Monumen Jenderal Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. | Prayogi/Republika

Safari

Brankas Sejarah Bernama Pacitan

Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu.

Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh, tidak berubah-ubah, meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan adalah Angkatan Perang Republik Indonesia (TNI).

Kalimat tersebut menempel di sebuah tembok setinggi 7x12 meter yang berdiri megah menyambut langkah saya di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Kedatangan saya saat itu ke Pakis Baru bermaksud melongok jejak panglima besar yang pernah dimiliki Ibu Pertiwi, Jenderal Sudirman.

Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu empat bulan untuk menetap sementara. Dalam persinggahannya ini, ia mengatur strategi serangan gerilya melawan Belanda yang saat itu sedang mengakar di Jawa Tengah. Dari bumi Pacitan inilah kesuksesan Indonesia mengusir Belanda untuk kesekian kalinya berhasil.

Itu semua terjadi tepatnya sejak 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949. Diketahui, kurun empat bulan tersebut merupakan durasi terlama yang pernah Sudirman dan pasukannya habiskan di suatu daerah ketika bergerilya. "Untuk mengenang kehidupan Pak Sudirman di sini, masyarakat setempat berinisiatif membangun monumen ini untuk mengenang perjuangan beliau memimpin pasukan tentara kita saat itu," ujar Wibowo warga Desa Pakis Baru yang saya temui di tengah udara yang membuat tubuh menggigil.

photo
Monumen Jenderal Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. - (Prayogi/Republika)

Cerita empat bulan

Sebagian besar wilayah Pacitan bersuhu panas, rupanya hal itu tak berlaku di Pakis Baru. Desa itu berjarak 35 kilometer arah timur pusat Pacitan. Namun, saya menghabiskan waktu satu setengah jam berkendara mencapai desa bersuhu dingin ini.

Setelah melahap jalanan berkelok dan menanjak, akhirnya saya sampai ke kompleks bangunan Monumen Panglima Besar Sudirman berdiri. Monumen yang berdiri di lahan seluas 10,7 hektare ini menyimpan sejuta sejarah perjuangan Sudirman di masa agresi militer Belanda.

Memasuki Pakis Baru, saya mendapati pemukiman khas pedesaan yang padat di beberapa titik, lalu sepi di sudut lainnya. Setelah melintasi desa, sekira 500 meter saya sampai di gerbang utama monumen.

Secercah kemegahan langsung terlihat ketika memasuki monumen bernuansa hijau itu. Saya mendapatkan perasaan ini karena disambut hamparan rumput luas yang tepat di tengahnya berdiri menjulang patung sang panglima besar.

photo
Monumen Jenderal Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. - (Prayogi/Republika)

Namun, sebelum melangkahkan kaki ke tengah dataran rata seluas dua kali lapang bola itu, saya terlebih dulu melewati 12 pilar cekung setinggi masing-masing 10 meter. Pilar-pilar ini saling berhadapan enam sama lain.

Di belasan pilar tersebut, terdapat relief-relief yang menceritakan seputar kegiatan Sudirman dan pasukannya selama bermarkas di Pakis Baru. Dari sekian relief, ada dua yang menurut saya paling berisikan makna mendalam gambaran suasana gerilya panglima besar dan pasukannya saat itu.

Yakni, pertama relief yang menggambarkan Sudirman berusaha merangkul rakyat Pakis Baru untuk mendukung upaya pasukan Indonesia bergerilya. Ini sesuai dengan prinsip Sudirman yang menilai rakyat merupakan bagian paling penting dari sebuah taktik perang gerilya tentara Indonesia.

Kedua, adalah relief yang menggambarkan perjuangan penuh kucuran peluh sang jenderal muda. Dalam relief berlapis marmer hitam tersebut, Sudirman tampak dipangku oleh seorang prajurit menyusuri sebuah sungai berbatu di tengah pepohonan. Di sisi sungai yang tertutup lebatnya hutan tersebut, ada seruas jalan berkelok yang dilintasi oleh sebuah mobil bergaya Belanda.

photo
Markas Jenderal Sudirman. - (Prayogi/Republika)

Pada relief ini saya benar-benar mendapatkan konsep gambaran gerilya yang sempurna dari Sudirman dan pasukannya. Betapa meskipun mengidap sakit keras, Sudirman masih kokoh dengan prinsip gerilyanya, bersembunyi menyusuri hutan tanpa diketahui oleh Belanda.

Setelah melalui pilar-pilar yang menyerupai koridor 'sambutan' itu, barulah saya menginjakkan kaki di bawah patung jenderal kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, ini. Tapi, untuk berdiri dan melihat patung berwarna kuning gelap itu, saya lebih dulu menaiki tangga yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, deret anak tangga berjumlah 45, kedua delapan, dan terakhir 17. "Ini menggambarkan hari kemerdekaan kita," ujar Wibowo.

Gambaran gerilya

Patung yang berdiri di depan saya saat itu memperlihatkan Sudirman dengan karisma dan kewibawaannya. Sudirman digambarkan berjubah, berblangkon, menenteng keris yang terselip di pinggang kirinya.

Selain ragam ornamen tersebut, Sudirman yang disebut warga Pacitan dengan panggilan Pak Dirman itu juga menenteng sebuah tongkat di tangan kirinya. Ujung bawah tongkatnya menyentuh tanah, menunjukkan Dirman yang sedang tak sehat harus menahan tegak tubuhnya pada sepotong tongkat agar tetap bisa berdiri. Meski demikian, mimik wajahnya membara penuh semangat dengan mata menatap lurus ke depan.

photo
Markas Jenderal Sudirman - (Prayogi/Republika)

"Pak Dirman kan sakit keras, beliau hanya punya satu paru-paru yang sehat saat memimpin pasukan dalam bergerilya, tapi jiwa patriotnya tetap berkobar," kata Wibowo yang membuat saya makin terenyuh.

Di sudut lain kompleks monumen ini berdiri pula sebuah rumah tua yang dahulu dijadikan tempat Sudirman beristirahat. Di dalamnya, tersimpan ragam replika penunjang alat gerilya pasukan Pak Dirman. Terdapat pula benda paling 'bersejarah' yang selalu ada di setiap langkah Sudirman bergerilya, tandu.

Tandu yang memiliki empat sisi kayu untuk membopong Sudirman ke manapun ia pergi ini tergolek di salah satu sisi bangunan. Tandu beratap dan bertirai ini menjadi saksi bisu mental tangguh seorang Dirman dalam menjalani hari-harinya.

Disadur dari Harian Republika edisi 1 Februari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto oleh Prayogi.

Biting Sejarah Majapahit yang Terlupakan di Lumajang

Situs Biting diyakini merupakan awal keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

SELENGKAPNYA

Desa Elok Cikal Bakal Lumajang

Desa Kloposawit tempat cantik yang paling mengesankan kami di Lumajang.

SELENGKAPNYA

Melestarikan Keris di Lumajang

Ada beberapa model keris yang merupakan peninggalan leluhur dari para penghuni Majapahit.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya