Iqtishodia
Rekayasa Sosial Petani di India: dari Komunitas ke Pasar Dunia
Berbagai inovasi dikembangkan untuk membangun ekosistem kewirausahaan.
Dedi Budiman Hakim (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Pusat Studi Keuangan dan Ekonomi Terapan (InterCAFE) IPB, serta peserta International Training on Microfinance Inclusion and Market Access Improvement in India), Lilis Hoeriyah (Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Pembangunan FEB Untirta, Serang, Banten)
Rekayasa sosial petani menjadi kata kunci penting dalam mengembangkan pertanian skala kecil. Penguasaan lahan yang sangat terbatas, akses informasi—khususnya terkait perkembangan permintaan, harga, dan modal—rendahnya literasi keuangan, hambatan infrastruktur, serta penetrasi ke pasar, baik domestik maupun luar negeri, menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar dan tantangan yang bersifat sosial maupun struktural. Pasar yang efisien dengan konsep struktur pasar persaingan sempurna (competitive market) masih sebatas konsep dan belum berfungsi di sektor pertanian.
Di manapun, baik di negara berkembang maupun negara maju, pemerintah harus hadir dan aktif melakukan intervensi karena karakter produk pertanian yang sangat sensitif terhadap faktor alam, sementara harga bukan ditentukan oleh petani (market driven price). Permintaan di tingkat petani (farm gate) juga merupakan permintaan turunan dari pasar hilir (derived demand), yang berarti petani hanya menjadi penerima akhir dari perubahan pasar.
Memahami kendala, tantangan, dan karakter produk pertanian—khususnya pangan dan hortikultura—International Fund for Agricultural Development (IFAD) mengembangkan konsep Meghalaya Livelihoods and Access to Markets Project (Megha-LAMP) di negara bagian Meghalaya, India.
Pengembangan Kelembagaan
Berdasarkan kunjungan lapangan dan paparan pengelola Megha-LAMP, petani mengalami kesulitan dalam mengakses informasi dan menggunakan peralatan modern untuk mengelola usahatani. Lokasi yang jauh dari pusat ekonomi (Kota Shillong), literasi modal usaha yang terbatas, penjualan hasil panen yang masih berupa bahan mentah, serta keterbatasan kemampuan menghadapi pedagang perantara mendorong perlunya rekayasa sosial. Diperlukan upaya sistematis, struktural, dan berkelanjutan untuk menggerakkan serta mengarahkan petani dalam satu sistem organisasi berbasis wilayah dan komoditas.
Pilihan berbasis komoditas dinilai paling efektif karena memudahkan koordinasi dan menekan biaya transaksi (transaction costs) seperti pencarian informasi, komunikasi, seleksi, dan negosiasi. Dengan demikian, pengelompokan petani berbasis komoditas memungkinkan tercapainya skala ekonomis sehingga biaya rata-rata dapat ditekan seminimal mungkin.
Setelah kelompok tani terbentuk secara solid, dikembangkan koperasi wilayah yang terintegrasi dalam fungsi dan perannya (Integrated Village Cooperative Societies/IVCS). Dampak utama dari rekayasa sosial ini adalah berdirinya sekitar 503 koperasi desa dengan anggota sekitar 1,1 juta orang, serta tersalurnya dana anggota sebesar Rp 95,2 miliar. Jaringan koperasi di negara bagian Meghalaya berkembang pesat dan tergabung dalam The Meghalaya Cooperative APEX Bank Ltd. Bank koperasi ini berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan perdesaan melalui penyediaan layanan transaksi perbankan serta kredit sektor pertanian, perumahan, dan pinjaman individu, dengan cabang di seluruh distrik Meghalaya.
Menghubungkan petani dengan lembaga keuangan menjadi faktor pembatas utama dalam pemberdayaan petani. Karena jarak rumah petani ke kantor bank cukup jauh, pada tahap awal kelompok tani berfungsi sebagai lembaga keuangan sederhana dengan skema tabungan dan pinjaman terbatas bagi anggotanya.
Seiring waktu—sejak Megha-LAMP dikembangkan pada 2014—kebutuhan modal meningkat. Kelompok tani kemudian ditingkatkan menjadi koperasi, dan koperasi menjadi anggota sekaligus pemilik saham Bank Koperasi. Sesuai proses bisnis koperasi, keuntungan bank yang diperoleh dari pemanfaatan layanan oleh petani akan kembali kepada petani dalam bentuk dividen atau sisa hasil usaha.
Ekosistem Kewirausahaan
Berbagai inovasi dikembangkan untuk membangun ekosistem kewirausahaan di sektor pertanian dan pedesaan guna memperkuat rantai nilai dan kapasitas ekonomi masyarakat. Infrastruktur utama meliputi 167 Custom Hiring Centers (CHC)—114 di antaranya telah beroperasi—yang menyediakan akses alat dan mesin pertanian modern bagi petani kecil. Selain itu, tersedia 75 gudang (warehouses) dan 23 Common Facility Centers (CFC) untuk memperbaiki sistem logistik, penyimpanan, dan pascapanen sehingga kehilangan hasil dapat ditekan dan kualitas produk meningkat.
Sebanyak 110 Agri Response Vehicles (ARV) berfungsi sebagai armada respons cepat untuk mendukung produksi, distribusi, dan kebutuhan mendesak di lapangan. Petani cukup menghubungi layanan dan memberikan lokasi, sehingga kendaraan dapat segera menjemput hasil panen. Skema ini menekan biaya penyusutan dan risiko penurunan kualitas hasil.
Pembangunan 43 Farmers’ Markets menjadi bagian penting dari ekosistem ini karena menyediakan ruang transaksi yang lebih adil, terorganisasi, dan dekat dengan produsen. Seluruh infrastruktur dimiliki dan dikelola komunitas dengan tarif sewa terjangkau, menumbuhkan rasa kepemilikan, kolaborasi lokal, serta mendorong lahirnya wirausahawan baru di sepanjang rantai nilai pertanian.
Posisi PRIME Hub
Penciptaan nilai (value creation) merupakan tujuan utama rekayasa sosial ini, dengan indikator peningkatan pendapatan berkelanjutan (sustainable livelihoods). Inovasi kunci diwujudkan melalui pembentukan PRIME Hub yang melibatkan tiga aktor utama: pemerintah sebagai penyedia infrastruktur dasar, petani sebagai pemasok bahan baku dan tenaga kerja, serta swasta sebagai investor pabrik pengolahan. Nilai tambah tercipta di lokasi petani dan membuka lapangan kerja, khususnya bagi lulusan perguruan tinggi.
Kerja sama dengan swasta bersifat sementara hingga pengembalian investasi (return on investment/ROI) tercapai. Selanjutnya, pengelolaan diserahkan kepada pemerintah, sementara petani tetap menjadi pemilik saham melalui koperasi (cooperative owned plant).
PRIME Hub berfungsi sebagai simpul rantai pasok inklusif yang menghubungkan jejaring produksi dan pengolahan. Pengelola Megha-LAMP secara aktif mencari pembeli domestik dan internasional dengan memperhatikan standar ekspor terkait kualitas, volume, dan kesinambungan pasokan. Tantangan ekspor terbesar berasal dari hambatan nontarif (non-tariff barriers) seperti sanitasi dan fitosanitasi (SPS) serta hambatan teknis perdagangan (technical barriers to trade/TBT). Standar ini dipenuhi di PRIME Hub untuk meminimalkan risiko penolakan pasar ekspor.
Benchmarking bagi Koperasi Merah Putih
Di Meghalaya, koperasi berkembang subur dan menjadi tulang punggung pelayanan petani. Seluruh peserta program wajib menjadi anggota IVCS. Pemerintah mendukung pendirian The Meghalaya Cooperative APEX Ltd sehingga relasi keuangan bersifat komersial, bukan hibah, dan berkelanjutan (sustainable).
Model ini relevan sebagai pembelajaran bagi Koperasi Merah Putih dan koperasi pertanian di Indonesia. Namun, perkembangan koperasi memerlukan waktu dan iklim usaha yang kondusif. Koperasi merupakan gerakan ekonomi berbasis kebersamaan dan menjadi alternatif atas ideologi ekonomi pasar yang menekankan kepemilikan individual. Keberhasilan koperasi di Meghalaya—yang telah berjalan lebih dari satu dekade—menunjukkan bahwa dampak koperasi Merah Putih juga memerlukan proses belajar berkelanjutan (learning by doing) serta intervensi pemerintah pusat dan daerah agar koperasi tidak sekadar menjadi pelengkap entitas bisnis yang sudah ada, melainkan alternatif sistem ekonomi yang berkeadilan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
