Sastra
Tentara Allah
Cerpen Syabaharza
Oleh SYABAHARZA
Sore itu seperti biasa, Ansol bergegas menuju sebuah tempat sederhana yang tidak jauh dari rumahnya. Tempat itu sering disebut masyarakat langar. Di langgar itu tempat Ansol mendapatkan siraman rohani dari gurunya. Seorang guru yang masih muda lulusan pesantren ternama. Rutinitas itu selalu ditekuni oleh Ansol dengan ikhlas.
Orang tuanya tidak perlu mengeluarkan urat leher jika menyuruh Ansol pergi ke langgar itu apalagi sampai menghunus parang panjang. Ansol tidak sendirian belajar di langgar itu, karena beberapa temannya yang juga tekun belajar di langgar itu. Pembelajaran biasanya dilaksanakan setelah semua rampung salat magrib berjamaah.
Langgar itu terbuat dari bahan kayu. Dindingnya dari papan yang dibuat sendiri oleh masyarakat desa itu. Tiangnya diambil dari kayu yang paling bagus di daerah itu. Atapnya dibikin dari pelepah kelapa. Walaupun bahan-bahannya terbuat dari benda yang sederhana, namun langgar itu tetap terlihat elegan dan kokoh.
Ruang utamanya sengaja dibuat terbuka sehingga angin dapat dengan mudah menerobos dan memberikan kenyamanan bagi yang sedang beribadah di langgar itu. Alasan dibuat dari kayu karena daerah itu memang terkenal dengan produksi kayu-kayunya. Di desa itu pohon-pohon besar masih tumbuh dengan gagahnya.
Langgar itu tepat berada di pinggir jalan umum, sehingga akan tampak jelas jika ada kendaraan lalu lalang. Namun, karena desa itu dikenal dengan desa religius, maka pada waktu menjelang magrib dan saat magrib tidak ada satupun orang yang lewat dengan kendaraan di depan langgar, tujuan mereka adalah agar anak-anak yang belajar di langgar tidak terganggu.
Sebab itu Ansol dan kawan-kawannya tidak merasa terganggu ketika sedang belajar. Toleransi masyarakat desa itu sangat tinggi itu tanpa adanya aturan tertulis, hal itu karena kesadaran masyarakat sendiri.
Desa tempat Ansol berada di bawah pegunungan yang indah, sehingga suasana desanya terlihat sangat asri dan juga udara sangat sejuk serta sangat sehat sehat untuk dihirup. Pohon-pohon besar di pegunungan yang hijau terlihat dari kejauhan semakin menambah keindahan desa. Sawah-sawah yang membentang luas membuat desa itu sering dijuluki surga yang tersembunyi. Dikatakan tersembunyi karena keberadaan desa itu yang terletak di ujung kota dan tertutup oleh tingginya pegunungan.
***
“perlu anak-anak ketahui bahwa Allah itu mempunyai tentara juga”
Sambil memegang sebuah kitab dan rotan, ustaz Muslim memulai pembelajaran malam itu. Sementara Ansol dan kawan-kawan dengan khidmat mendengarkan. Ada sekitar delapan orang yang hadir dalam pembelajaran malam itu. Jam dinding menunjukkan pukul 18.45. detak jarumnya seolah ingin mengganggu konsentrasi para penuntut ilmu yang ada di langgar itu. Suara jangkrik juga semakin nyaring mengalahkan nyaring-nya protes para warga ibukota yang belum kebagian bantuan sosial dari pemerintah. Namun suara-suara itu tidak digubris oleh Ansol dan kawan-kawannya. Mereka tetap fokus dengan urusannya.
“setidaknya ada enam tentara Allah yang pernah bertugas di dunia ini”
Sambil membetulkan sorbannya, Ustaz Muslim melanjutkan materinya.
“semua tentara itu akan patuh jika mendapatkan perintah”
Ansol dan kawan-kawannya tampak mulai penasaran dengan materi pelajaran selanjutnya. Mereka mulai merubah posisi masing-masing. Ada yang lebih mendekatkan posisinya ke hadapan ustaz Muslim, ada yang menyuruh kawan satunya untuk tidak berisik dengan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir. Mereka sudah tidak sabar menunggu penjelasan ustaz Muslim tentang siapa saja yang termasuk tentara Allah itu.
“yang pertama ada air”
Ustaz Muslim memulai menjabarkan satu persatu siapa tentara Allah itu. Ansol dan kawan-kawannya mulai menganggukkan kepala.
“air pernah bertugas menenggelamkan Firaun dan bala tentaranya ketika hendak mengejar nabi Musa dan pengikutnya.” Ustaz Muslim mulai menjelaskan.
“kedua angin” ustaz Muslim melanjutkan.
“angin pernah bertugas menyapu bersih kaum nabi Hud, ketiga tanah yang pernah bertugas menjungkirbalikkan kaum nabi Luth karena berlaku sodom, kemudian hawa panas yang pernah membuat kaum Madyan seperti terbakar, selanjutnya petir yang pernah menyambar kaum Samud dan terkahir burung Ababil yang pernah meluluhlantakkan pasukan gajah yang hendak menghacurkan kakbah”
Panjang lebar Ustaz Muslim menjelaskan, sambil beliau membetulkan posisi duduknya. Ustaz Muslim kemudian meminum air putih yang ada di depannya. Ansol dan kawan-kawannya masih fokus mendengarkan pelajaran yang diberikan Ustaz Muslim.
"Sekarang ada yang mau bertanya?”
Sambil menatap murid-muridnya, Ustaz Muslim memberikan kesempatan untuk melontarkan pertanyaan.
“saya mau bertanya Ustaz!’
Seorang kawan Ansol yang memakai kopiah putih bulat dengan baju dan sarung berwarna serupa mengacungkan jari telunjuknya.
“Silakan”
“Apakah Allah menyuruh tentara-Nya itu karena ada sebabnya?”
“tentu saja, semua kejadian yang ustaz sebutkan tadi ada yang melatarbelakanginya”
Ustaz Muslim mulai menjawab dengan berusaha memberikan penjelasan yang logis.
“biasanya tentara-tentara Allah itu akan datang jika orang-orang di tempat itu melakukan kejahatan atau bahkan kemaksiatan”
Terlihat wajah Ustaz Muslim sangat serius ketika menjelaskan sebab-sebab Allah menugaskan tentara-Nya. Ansol dan kawan-kawannya juga fokus mendengarkan. Mereka tidak mau ketinggalan informasi sedikit pun.
“kalau kita tidak melakukan kejahatan atau kemaksiatan, Apakah kita bisa terkena amukan tentara Allah itu, Ustaz?”
Seorang kawan Ansol tiba-tiba menyela penjelasan sang ustaz.
“Tentunya tidak”
Ustaz Muslim langsung merespon pertanyaan muridnya itu.
“Ingat ada pepatah. Siapa menanam dia akan memanen."
Ustaz Muslim menutup pembelajaran malam itu. Ansol dan kawan-kawannya merasa lega. Karena mereka yakin masyarakat desa mereka orangnya baik-baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apalagi kemaksiatan. Sehingga mereka mempunya harapan tidak akan terkena amukan para tentara Allah tadi.
Satu persatu anak-anak bersalaman dengan sang ustaz. Mereka izin pulang ke rumah masing-masing dengan dada penuh ilmu yang didapat. Namun baru saja hendak keluar dari langgar, sang ustaz dan murid-muridnya itu dikagetkan dengan iringan mobil fuso lewat di depan langgar. Pemandangan yang tidak biasa itu sontak membuat mereka kaget.
Dari mana mobil-mobil besar itu? Apa tujuan mereka datang ke desa itu?. Pertanyaan-pertanyaan itu spontan saja keluar di hati mereka. Suara mobil-mobil besar itu sangat kuat, sehingga bisa membuat telinga pekak. Ada sekitar sepuluh mobil yang lewat di depan langgar. Mobil-mobil itu menyisahkan debu-debu yang berterbangan dan juga menyisahkan tanya yang belum terjawab.
“Mau kemana mobil-mobil itu ustaz?”
Ansol mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
Sambil menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya, sang ustaz mengajak murid-muridnya untuk pulang dan beristirahat.
***
Pagi itu suasana kantor desa penuh sesak dipenuhi warga. Tampak di teras kantor, kepala desa dan jajarannya sedang berusaha menenangkan emosi warga. Warga yang didominasi oleh bapak-bapak itu terlihat sangat emosi dan terus menyampaikan aspirasi mereka. Berbagai atribut dibawa oleh warga dengan berbagai tulisan. Dengan pakaian rapi, sang kepala desa berusaha memberikan penjelasan kepada warganya.
“Bapak-bapak harap tenang dulu, saya bisa menjelaskan.”
Sambil menggerakkan tangannya, sang kepala desa berusaha memberikan klarifikasi.
“Semua ini untuk kebaikan desa kita.”
Sang kepala desa terus dengan orasinya berusaha meyakinkan warganya. Namun warga yang sudah emosi tampaknya tidak mau mendengarkan argumen sang kepala desa.
“Itu untuk kebaikan bapak saja, bukan untuk desa.”
Salah seorang bertopi, memakai celana kolor tanpa baju berteriak dari samping.
“Betuuuuul!”
Sambut seluruh warga yang hadir.
“Dari dulu kebijakan bapak selalu menguntungkan pribadi dan keluarga.”
Seseorang berkulit putih berbadan agak gemuk dan berkumis tipis dengan baju dan celana warna hitam ikut berteriak. Teriakan itu sontak menghidupkan api kemarahan warga.
“Betuuuuul!”
Kembali suara warga yang hadir bagaikan tim paduan suara dalam upacara.
“Untuk kali ini saya berjanji akan membuat desa kita untung.”
Sang kepala desa merasa tersudut dan menjawab sekenanya. Tetapi jawabannya itu justru menasbihkan bahwa selama ini ia memang sudah mengambil banyak keuntungan dari kebijakan-kebijakannya. Jawabannya itu justru membuat ia semakin tersudut.
“Sudah banyak yang bapak jual dari desa kita ini”
Kali ini seorang pemuda berteriak. Pemuda ini adalah ketua karang taruna di desa tersebut. Teriakannya sangat kencang sehingga membuat warga semakin bersemangat.
“Betuuuuuul!”
Lagi-lagi warga kompak mendukung apa yang sedang diaspirasikan.
“Apakah sekarang hutan desa kita yang akan bapak jual?”
Sang pemuda melanjutkan orasinya.
Warga merasa kesabarannya sudah habis, karena mereka baru tahu sudah sebulan lebih aktivitas penebangan hutan desa berlangsung, yang lebih membuat warga muntab adalah kepala desa mereka yang telah mengeluarkan izin penebangan tersebut, warga khawatir nanti dampaknya akan berakibat terhadap desa mereka. Selama ini memang tidak diketahui karena mereka secara diam-diam melakukannya. Kedatangan mobil-mobil besar semalam ternyata adalah puncaknya, mereka hendak membawa kayu-kayu yang sudah dipotong.
Karena merasa terdesak, akhirnya sang kepala desa berjanji akan memenuhi tuntutan dari warganya. Sang kepala desa berjanji akan menghentikan proses pengambilan batang kayu di hutan desa mereka. Dalam waktu dekat sang kepala desa akan memerintahkan mobil-mobil besar yang sering melintas di depan langgar untuk balik kanan.
Warga pun kembali ke rumah masing-masing dengan beraneka perasaan.
***
Sore itu cuaca di langit desa Ansol tidak bersahabat. Mendung hitam menyelimuti langit. Angin berhembus dengan kencang menerbangkan semua yang dilewatinya. Semua orang tidak berani keluar rumah, mereka takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika nekat keluar rumah. Binatang-binatang pun juga tidak menampakkan batang hidungnya.
Dalam hitungan detik hujan lebat menyerang desa Ansol. Hujan sore itu tidak seperti hujan-hujan biasanya. Hujan sore itu datang dengan membawa angin, petir dan suara-suara guruh yang memekakkan telinga.
Setelah dua jam lebih, hujan mulai reda. Cuaca yang tadinya gelap perlahan mulai terang. Sebagian orang sudah mulai berani keluar rumah sekedar untuk memastikan bahwa keadaan sudah aman terkendali. Binatang-binatang pun sudah mulai keluar dari persembunyiannya. Kodok-kodok mulai bernyayi, suara sumbang mereka seperti hendak memanggil kembali hujan. Orang-orang yang tadinya khawatir kembali tenang karena hujan yang menakutkan tadi sudah berlalu.
Seperti aktivitas rutinnya. Ansol sudah bersiap-siap pergi ke langgar untuk belajar dengan ustaz Muslim. Pakaian putih lengan panjang dengan sarung hitam sudah dikenakannya, terakhir kopiah warna hitam disematkan di kepalanya. Buku tulis dan pena tidak lupa dibawanya. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, Ansol menuju pintu utama rumahnya.
“Air….air….air, awas ada air!”
Tiba-tiba Ansol dikejutkan oleh teriakan warga dari jalan. Ketika membuka pintu rumahnya Ansol bertambah terkejut, ia melihat orang berlarian tak tentu arah. Suara aneh-aneh mengiringi orang-orang yang berlari tadi. Suara itu seperti gedung runtuh. Belum sempat Ansol memahami situasi yang terjadi, tiba-tiba saja ia menyaksikan gelondongan kayu-kayu besar dibawa oleh air bercampur tanah menuju ke rumahnya dan ke jalan utama desa mereka. Dan dalam sekejap saja ia merasakan rumahnya bergetar dahsyat dan disertai bunyi yang dahsyat juga rumahnya sudah ambruk.
“Ayaaah, Ibuuu!”
Teriak Ansol dalam ketakutannya. Namun tidak ada jawaban. Dan detik berikutnya Ansol tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tubunya yang kecil itu dibawa oleh derasnya arus air bercampur tanah. Kemudian gelap yang dirasakan Ansol. Ternyata ia pingsan.
***
Ansol siuman dari pingsannya. Ia merasakan seluruh tubuhnya bagai dipukuli orang satu kampung. Ia belum menyadari apa yang sudah terjadi dengan dirinya dan desanya. Ia menyaksikan keadaan di sekelilingnya sangat kacau. Puing-puing papan di mana-mana. Kayu-kayu besar berserakan. Ia baru sadar setelah melihat lumpur menguasai area sekitarnya.
“ya Allah, Alhamdulillah!”
Hanya kata-kata itu yang bisa terucap dari bibir Ansol. Ia bersyukur karena bisa selamat dari musibah yang menyeramkan.
Kini ia berusaha mengingat kembali di mana posisinya sekarang. Dilihatnya ke segala arah, tidak ada tanda yang bisa dijadikan patokan. Ia mengalihkan pikirannya. Sekarang ia berusaha mencari keluarganya, kawan-kawannya, namun juga nihil. Setelah sekian lama ia berpikir, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa semua keluarga dan kawan-kawannya sudah menjadi korban.
Ansol jadi teringat dengan pelajaran yang diberikan ustaz Muslim tentang tentara Allah. Kejadian itu membuat ia tambah yakin bahwa tentara Allah itu memang ada. Bahkan dalam kejadian itu setidaknya ada tiga tentara Allah yang bertugas, yaitu air, angin, dan tanah. Ansol juga berusaha mencari langgar tempat mereka beiasa belajar, namun semua sudah rata. Sekarang pemandangan yang bisa dilihat hanya tumpukan kayu-kayu besar.
Ansol hanya bisa termenung dan bertanya, kenapa tentara Allah itu datang kepada mereka, padahal mereka tidak berbuat jahat apalagi bermaksiat.
***
Syabaharza adalah nama pena dari Syamsul Bahri Arza. Ia adalah Kepala MTs Al-Hidayah. Putra asli Pelabuhan Dalam Pemulutan ini sekarang berdiam di Desa Keposang Kecamatan Toboali Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Ia bisa dihubungi di syamsulpemulutan81@gmail.com.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
