Warga menggunakan perahu motor di Sungai Sebangau, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. | Republika/Aditya

Safari

Di Sepanjang Sungai Palangkaraya

Di kapal wisata sungai itu, kami menyaksikan kehidupan hutan Kalimantan dan kegiatan penghuninya.

Mengunjungi Pulau Kalimantan belum lengkap tanpa menjadi saksi sungai-sungai nya yang besar. Kalimantan Tengah saja memiliki sebelas sungai yang besar dan panjangnya hingga 4.500-an km dan tujuh kanal sepanjang kurang lebih 122 km. Karena itu, hal itu yang saya pastikan sejak menjelang keberangkatan dari Jakarta menuju Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Untungnya, kesempatan itulah yang saya “cicipi” pada awal kedatangan saya di Pulau Kalimantan.

Berangkat dari sebuah dermaga di tepi Sungai Rungan, kami menaiki kapal motor. Kapal sungai ini didesain khusus sebagai kapal wisata. Kapal Spirit of Borneo ini dilengkapi tempat khusus untuk melihat-lihat suasana sungai dari atap kapal. Dan, yang paling menyenangkan ada sebuah sofa besar untuk duduk-duduk santai.

 

Melihat dari sungai

Mulyanto, teman dari Lembaga Borneo Orangutan Survival (BOS), menjadi pemandu kami dalam penyusuran Sungai Rungan dan Sungai Kahayan. Di kedua sungai, sumber air bersih warga Kota Palangkaraya, itu terdapat pulau-pulau habitat sementara orang utan. Yakni, salah satu tahap rehabilitasi sebelum orangutan-orangutan itu dilepaskan ke alam liar.

Perjalanan pun dimulai. Angin segar yang hampir tidak pernah saya rasakan di Jakarta terasa begitu melimpah di atas kapal. Bersandar pada kursi empuk bagian tengah kapal, saya mulai menikmati hijaunya tepian Sungai Rungan. Tak banyak yang saya ketahui tentang sungai ini sebelumnya selain berita-berita seputar penambangan emas liar yang banyak dilakukan di sini.

photo
Warga menggunakan perahu motor di Sungai Sebangau, Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. - (Republika/Aditya)

Sesekali perahu-perahu warga Dayak yang menghuni kawasan itu melintasi berlawanan dan mengiringi kapal yang kami tumpangi. Tak jarang mereka menyapa, melambaikan tangan ke arah kami. Sapaan ramah di sungai menjadi semacam bumbu dalam perjalanan ini.

Setelah setengah jam kapal melaju dalam penyusuran Sungai Rungan, akhirnya pemandangan yang menjadi “iming-iming” dari kawasan itu pun terlihat. Orang utan-orang utan yang sebelumnya direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng terlihat berada di tepian sungai.

Ada yang hanya berdiam diri, ada yang bergumul dengan anaknya, sebagian aktif bergelayutan dari dahan pohon satu ke dahan pohon yang lain. “Sebentar lagi waktunya orang dari BOS untuk memberi makanan. Mereka belum sepenuhnya bisa melepaskan ketergantungannya terhadap manusia,’’ kata pemandu kami, Mulyanto, sambil memperlihatkan arloji di tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan sore hari mulai datang.

Dari penjelasan Mulyanto, saya dapat mengetahui latar belakang perjalanan setiap orang utan hingga akhirnya berada di Nyaru Menteng dan pulau tempat pra-pelepasliaran, seperti Pulau Kaja, Bangamat, Palas, dan Hampapak.

photo
Taman Nasional Sebangau. - (Republika/Aditya)

Sambil menunjukkan tangannya, Mulyanto menyebutkan satu per satu nama orangutan yang terlihat. Hampir semua orang utan yang ada di tempat tersebut mengalami penderitaan sebelum akhirnya direhabilitasi.

Cerita Mulyanto terus berlanjut selama satu jam perjalanan. Ia bercerita sementara satu demi satu penghuni empat pulau tempat pra-pelepasliaran menampakkan batang hidungnya.

“Jumlah orangutan di tempat pra-pelepasliaran ini ada 37 ekor,’’ kata Mulyanto.

Dua jam berlalu tanpa terasa, kapal yang saya naiki telah meninggalkan lokasi prapelepasliaran dan memasuki jalur sungai yang memutar untuk kembali ke dermaga awal keberangkatan.

 

Susur Sungai Sebangau

Hari kedua kunjungan di Palangkaraya, kami menyusuri sungai lainnya, Sebangau. Berangkat dari Dermaga Kereng Bangkirai, kami masih dengan menggunakan ‘kapal’ susur sungai. Kali ini kami menumpang kapal berukuran kecil, kapasitas 20 orang. Namun, kecepatan kapal ini lebih tinggi dibandingkan kapal yang kami tumpangi pada hari pertama.

photo
Taman Nasional Sebangau. - (Republika/Aditya)

Kali ini kami ditemani pemandu dari World Wildlife Fund (WWF). Pemandangan panorama berbeda di sepanjang jalur perjalanan penyusuran Sungai Sebangau. Di sini masih banyak ditemui pohon berukuran besar dan tinggi. Sepanjang Sungai Sebangau terlihat lebih terang dengan tanaman-tanaman dengan ketinggian sedang.

Di beberapa titik malah lebih terlihat gersang sisa penebangan liar dan kebakaran hutan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Cukup miris mengetahui kawasan gambut terbesar di Kalimantan tersebut dalam kondisi merana begitu. Padahal, hutan rawa gambut berfungsi sebagai sarana penyimpanan karbon dan pengaturan tata air.

Harapan kembali muncul setelah saya melihat banyak pohon-pohon muda hasil program penghijauan di titik berikutnya.

Di rawa gambut ini, airnya berwarna kehitaman. Dijelaskan, warna ini hasil proses pelapukan bahan organik lahan hutan gambut. Air itu bisa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Stasiun Riset Camp Sanitra Sebangau Indah (SSI) menjadi persinggahan penyusuran Sungai Sebangau. Di lokasi itu pengunjung mendapat penjelasan panjang lebar mengenai lokasi konservasi lahan gambut. Dari lokasi itu, perjalanan dilanjutkan dan sesekali melalui bendungan-bendungan. Struktur itu dibangun untuk menjaga debit air pada kawasan gambut agar terus tergenang dan tidak mudah terbakar.

Disadur dari Harian Republika edisi 27 Mei 2012 dengan reportase Aditya Perdana Putra

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Singgah di Dusun ‘Obat’

Sade merupakan dusun tertua di Lombok Tengah.

SELENGKAPNYA

Kopi Aroma dan Sebuah Kejujuran

Proses pembuatan Kopi Aroma sampai sekarang masih menerapkan cara-cara manual.

SELENGKAPNYA