Jamaah haji melakukan tawaf mengelilingi Kakbah di Masjidil Haram, Makkah, beberapa waktu lalu. | AP

Kisah

Hajinya Sang Dermawan

Amal ibadah tukang sol sepatu yang dermawan ternyata lebih besar daripada mereka yang berhaji.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada tahun ini, umat Islam di Indonesia mengalami berbagai ujian. Di antaranya ialah tertundanya jadwal keberangkatan calon jamaah haji ke Tanah Suci. Sebab, situasi pandemi Covid-19 masih memerlukan kewaspadaan bersama. Alhasil, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk tidak memberangkatkan para calon tamu Allah itu dengan pertimbangan ke maslahatan, yakni demi menghindari penularan virus korona baru.

Berbagai respons timbul dari keputusan tersebut. Bagaimanapun, peristiwa ini mengingatkan kita tentang nilai ibadah haji itu sendiri. Niat yang tulus semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT, itulah yang lebih pokok. Bahkan, Allah Ta'ala dapat saja menganugerahkan status haji mabrur bagi mereka yang urung menginjakkan kaki di Baitullah.

Sebagai contoh, kisah berikut ini yang terjadi pada generasi tabiin. Syahdan, Abdullah bin Mubarak menunaikan haji. Ia pun mengerjakan semua rukun dan syarat ibadah yang menjadi salah satu rukun Islam itu.

Siang harinya, ia mengantuk dan tak sengaja tertidur di Masjid al-Haram. Dalam tidurnya, Ibnu Mubarak bermimpi mendengar percakapan dua malaikat yang sedang memantau seluruh jamaah haji dari ketinggian.

"Wahai, berapa banyak umat Islam yang berhaji pada tahun ini?" tanya sang malaikat.

"Tak kurang dari enam ratus ribu orang," jawab malaikat yang satunya, "tetapi tidak satu pun dari mereka yang diterima ibadahnya oleh Allah Ta'ala."

"Dari jumlah sebanyak itu?"

"Benar, kecuali hanya satu hamba Allah, yakni seorang tukang sol sepatu asal Damaskus. Namanya, Muwaffaq," jawab malaikat kedua.

"Padahal, lelaki itu tidak bisa berangkat ke Tanah Suci kali ini. Namun, karena dirinya-lah, semua yang pergi haji pada tahun ini bisa diterima ibadahnya," sambungnya.

Seketika, Ibnu Mubarak terbangun dari tidurnya. Ia masih merasa terkejut dengan apa yang didengarnya dalam mimpinya barusan.

Untuk menjawab rasa penasarannya, ia tidak jadi pulang ke negerinya begitu musim haji selesai. Ia terlebih dahulu mengunjungi Damaskus untuk mencari dan mengenal si tukang sol sepatu, Muwaffaq.

Sesampainya di kota tersebut, alim dari kalangan tabiin itu lantas meyambangi pasar. Dari orang ke orang, ia bertanya tentang seorang tukang sol sepatu yang bernama Muwaffaq. Setelah ditelusuri, ia akhirnya menemukan rumah orang yang dicari-carinya itu.

Ia pun mengetuk rumah Muwaffaq. Setelah mengucapkan salam, Ibnu Mubarak pun minta izin bertamu. Setelah itu, dimulailah pembicaraan untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya: mengapa orang yang tidak berangkat ke Tanah Suci justru dihitung amal ibadahnya sebagai telah naik haji?

"Wahai Tuan, kebaikan apa yang telah engkau lakukan sehingga bisa tercatat telah berhaji, padahal engkau sendiri tidak pergi pada tahun ini ke Baitullah?" tanya Ibnu Mubarak setelah menuturkan mimpinya kepada sang tuan rumah.

Tukang sol sepatu itu pun bercerita. Pergi haji adalah impiannya sejak muda. Akan tetapi, keadaan finansial tidak membuatnya leluasa bepergian. Ia pun harus menabung dari tahun ke tahun untuk mengumpulkan dana perjalanan haji. Penghasilannya setiap hari ia sisihkan sebagian demi mewujudkan cita-citanya itu.

"Melihat kondisi ekonomiku yang sederhana ini, sangat mustahil untuk mengumpulkan uang yang dipakai bekal berhaji. Namun, atas pertolongan Allah, tabunganku akhirnya cukup. Tahun ini aku dikaruniai rezeki sebesar 300 dirham," kata Muwaffaq.

Ia sangat berbahagia karena impiannya sebentar lagi akan terwujud. Apalagi, istrinya yang sedang hamil menyetujui keberangkatannya ke Tanah Suci.

Sebelum niat itu terlaksana, suatu hari istri Muwaffaq mencium bau masakan dari rumah sebelah. Karena sedang ngidam, perempuan itu merasa sangat menginginkan masakan yang dipikirnya pasti sangat lezat itu.

Muwaffaq lantas pergi ke rumah tetangganya dengan maksud meminta sedikit saja makanan itu, yang aromanya tercium oleh istrinya. Tukang tambal sepatu itu yakin, tetangganya akan berlapang hati begitu mengetahui istrinya sedang hamil.

Begitu mengetuk pintu rumah tetangganya itu, Muwaffaq terkejut. Sebab, sang tetangga ternyata tidak mau memberikan masakannya barang sedikit. Padahal, sudah ia katakan bahwa sepiring makanan itu hanya untuk dicicipi istrinya yang sedang mengandung.

"Tuan," kata tetangganya itu, "aku sebenarnya tak mau mengatakan hal ini, tetapi makanan ini haram untukmu. Makanan ini kubuat dari kaki bangkai keledai yang kutemukan di jalan. Aku terpaksa memasaknya untuk anak-anakku yang yatim ini. Sebab, mereka terus menangis lantaran kelaparan. Tiga hari berturut-turut tidak punya apa pun untuk dimakan."

"Maafkan aku, tetapi bagi kami masakan bangkai ini halal karena memang kami tidak ada pilihan lain, tetapi bagimu ini haram," katanya lagi menjelaskan.

Muwaffaq sangat sedih mendengarnya. Lekas saja, ia kembali ke rumahnya dan menjelaskan hal tersebut kepada istrinya. Ia kemudian mengambil uang 300 dirham simpanannya untuk diberikan kepada tetangganya itu. Dengan begitu, mereka dapat berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan mengonsumsi makanan yang selayaknya.

"Hajiku berarti ada di pintu rumahku sendiri," ujar Muwaffaq menutup ceritanya.

Abdullah bin Mubarak pun tercengang. Ia tak menyangka, amal ibadah sang tukang sol sepatu yang dermawan ternyata bernilai sangat besar di sisi Allah. Bahkan, lebih besar daripada Muslimin yang berkesempatan menyaksikan Ka'bah dari dekat itu.

 
Makanan ini kubuat dari kaki bangkai keledai yang kutemukan di jalan. Aku terpaksa memasaknya untuk anak-anakku yang yatim ini.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat