
Safari
Bertandang ke Khatulistiwa
Kota Pontianak yang dihidupkan aliran sungai itu menarik untuk dijelajahi peninggalan sejarahnya.
Belum ke Pontianak bila tak menginjakkan kaki ke Tugu Khatulistiwa. Saya tulis Tugu Khatulistiwa dalam daftar wajib kunjung ke Pontianak. Ada Istana Qadriyah, masjid pertama di Pontianak, Sungai Kapuas. Tak banyak yang saya ketahui tentang ibu kota Kalimantan Barat ini ternyata.
Menjelajahi suatu daerah, tak harus dalam waktu yang cukup panjang. Di waktu luang suatu acara harusnya bisa dilakukan.
Saat mengikuti Pekan Nasional Cinta Sejarah (Pentas) yang diselenggarakan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di Pontianak belum lama ini, saya dan teman saya, Agung Supriyanto, berencana membedah ibu kota Kalimantan yang belum terlalu banyak dikenali itu.
Selain daftar wajib kunjung, persiapan juga saya perkuat dengan menghubungi rekan dari Pontianak Heritage, Catur Prasetyo Soekasdi. Kebetulan acara yang saya ikuti berhubungan dengan sejarah dan diikuti pengamat sejarah Pontianak. Persiapan pun nyaris bulat.

Kota khatulistiwa
Panas menyengat menyambut kami saat menjejakkan kaki di Pontianak. “Jelas saja, di khatulistiwa,” Agung tergelak, mengingatkan kondisi.
Meski udara panas, di kota ini juga banyak pohon. Gedung-gedung baru banyak bertebaran di kota itu. Teman-teman rombongan dari Kemendikbud bercerita, sekira sepuluh tahun yang lalu Pontianak belum seramai ini. Apalagi, 20 tahun sebelumnya.
Parit-parit terdapat di sana-sini. Tapi, semakin ke jantung kota di tempat banyak gedung baru, perkantoran, dibangun parit-parit itu menghilang. “Ditutup, tapi masih ada di bawahnya,” kata sopir penjemput kami menuju hotel.
Gairah ekonomi yang menggerakkan pembangunan kota tersebut sebenarnya bukan hal baru. Pontianak sejak dulu sudah menjadi kawasan penuh semangat. Banyak pendatang berdatangan untuk mengadu peruntungan di sini.

Prof H Syarif Ibrahim Alqadrie, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, dalam Pentas mengungkap perihal kedatangan mereka. Sebelum 1900-an, pada akhir abad ke-14, imigran Islam mulai merambah Pulau Kalimantan. Juga, sekitar awal abad ke-15 pengaruh Islam mulai menancap di kawasan Kalimantan Barat (Kalbar) dimulai berdirinya kesultanan Tanjungpura, Matan, dan Sukadana.
Kelompok imigran pertama ini terdiri atas para saudagar, perantau, dan pelaut dari Cina, India, dan Arab. Para pendatang dari Yaman Selatan dan Arab tersebut biasanya datang dalam kelompok kecil. “Tujuan mereka selain berdagang, lebih mencari tempat permukiman baru sekaligus menyebarkan agama Islam,” kata dia.
Sesudah 1900-an pendatang dari luar, yakni dari Tiongkok. Mereka datang dalam kelompok kecil dan perseorangan secara bergelombang. Mereka ini kelompok yang bekerja pada usaha pertambangan, pertanian dan perkebunan, pertukangan dan jasa, serta perdagangan. Lalu, datang pula dalam jumlah banyak para transmigran dari dalam nusantara. Mereka dari etnis Jawa, Bus, Banjar, Madura, dan Melayu. Dari Indonesia sendiri, transmigran umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah, tidak memiliki keahlian dan profesionalisme tinggi.

Alhasil, sejak dulu Pontianak sudah menjadi kota yang dihuni beragam suku dan ras. Kini, warga 50-60 persen warga Pontianak merupakan keturunan Tionghoa. Lalu, Melayu dan beragam etnis lainnya. “Lihat saja, banyak warung mi tiauw di sini,” kata sopir taksi yang kami sewa pada hari yang lain.
Kota parit
Ekonomi Pontianak banyak bergantung pada air. Itu yang saya baca tentang masa lalu kota ini. Pelabuhan Pontianak merupakan tempat pertemuan laut, sungai, dan darat. Letak geografis berdekatan dengan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Singapura sebagai pusat perdagangan, juga ditunjang letaknya di persimpangan sungai besar Sungai Kapuas dan Landak. Sungai besar tersebut merupakan jalan utamanya, penghubung komoditas niaga dari pedalaman.
Sementara di kota, parit berfungsi sebagai pencegah banjir dan keamanan kota. “Ya, keamanan kota maksudnya untuk memperkecil kemungkinan serangan yang datang dari luar,” kata Syafaruddin Usman, pengamat sejarah Kalimantan, yang diperkenalkan Catur kepada saya. “Dengan begitu musuh tak bisa langsung menyerang pusat kota.”
Pembuatan parit kemudian sengaja diperlebar menjadi kanal untuk meningkatkan fungsinya. Penduduk Pontianak pun, kata Din, begitu sapaan Syafaruddin, mulai mengembangkan permukiman ke arah parit-parit tersebut.

Kami tak melewatkan kesempatan ke kampung-kampung tua di Pontianak. Letaknya di tepian Sungai Kapuas. Di tepian sungai, warga tanpa merasa terganggu mandi, mencuci pakaian, sedangkan perahu pergi dan menepi di dekat mereka.
Dari beberapa abad lalu hingga kini, pelabuhan Pontianak tetap saja ramai. Perahu-perahu masih sibuk mengantarkan penyeberang sungai dan mengantar komoditas ke pedalaman.
Melihat kesibukan di Sungai Kapuas, kami tak ingin melewatkan pengalaman berperahu di sana. Sebuah perahu motor membawa kami sedikit mencicipi sensasi Kapuas. “Belum ke Pontianak bila belum minum air Sungai Kapuas,” kata pengemudi yang duduk di belakang, menjaga motor perahu.
Saya tertawa geli. Mana mungkin minum air berwarna cokelat itu? Ia mengulang ucapannya dengan raut wajah serius hingga tiga kali.

Di tengah sungai dengan arus yang bergelombang itu, saya cidukan air dengan telapak tangan. Dalam sekejap air itu masuk ke tenggorokan.
“Sah” teriak saya sambil mengepalkan tangan kanan ke atas. Pengemudi perahu itu tertawa. “Sah!” sahutnya.
Di Sini Pontianak Berawal
Syarif Abdurrahman muda itu gemar bertualang. Bersama rombongan dengan 14 perahu menyusuri Sungai Kapuas dari Mempawah. Pada 23 Oktober 1971 mereka sampai di persimpangan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Lalu, mereka membuka hutan di dekat muara sungai.
Dibangunlah suatu daerah pemukiman baru. Di sana, putra Al Habib Husein—penyebar Islam dari Jawa yang datang ke Kerajaan Matan pada 1733—mendirikan sebuah masjid kayu beratap rumbia. Beberapa ratus meter dari masjid itu dia mendirikan istana yang kemudian dinamai Istana Qadriyah.

“Ini kesultanan termuda di dunia,” kata Syafaruddin Usman, sejarawan Kalimantan. Sebab, kesultanan ini merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam sejarah Kalimantan Barat. Tak ada lagi kesultanan yang lahir sesudahnya.
Masjid pertama yang didirikannya masih berdiri hingga kini. Masjid yang terbuat dari kayu itu tampak megah di tepi Sungai Kapuas. Di tengah terik siang hari masjid menjadi tempat berteduh yang nyaman. Masjid tersebut kini bernama Masjid Syarif Abdurrahman, letaknya di depan Kampung Beting.
Jarak masjid hanya beberapa ratus meter dari Istana Qadriyah yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu belian yang tahan lama. Sebelum menuju istana yang terletak dalam satu garis lurus itu, terdapat gapura besar berwarna kuning dengan lambang kesultanan berupa mahkota. Di samping kiri kanan jalan menuju istana tertata rapi rumah-rumah keluarga kerajaan.
Kompleks bangunan keraton terpisah dari kampung lainnya yang dikelilingi tembok dan sungai.

Seluruh lokasi ini berada di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Sayangnya, saat kami berkunjung ke sana, istana berwarna kuning itu sedang direnovasi. Alhasil, seluruh bangunan dinyatakan ditutup.
Tugu Khatulistiwa
Tugu Khatulistiwa terletak di Jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Letaknya sekitar tiga kilometer dari Kota Pontianak. Ini pertanda kawasan ini dilalui titik nol garis khatulistiwa.
Bila Anda melihat tugu besar dari jalan, bukan itu tugu yang sebenarnya. Tugu aslinya ada di dalam bangunan. Tugu ini pertama dibangun pada 1928 oleh satu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda dengan hanya mengandalkan pengukuran ilmu astronomi. Lalu, tugu tersebut mengalami penyempurnaan dan renovasi sebanyak tiga kali.
Pada Maret 2005, posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi oleh tim dari Badan Pengkjian Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Pemerintah Kota Pontianak. Secara satelit terdapat perbedaan sekitar 117 meter dari posisi yang asli ke arah selatan Khatulistiwa.

Peristiwa menarik di sekitar Tugu Khatulistiwa, yakni saat titik kulminasi matahari. Sebuah fenomena alam ketika matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Saat itu, matahari tepat berada di atas kepala sehingga semua bayangan benda di permukaan bumi di sekitar tugu itu hilang beberapa detik.
Peristiwa titik kulminasi matahari itu terjadi setahun dua kali, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Peristiwa ini dirayakan dengan berbagai kegiatan budaya.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 Desember 2013 dengan reportase oleh Nina Chairani dan foto-foto Agung Supriyanto.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Keindahan Bernama Tana Toraja
Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.
SELENGKAPNYADeretan Rumah Sakral Toraja
Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.
SELENGKAPNYAAgungnya Kematian di Tana Toraja
Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.
SELENGKAPNYA