebenarnya ingin menyampaikan tiga pesan penting dari sosok Multatuli. ''Peka terhadap ketidakadilan, mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap ketidakadilan itu, dan pandai menulis.''
Kini, alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini merasa bangga. Walau di daerah tersebut baru setahun listrik menerangi kampung Ciseel, anak-anak yang mengikuti taman baca Multatuli ini sudah pandai menulis. ''Inilah yang membuat saya bangga karena anak-anak di sana sudah pandai menulis,'' ujarnya.
Disadur dari Harian Republika edisi 14 Maret 2014 dengan reportase oleh Mohammad Akbar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ku Datang ke Tanah Sumba ...
Penyambutan tamu secara adat diakhiri dengan acara tombak babi yang menunjukkan keramahtamahan orang Sumba.
SELENGKAPNYA