Warga membawa bibit tanaman endemik lahan gambut di Sungai Sebangau, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. | Republika/Aditya Perdana Putra

Safari

Cerita Dari Hutan Sebangau

Berkunjung ke hutan gambut yang terluka membuat terasa ancaman yang dirasakan penghuninya.

Taman Nasional (TN) Sebangau. Selama ini, saya ketahui taman nasional ini sebagai benteng terakhir primata langka orang utan yang hidup di alam bebas. Pemandangan hijau penuh vegetasi khas lahan gambut di sepanjang tepian sungai menemani perjalanan saya dan sejumlah wartawan dari Jakarta menuju Stasiun Riset Camp Sanitra Sebangau Indah (SSI). Itu adalah lokasi awal menuju penelusuran Taman Nasional Sebangau.

Berada di antara Sungai Katingan dan Sungai Sebangau, TN Sebangau menjadi salah satu hutan rawa gambut yang tersisa di Kalimantan. Luasnya sekitar 568. 700 hektare, dihuni berbagai jenis satwa, termasuk orang utan yang berjumlah sekitar 6.000 ekor. “Ya, bisa dikatakan itu populasi orangutan terbesar di Kalimantan yang hidup di alam bebas,” kata Project Manager World Wildlife Fund (WWF) Kalimantan Tengah Rosenda Chandra Kasih saat menemani kami ketika mengunjungi lokasi tersebut.

Malangnya, Rosenda mengungkap, betapa populasi orang utan dan sejumlah spesies hewan lainnya saat ini menemui ancaman besar bagi habitat dan populasi mereka. Benar saja, ketika perjalanan semakin masuk lebih dalam di kawasan tersebut, pemandangan tanah gersang menggantikan hijaunya tepi Sungai Sebangau saat awal perjalanan.

Sambil sesekali memejamkan mata, seperti membayangkan sesuatu, Rosenda bercerita tentang kondisi hutan ini. Sebelum masa Reformasi 1998, katanya, kondisi hutan ini sangat menyejukkan. Banyak pohon tinggi waktu itu, kanopi alami kawasan Sebangau.

photo
Taman Nasional Sebangau. - (Republika/Aditya)

Bagi orang utan dan satwa lainnya, Sebangau adalah surga. Tempat yang melimpahi mereka air dan makanan tanpa hentinya sepanjang musim. “Sebangau adalah representasi hutan tropis murni,” kata wanita paruh baya itu, “tapi itu dulu.”

 

Petaka menghampiri

Pascareformasi menjadi awal malapetaka bagi Hutan Sebangau dan penghuninya. Pembalakan hutan dan eksploitasi besar-besaran berpengaruh besar atas nasib Sebangau seisinya. Daerah tutupan merosot drastis, daerah aliran sungai di kawasan itu rusak. “Kanal-kanal yang ada menjadi terkikis sehingga gambut yang ada menjadi hilang.”

Dampaknya, daerah resapan air berkurang dan potensi kebakaran semakin besar. Padahal, karakter lahan gambut sangat mudah terbakar jika debit air menyusut. Bahkan, pemadaman sangat sulit dilakukan karena karakter gambut yang juga menyimpan api di lapisan dalamnya.

“Satu cara untuk mencegahnya, yaitu mengembalikan daerah gambut ini terus tergenang atau menjaga tingkat debit air ke kondisi normal,” kata Rosenda.

photo
Taman Nasional Sebangau. - (Republika/Aditya)

Menyusuri kembali Taman Nasional Sebangau, saya dan sejumlah jurnalis lainnya akhirnya menyaksikan peninggalan awal perjuangan penggiat lingkungan dalam mengembalikan hijaunya Sebangau, seperti pohon-pohon muda yang mulai menghijau di sejumlah titik dan bendungan-bendungan yang membuat kawasan tersebut terus tergenang.

“Saat ini, WWF bersama pemerintah setempat telah membangun 800 bendungan di sejumlah kanal anak sungai. Harapannya, 66 ribu hektare lahan kritis di Sebangau dapat segera pulih,” kata Rosenda.

Upaya itu tak hanya mengembalikan surga bagi satwa asli penghuni kawasan, tapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Utamanya, memberikan suplai ikan tangkapan.

Saat ini, 66 ribu jiwa penduduk bergantung pada keseimbangan alam Sebangau. Hampir seluruhnya nelayan tradisional.

 

Ikut berjuang

Penduduk pun tak tinggal diam. Sejumlah penduduk penghuni tepian Sungai Sebangau dan Sungai Katingan tergerak membantu pemulihan kawasan kritis. WWF mengarahkan penduduk untuk menanam enam jenis tanaman endemik lahan gambut setempat, seperti tanaman blangir an, jelutung, pulai, pasir-pasir, tutup kabalik, dan lewang.

photo
Pusat pembibitan oleh masyarakatdi Taman Nasional Sebangau. - (Republika/Aditya)

Tanaman-tanaman endemik itu paling mampu bertahan hidup dengan baik di lahan gambut se tempat sekaligus makanan sehat bagi satwa penghuni Sebangau. Masyarakat pun dapat mengambil manfaat dari tanaman-tanaman tersebut. “Salah satunya, getah jelutung yang seperti getah karet memiliki nilai tinggi ketika diekspor ke Korea,” ungkap Rosenda.

Sasi (42 tahun), salah seorang warga, bercerita tentang penurunan jumlah tangkapan ikan sejak eksploitasi hutan terjadi secara besar-besaran. Saat itu, ia mengaku belum berani bergerak untuk ikut menyelamatkan hutan gambut ini. “Karena semakin parah dan berpengaruh pada perekonomian keluarga, saya dan beberapa anggota keluarga lainnya ikut membantu dengan membuat bibit sekak 2006,” kata dia.

Lelaki itu mengatakan, bibit ia buat bersama tujuh anggota keluarga lainnya siap ditanam saat mencapai usia satu hingga 1,5 tahun. Selain mengupayakan Sebangau menjadi pulih, mereka mendapatkan apresiasi atas pembuatan bibit tanaman tersebut. Setiap bulan mereka mendapat santunan sebesar Rp 500 ribu.

Raudah (40), warga lainnya, mengamini Sasi. “Sebangau yang kembali hijau itu untuk anak cucu yang barangkali tetap berdampingan dengan satwa-satwa penghuni Sebangau,” kata perempuan yang lebih dari separuh umurnya hidup di kawasan konservasi itu.

Disadur dari Harian Republika edisi 27 Mei 2012 dengan reportase Aditya Perdana Putra

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Singgah di Dusun ‘Obat’

Sade merupakan dusun tertua di Lombok Tengah.

SELENGKAPNYA

Cerita Batik dari Kampung Nelayan

Batik pesisiran dari pantura membawa cerita dan sejarah yang beragam.

SELENGKAPNYA

Kopi Aroma dan Sebuah Kejujuran

Proses pembuatan Kopi Aroma sampai sekarang masih menerapkan cara-cara manual.

SELENGKAPNYA