Seorang muadzin mengumandangkan adzan. (ilustrasi) | Nariman El-Mofty/AP

Kisah Mancanegara

'Hadiah' Adzan untuk Muslim Minneapolis 

Bagi Muslim, adzan menjadi hal yang membuat mereka tergetar.

Oleh LINTAR SATRIA

Banyak hal yang dirasakan hilang sepanjang Ramadhan ini. Pembatasan fisik demi mencegah penularan virus korona menjadi penyebabnya. Kini pandemi virus korona menyebabkan masjid-masjid di seluruh Amerika Serikat (AS) ditutup, demi memutus rantai penularan jamaah pun dilarang datang. 

Namun, Muslim Minneapolis, AS, justru mendapatkan satu hadiah: adzan.Sepanjang Ramadhan kali ini, adzan akan dikumandangkan untuk pertama kalinya di Dar Al-Hijrah Mosque. Masjid bahkan diizinkan untuk memakai pengeras suara untuk adzan. 

Walikota Jacob Frey memfasilitasi adzan ini setelah ia menerima permohonan dari Muslim setempat. Bagi Muslim yang juga terisolasi dan tinggal di rumah, suara adzan membuat mereka merasa terhubung satu sama lain. 

"Itu meneduhkan dan menenangkan mereka," kata Imam Sharif Mohamed. "Ada koneksi emosional dan spiritual yang menurut saya, lebih dari yang terbayangkan."

Bagi non-Muslim, katanya, mungkin ini akan menjadi pengalaman yang mendidik. Sedang bagi Muslim, adzan menjadi hal yang membuat mereka tergetar. 

"Saya bahagia. Rasanya saya ingin menangis," kata Mohamed Saleh, seorang warga. 

 

Bagi Muslim AS, tidak ada waktu yang paling tepat untuk berkumpul di masjid selain bulan suci Ramadan. Di setiap sudut negeri itu setiap Muslim menghadiri undangan buka puasa bersama lalu sholat tarawih berjamaah.

"Masjid memainkan peran yang lebih penting sebagai pusat komunitas Muslim Amerika, karena Muslim minoritas, mereka harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan pengalaman komunal yang unik selama Ramadan," kata profesor Kajian Islam dan Arab di American Islamic College, Feryal Salem.

Jamilah Shakir, biasanya mengubah rutinitasnya selama Ramadan. Setiap malam warga Atlanta ini akan berada di Masjid Al-Islam atau masjid terdekat lain. 

"Rasanya sedikit aneh, tidak beribadah bersama komunitas rasanya sangat, sangat berbeda," kata Shakir. 

Namun, Muslim AS pun harus menjalani Ramadan dengan cara yang berbeda, lebih bersifat virtual dan terkadang sepi. Namun tentu tidak semua hal bisa dilakukan dengan jarak jauh terpisahkan layar. Berpelukan dan sholat berjamaah adalah dua hal yang paling Shakir rindukan.

Kisah lain datang dari Ricardo Ramirez. Ia menjadi mualaf di hadapan banyak Muslim lainnya. Tepat setelah ia selesai mengucapkan syahadat orang-orang yang menyaksikan proses itu menyerukan 'Allahu Akbar'. 

Saat itu Ramirez diberitahu 'semua saudara dan saudari ini adalah saudara dan saudari kamu'. Iamengatakan sejak saat ini komunitas Muslim selalu hadir untuknya. 

Tapi ia harus menghadapi tantangan dalam perjalanan spiritualnya. Ramadan pertamanya sebagai muslim diganggu oleh pandemi virus korona yang menyebabkan masjid-masjid ditutup. 

"Ini akan menjadi sangat sulit, saya memiliki banyak pertanyaan dan banyak hal ingin saya lihat dan tanyakan," katanya sebelum Ramadan.

Percakapan tentang Ramadan yang memicu minat Ramirez pada Islam. Pada 2017 ia menyadari rekan kerjanya tidak makan seharian. Rekan kerjanya itu memberitahu Ramirez ia sedang berpuasa. 

"Saya tidak pernah melihat orang yang berbicara tentang agamanya seperti dia, bahkan saat semua yang terjadi di dunia bersifat negatif terhadap Muslim, dia masih bersemangat memberitahu saya," kata Ramirez. 

Lahir di Texas dari orang tua keturunan Meksiko, pengalaman Ramirez pada agama yang dianutnya saat itu terbatas pada upacara dan budaya. Ibunya marah saat ia beritahu ia tertarik dengan Islam. 

 
Sementara terapis pernapasan, Jumana Azam, harus berjuang menyelamatkan nyawa orang lain selama berpuasa. 
 
 

"Tampaknya banyak orang yang pernah mengalami percakapan yang sama dengan orang tua mereka," kata Ramirez. 

Tapi tiba-tiba ibunya berubah pikiran. Ketika sedang melakukan perjalanan bisnis ke Arab Saudi, ibunya membelikan Ramirez sajadah, Alquran, tasbih dan kurma. Ia ingin membatalkan puasanya dengan kurma itu. 

Sementara terapis pernapasan, Jumana Azam, harus berjuang menyelamatkan nyawa orang lain selama berpuasa. Pada malam pertama Ramadan ini, Azam harus tetap terjaga hingga sahur dan baru tidur setelah sholat subuh. 

Ia baru pulang pada pukul 02.00 pagi dari tempat kerjanya di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Rush University. "Saya sedih dan bingung, dan saya tidak tahu apakah mental dan fisik saya cukup kuat untuk berada di garda depan," kata Azzam. 

Pada awal April lalu, jumlah pasien Covid-19 di Chicago melonjak tajam. Jam kerja Azam pun bertambah menjadi 16 jam. Ia hanya dapat beristirahat untuk makan atau sholat lima waktu. 

Pekerjaan yang menguras fisik ini menggoyahkan Azam. Ia khawatir tidak sanggup untuk tidak makan dan minum selama 15 jam. Azam mengatakan ia mulai puasa bulan Ramadhan saat berusia 10 tahun. Ini pertama kalinya ia mempertimbangkan untuk tidak berpuasa. 

"Dari sisi emosional dan spiritual, ini sangat sulit bagi saya bahkan untuk merenung," kata Azam. 

Namun, Azam memutuskan akan tetap berupaya berpuasa. Jika ia merasa tak sanggup, barulah ia akan membatalkan puasanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat