
Safari
Jejak Kemasyhuran Kesultanan Buton
Di dalam benteng, ada masjid yang dibangun pada abad ke-16.
Sebuah catatan kecil menjadi bekal perjalanan saya ke Wakatobi. Begini bunyinya, “Situs Benteng Liya Togo, Desa Liya, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi. Benteng peninggalan kejayaan Keraton Liya, bagian Kesultanan Buton, abad ke-16 dan 17.” Sebuah catatan sangat singkat yang menuntut banyak penjelasan. Rekomendasi dari kenalan saya, Drs Jamaluddin, kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Wakatobi, menjadi panduan konkret saya menelusuri kawasan Desa Liya.
Dari Wangi-Wangi, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi, desa ini berjarak sekitar sembilan kilometer. Kurang lebih 15 menit menyusuri jalanan desa dengan suguhan panorama pantai, perkampungan warga, beserta jajaran pohon nyiur, saya pun sampai di Desa Liya.
Sebuah gapura yang menyangga anjungan semacam gardu pandang menyambut kedatangan saya. Rupanya, saya sudah sampai di wilayah terluar kawasan Benteng Liya Togo. Struktur bangunan gapura dan beberapa sisa dinding yang tak lagi utuh ada di sekitarnya. Berbeda dengan bangunan benteng pada umumnya, Benteng Liya Togo memiliki konstruksi yang unik.

Wilayah strategis
Bangunan benteng tersusun dari pecahan bebatuan karang yang disusun rapi. “Semua batuan pada Benteng Liya ini hanya disusun rapi tanpa perekat semen, namun bangunan benteng ini tetap bisa kokoh,” ungkap Hilan (43 tahun), seorang warga yang saya temui di sana. Beberapa bagian bangunan, termasuk ga pura, yang dibuat pada abad ke-13 ini masih terlihat kokoh.
Saya melanjutkan perjalanan menuju lapis kedua benteng ini. Sekitar 100 meter dari jalan utama, saya temui bangunan gapura dengan struktur serupa. Di depan gapura ini, saya dapatkan sebuah meriam tua dengan panjang sekitar 130 sentimeter. Diameter moncongnya sekira 30 sentimeter. Hampir seluruh bagian meriam ini telah berkarat dimakan zaman. Apa pun kondisinya, keberadaan alat perang ini menyiratkan kemajuan sistem pertahanan Kesultanan Buton pada masanya.
Bakri (31), seorang teman yang bekerja di Pemkab Wakatobi, bercerita, pada masanya, Wakatobi ini merupakan bagian terpenting dari wilayah Kesultanan Buton. Kawasan Liya dianggap sebagai salah satu wilayah strategis bagi pertahanan. “Karena itu, di kawasan Wakatobi di bangun benteng-benteng pertahanan kesultanan, yakni Benteng Liya di Pulau Wangi-Wangi dan Benteng Patua di Pulau Tomia,” jelas Bakri.
Luas kawasan Benteng Liya Togo diperkirakan sekitar 30 hektare ini. Ada 13 gapura (lawa) di dalamnya meski saat ini hanya beberapa yang masih dapat dilihat. Begitu pula meriam kunonya. Ia menjelaskan, Benteng Keraton Liya memiliki tiga lapis areal. Bangunan benteng lapis kedua mengalami kerusakan cukup parah. Kondisinya sudah tidak utuh lagi. Hanya sejumlah gapura yang bisa ditemui.

Pada masa penjajahan Jepang, bangunan benteng lapis kedua ini diambil untuk pembuatan jalan di Wakatobi, termasuk daerah Mandati dan Wangi-Wangi atau Wanci. Bangunan tembok benteng lapis ketiga relatif lebih utuh. Bahkan, kini menjadi batas wilayah Sara Mandati dengan Sara Liya. “Semua merupakan artefak kebesaran Kesultanan Buton yang masih dapat disaksikan hingga saat ini,” jelasnya.
Penyebaran Islam
Sisa-sisa Benteng Liya Togo tegak membisu. Na mun, bangunan-ba ngunan yang ber tahan dari gempuran alam dan waktu itu seolah lantang bersaksi. Tepat di jantung benteng terdapat satu bangunan inti yang disebut baruga. Bangunan ini berupa susunan tembok tinggi ber bidang datar di atasnya. Meski kini sudah banyak ditumbuhi pohon kamboja, bidang ini masih jelas terlihat.
Menurut Bakri, pada masa Kesultanan Buton dan Keraton Liya, bangunan ini merupakan tempat pertemuan para petinggi keraton. “Mereka membahas masalah keraton maupun soal kerakyatan di sini,” kata dia. Tak jauh dari lokasi ini juga berdiri megah sebuah masjid bernama Masjid Al Mubaraq, Liya. Masjid ini disebut-sebut sebagai salah satu masjid tertua di negeri ini.
Masjid ini diperkirakan diba ngun pada 1546. Ini terlihat dari konstruksi dan bangunan masjid mirip dengan benteng. Masjid ini juga disebut sangat mirip dengan Masjid Keraton Buton di Kota Baubau.

Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kendari KH Mudhdar Bintang mengakui, ada beberapa referensi yang menyebutkan Masjid Al Mubaraq bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada abad ke-13, di Liya Togo sudah berdiri Masjid Togo Lamantanari. Masjid Togo Lamantanari diperkirakan dibangun pada 1238 oleh 18 orang Persia yang terdampar di Pulau Wangi-Wangi dalam pelayaran ke Filipina.
Masjid di Liya Togo ini dianggap menjadi salah satu simbol masuknya ajaran Islam, khususnya di kawasan Indonesia Timur sekitar Buton. Bangunan masjid ini sudah tak ada lagi, kecuali fondasi yang diyakini sebagai situsnya.
Kawasan dalam Benteng Liya Togo tampaknya sejak dulu telah berfungsi juga sebagai permukiman. Kesimpulan kasar ini saya tarik dengan melihat kondisi beberapa bangunan rumah adat warga berumur tua yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Saya merasakan perubahan yang berjalan merayap di sini.
Disadur dari Harian Republika edisi 15 April 2012 dengan reportase Bowo Pribadi dan Andi Nur Amina
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Cerita Dari Hutan Sebangau
Berkunjung ke hutan gambut yang terluka membuat terasa ancaman yang dirasakan penghuninya.
SELENGKAPNYADi Sepanjang Sungai Palangkaraya
Di kapal wisata sungai itu, kami menyaksikan kehidupan hutan Kalimantan dan kegiatan penghuninya.
SELENGKAPNYACerita Batik dari Kampung Nelayan
Batik pesisiran dari pantura membawa cerita dan sejarah yang beragam.
SELENGKAPNYA