Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah adat Toraja (Tongkonan) di Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Senin (15/8/2022). | ANTARA FOTO/Arnas Padda

Safari

Deretan Rumah Sakral Toraja

Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.

Hampir setiap keluarga di Tana Toraja memiliki tongkonan. Saya mencoba berburu tongkonan pertama yang konon dibangun ribuan tahun lalu oleh nenek moyang Suku Toraja. Letaknya berada di Gunung Kandora, sekitar 10 kilometer dari Makale, Kabupaten Toraja.

Warga setempat berusaha meyakinkan saya bahwa bangunan pertama yang dinamakan To Tangdilino itu sulit dijangkau. Butuh perjalanan mendaki seharian, belum lagi lokasinya sangat jauh dari kaki gunung tempat saya menginap di Kabupaten Toraja Utara.

Saya pun mengubah target destinasi dengan mengunjungi kompleks tongkonan yang sudah menjadi objek wisata di wilayah Toraja Utara. Desa Kete Kesu namanya, berjarak tiga kilometer dari pusat Kecamatan Rantepao, kondisi kompleks tongkonan ini jujur saja terasa sudah berkurang orisinalitasnya. Banyaknya pedagang oleh-oleh dan kendaraan para wisatawan yang terparkir membuatnya lebih terasa seperti kampung wisata ketimbang kampung adat.

Untuk masuk ke dalam desa ini, per orangnya dikenakan tarif Rp 10 ribu. Ada enam tongkonan berdiri megah dengan masing-masing berhadapan dengan satu rumah kecil bernama alang sebagai penyimpan hasil panen. Satu tongkonan yang berdiri di deretan tengah menarik perhatian saya.

photo
Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah adat Toraja (Tongkonan) di Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Senin (15/8/2022). - (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Dari cerita Joni soal deretan tanduk kerbau di muka tongkonan, inilah rumah pemimpin di wilayah tersebut. Ada 20 tanduk kerbau dipajang memanjang vertikal, plus sebuah tengkorak tedong bonga lengkap dengan kulit dan mata yang masih menempel.

Rumah panggung ini disusun dari batang kayu tanpa paku besi. Penyambung setiap batangnya tampak menggunakan kayu lagi yang dipahat laiknya pasak.

Bentuk rumah yang panjang ke atas tampak menjulang dengan nuansa warna gelap. Di beberapa titik terlihat ukiran-ukiran di dinding-dinding kayunya.

Pada bagian atap tongkonan, bentuknya melengkung seperti tanduk kerbau. Terdapat jendela kecil di sisi timur dan barat pada bangunan.

Untuk mencapai pintu utama, berdiri tangga dengan sudut yang tidak terlalu tajam sehingga mudah untuk ditapaki. Sayang, pintunya terkunci, para warga setempat mengatakan bahwa tongkonan di sini memang khusus untuk para wisatawan melihat dari luar.

photo
Wisatawan mengunjungi rumah adat Torajat di kawasan wisata Ketekesu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Rabu (16/12/2020). - (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Ketika dahaga penasaran membuncah, rombongan Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif dari Kementerian Pariwisata yang membawa saya ke Toraja mengajak pergi ke suatu tempat. Ke lokasi itu tempat seorang perajin tenun bernama Mama Roni bermukim.

Berangkatlah kami ke Kecamatan Sa'dan, setengah jam perjalanan roda empat dari Rantepao. Namun, beruntungnya saya, kediaman Mama Roni ternyata terletak di kompleks tongkonan.

Ketika yang lain sibuk berbelanja kain tenun, saya menyempatkan diri berkeliling. Kompleks tongkonan ini berdiri di dekat Sungai Sa'dan, agak ke pelosok memang. Suasananya terasa natural dengan pepohonan di sekitarnya.

Bertemulah saya dengan seorang warga asli setempat, namanya Ata Ponglabah. Belakangan, setelah pergi meninggalkan Sa'dan saya baru mengetahui bahwa Ponglabah adalah satu dari ratusan nama marga bangsawan Toraja.

Ata bercerita, Tongkonan Ponglabah tengah berbenah. Keluarga ini sedang bersiap mengadakan sebuah upacara kematian untuk sang nenek yang telah tiada setahun silam. Rencananya, klan Panglaboh akan berpesta pada 10 Desember 2014.

photo
Wisatawan mengunjungi objek wisata Kete Kesu di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (3/4/2021). - (Spedy Paereng/ANTARA FOTO)

Maka, tongkonan mereka pun dipugar, ada juga yang baru dibangun untuk menyambut keluarga mereka berkumpul. Saya terbelalak ketika mengetahui biaya membuat satu tongkonan. "Itu yang sebelah sana, serah kunci kita habis Rp 460 juta," ujarnya sambil menunjuk ke salah satu tongkonan.

Menurut wanita yang sejak lahir 39 tahun lalu ini tinggal di kompleks Ponglabah, setiap tongkonan dibuat dengan bahan dasar kayu uru. Kayu jenis ini merupakan kualitas terbaik yang banyak ditemui di hutan-hutan Toraja.

Warnanya yang mengilat, membuatnya tak perlu ada sentuhan pernis ataupun cat. Kayu dibiarkan sesuai dengan karakternya yang kekar dan agak hitam.

Proses perendaman bertahun-tahun membuat kayu jenis ini semakin kuat dan tahan lama untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Teknik pembangunan tongkonan adalah dengan sistem jepit ikat rotan dan penyambungan menggunakan balok kayu berbentuk pasak.

Setiap dinding dari tongkonan setinggi 20 meter dengan ukuran 10 x 5 meter yang Ata tunjukkan ini penuh pahatan. Ukiran dengan motif yang melambangkan kebangsawanan seperti keris, kerbau, ayam, dan matahari dituangkan di setiap dinding luarnya. Warna khas kesenian Toraja seperti merah dan kuning yang melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran menghiasi setiap ukiran.

photo
Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah adat Toraja (Tongkonan) di Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Senin (15/8/2022). - (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Di bagian tengah atas rumah ini, tepat di bawah atap berbentuk tanduk kerbau, ada pintu rapat tertutup. Seperti, tongkonan di Desa Kete Kesu, pintu ini pun terkuci rapat. Ternyata, pantas saja, menurut Ata, itu adalah tempat penyimpanan jenazah sebelum dimakamkan. "Tidak boleh masuk, nanti dibuka saat pesta saja," kata dia.

Tepat di sebelah kiri bangunan ini, berdiri juga sebuah tongkonan besar yang saya dapat langsung menebak bahwa inilah poros dari kompleks keluarga Pangalaboh.

Dan, ternyata benar, Ata mengatakan, tongkonan yang memajang lebih dari 60 tanduk kerbau itu merupakan rumah pertama klan Pangalaboh. Lukisan besar seorang kakek yang menempel di bagian depan tongkonan tersebut merupakan leluhur keluarga bangsawan ini.

Dari sejarah turun-temurun beliaulah, kata Ata, pembangunan kompleks tongkonan dilakukan mengikuti pakem-pakem tertentu. Seperti, rumah diharuskan menghadap ke utara dengan pintu selalu berada di bagian depan karena di arah inilah, menurut Suku Toraja, Sang Mahakuasa berada. Bangunan tongkonan sengaja dibuat persegi panjang tanpa ada tambahan lain yang dapat mengubah bentuknya. Filosofinya, karena bumi memilki empat mata angin sesuai dengan jumlah sisi tongkonan.

photo
Dua remaja suku Toraja berswafoto di Rumah Adat Tongkonan yang tengah diupacarakan saat Upacara Mangrara Banua secara Aluk Todolo di Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. - (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Setelah menjelaskan yang ia ketahui, Ata yang juga mahir menenun ini mengajak saya ke tempat ia mengkreasikan kain toraja. Lokasinya masih di kompleks Tongkonan Panglabaoh. Saat berjalan inilah saya baru menyadari sebangsawan apakah keluarga Panglaboh ini.

Kompleks keluarganya berdiri megah di atas tanah sekira empat kali luas lapangan sepak bola dengan konsep layaknya perumahan di kota-kota besar. Bedanya, di sini setiap tetangga adalah satu keluarga semarga.

Sesaat sebelum sampai ke tempat ia menenun, fokus mata saya tercuri oleh bangunan tongkonan yang sepertinya ada seseorang baru keluar dari pintunya. Ata yang melihat saya penasaran lantas mengizinkan saya untuk mencicipi berada di dalam tongkonan.

Ini Tongkonan Batu A'riri, rumah adat yang berperan sebagai tempat pusat pertalian keluarga. Menyusuri anak tangga sebelum akhirnya masuk ke dalam tongkonan, saya perlahan membuka pintu kayu yang bergagang kuningan itu. Dan, ternyata di dalam ruangan yang terbagi dalam dua bagian itu kosong tak ada perabotan. Hanya ada lembaran tikar menghampar seperti sebuah ruangan khusus pertemuan. Tapi, uniknya, kasur dengan seprai putih di tengah-tengah ruangan. Tanpa bantal, tanpa guling. Rapi tertata.

photo
Seorang pemangku adat mengelilingi atap Tongkonan yang diupacarakan sambil membawa obor saat Upacara Mangrara Banua secara Aluk Todolo di Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. - (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Di dalam ruangan sekitar  6 x 3 meter itu tak ada bau asing atau sesuatu yang mengganggu. Justru di dalam tongkonan lebih terasa sejuk dibanding di luar. Dengan langit-langit berjarak dua meter dari tempat saya menginjakkan kaki, udara rasanya mengalir lancar keluar masuk ruangan.

Lihatlah Jenis Tongkonan-nya …

Saya ingat benar cerita Buntang. Mereka yang tergolong sebagai bangsawan wajib berperilaku laiknya kaum borjuis. Tinggal di tongkonan merupakan salah satu ciri kasta bangsawan. Menurut Buntang, dahulu untuk membedakan status kasta setiap golongan, ciri paling mudah adalah dengan melihat tongkonan-nya.

Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi dari suatu golongan yang memiliki kekuasaan hakiki dalam sebuah sistem pemerintahan di suatu desa. Lalu, ada tongkonan pekamberan, rumah adat milik mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu dalam penetapan aturan adat. Terakhir, tongkonan batu, bentuknya lebih kecil, dipergunakan oleh rakyat sebagai pelayan dari kaum bangsawan.

Selain tongkonan tersebut, ada pula tongkonan batu a'riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga. Di tongkonan ini keluarga kecil berkumpul bila tengah mengadakan suatu pertemuan.

photo
Suasana penyembelihan babi saat Upacara Mangrara Banua secara Aluk Todolo di Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Mangrara Banua merupakan upacara peresmian rumah adat Tongkonan sebelum ditinggali. - (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Kemudian, barung-barung. Bangunan ini tidak berbentuk tongkonan, hanya atap berlapis seng saja sebagai bagian dari rumah pribadi warga lokal. Diturunkan dari generasi ke generasi, desainnya lebih modern dari tongkonan pada umumya.

Saat ini, Buntang menggarisbawahi, konsep penempatan tongkonan sudah tak lagi sesuai adat. Mereka yang berasal dari kasta dengan bukan garis bangsawan pun bisa menempati tongkonan besar. "Asal punya uang, ya mereka bisa bangun tongkonan megah, ada pergeseran adat, tapi itu perkembangan zaman," kata Buntang mencoba bijak.

Mengupas Bagian Rumah Tongkonan

Secara garis besar, tongkonan terbagi ke dalam tiga bagian, kolong atau disebut sulluk banua, pusat rumah dinamakan kale banua, dan atap atau ratiang banua.

Kolong adalah bagian kosong dari kaki-kaki penyangga rumah. Tinggi kaki-kaki sendiri bisa mencapai satu meter, ruang kosong yang ada ini lalu dimanfaatkan untuk menyimpan perkakas.

Pusat tumah, di sini biasanya disemayamkan jasad anggota keluarga sebelum menjalani upacara adat.

photo
Suasana Upacara Mangrara Banua secara Aluk Todolo di Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Mangrara Banua merupakan upacara peresmian rumah adat Tongkonan sebelum ditinggali. - (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Atap, karena tongkonan tidak mengenal jendela maka bagian ini menjadi tempat cahaya matahari masuk melalui lubang persegi yang bisa dibuka. Terkadang, hasil panen seperti padi pun di simpan di sini.

Alang, pendamping tongkonan. Alang sebenarnya berada di luar konstruksi tongkonan, tapi kehadirannya selalu ada di setiap tongkonan asli berdiri. Alang dibangun berjarak sekitar 10 meter dari depan muka tongkonan. Fungsi bangunan yang hanya memiliki kolong dan atap ini adalah untuk menyimpan hasil panen.

Tongkonan yang menghadap utara dan Alang ke selatan diibaratkan sebagai pasangan suami istri. Tongkonan bertugas sebagai tempat pengatur, Alang sebagai pengelola pangan. Perbedaan lainnya, bila seluruh bagian tongkonan dibuat dari kayu Uru, Alang menggunakan kayu pohon palem sebagai tiangnya. Ukiran ayam dan matahari mendominasi alang sebagai wujud berlimpahnya panen.

Menurut Ata, pembangunan tongkonan dan alang sangat melelahkan. Oleh karena itu, seluruh anggota keluarga selalu turut membantu bergotong royong mendirikannya. "Seperti yang ini, kami buat gotong royong," ujar Ata sambil menunjukkan tongkonan yang tengah dibangun.

 

Disadur dari Harian Republika edisi 23 November 2014 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi.

Brankas Sejarah Bernama Pacitan

Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu.

SELENGKAPNYA

Bertamu ke 'Rumah' Purba di Pacitan

Gua di Pacitan terbukti tempat yang nyaman bagi manusia purbakala.

SELENGKAPNYA

Pacitan Kota Purba ‘Metropolitan’

Manusia purbakala Pacitan mampu melewati ragam masa kehidupan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya