Goa Tabuhan di Pacitan. | Republika/Prayogi

Safari

Bertamu ke 'Rumah' Purba di Pacitan

Gua di Pacitan terbukti tempat yang nyaman bagi manusia purbakala.

Tak heran para ahli arkeologi dan geologi menduga bahwa puluhan, bahkan sampai ratusan ribu tahun lalu Pacitan adalah 'kota metropolitan prasejarah'. Mungkin jika akal dan ilmu manusia belum sampai mampu membuat rumah, saya pun akan memilih wilayah berhutan, bergua, dan berpantai sebagai tempat tinggal.

Persis seperti di Pacitan. semua kebutuhan dari mulai sandang, pangan, dan papan sudah dapat dipenuhi oleh ketiga unsur itu. Bahkan dengan adanya pantai, unsur hiburan juga turut terpenuhi.

Deretan 40 ribu bukit yang bersatu dalam Gunung Sewu di Pacitan menghasilkan wilayah dan iklim yang menunjang bagi kehidupan manusia praaksara. Jejak peemukiman peradaban manusia purba yang diperkirakan saat itu menghuni Pacitan dalam jumlah ribuan pun masih berdiri sampai saat ini.

Seperti Gua Tabuhan yang saya kunjungi di pusat 'metropolitan masa lampau' itu, yakni Kecamatan Punung. Gua yang terletak di Desa Wareng, Kecamatan Punung, ini merupakan bagian dari Gunung Sewu yang memiliki bukit sebagai atapnya dengan tinggi mencapai 183 meter.

photo
Pegunungan Pacitan. - (Prayogi/Republika)

Berjarak 30 kilometer dari pusat Pacitan, tidak terlalu sulit untuk mencapai gua yang terletak di sebelah selatan kabupaten ini. Sebelum mencapai gua, saya terlebih dulu 'melahap' sekitar 40 anak tangga untuk mencapai mulutnya.

Dengan bantuan senter, saya dibantu salah satu staf penjaga gua, Parwo, untuk memasuki lubang selebar 16 meter dengan tinggi delapan meter ini. Langkah kaki agak terganggu karena hujan yang deras di luar ternyata mampu menembus langit-langit gua yang terbungkus oleh stalaktit.

Jejeran stalaktit ini masih sangat aktif dengan terus meneteskan air dari ujung corongnya. Beberapa titik di dalam gua seluas setengah lapangan bola ini tergenangi air olehnya.

 

Ornamen gua bernada

Menapaki rute gua, di kiri-kanan terdapat bekas galian purbakala puluhan tahun silam. Parwo mengatakan, saat itu ia ikut melakukan penggalian dari ragam benda dan peninggalan purbakala di sini.

photo
Goa Tabuhan. - (Republika/Prayogi)

"Fosil manusia purba juga ada, tulangnya besar-besar. Mereka terkubur bersama dengan alat-alat perkakas seperti kampak batu," kata pria ini.

Sekitar 28 meter kemudian, Parwo menunjukkan hal paling unik dari Gua Tabuhan. Beberapa stalaktit yang berbentuk taring raksasa itu bila ditabuh mengeluarkan suara bernada. Bunyinya sama persis dengan enam kunci nada gamelan jawa.

Keenam stalaktit taring itu berdiri berdampingan dan seolah menjelma menjadi alat gamelan alam. Menurut Parwo, ketika gua ini ditemukan tahun 1822 oleh sesepuh desa bernama Kiai Santiko, jejeran stalaktit yang menggantung dan mengeluarkan bunyi bernada itu sudah ada.

Tak jarang, sejak sebelum diketahui sebagai gua, bukit ini kerap mengeluarkan bunyi gamelan yang membuat warga sekitar kebingungan. Akhirnya, setelah gundukan semak dibereskan, barulah diketahui ada gua di dalamnya, termasuk keajaiban stalaktit bernadanya.

photo
Goa Tabuhan. - (Republika/Prayogi)

"Kalau akhir pekan, ada pemain musin dan sinden yang memanfaatkan gamelan alam ini untuk mentas di dalam gua," kata Parwo.

Melanjutkan perjalanan, air semakin deras memasuki gua dari lubang stalaktit. Stalagmit yang menjorok dari dasar gua juga ikut merepotkan kaki dalam melangkah. Belum lagi ditambah dengan licinnya guyuran air yang membuat langkah kaki harus ekstrawaspada.

Setelah mencapai ujung gua dengan jarak 32 meter dari mulutnya, Parwo mengajak kami ke bagian pangkal gua. Letaknya 40 meter lagi merangsek masuk. Kami pun menerebos melalui lubang berdiamater cukup sempit, kurang dari satu meter dan mendapati suasana yang lebih panas serta lembab dibanding sebelumnya.

Suasana gelap di dalam pangkal gua dengan jarak antara lantai dan langit-langit tak lebih dari 1,5 meter ini berujung pada sebuah lubang di dindingnya. Lubang tersebut dapat diduduki oleh satu orang. Letaknya di tengah pangkal gua yang luasnya sekitar 50 meter persegi.

photo
Cetakan Fosil Manusia Prasejarah dari Gua Tabuhan. - (Republika/Prayogi)

Diyakini, kata Parwo, pada zaman prasejarah, manusia purbakala menjadikan Gua Tabuhan sebagai tempat tinggal mereka selama hidup nomaden di wilayah Pacitan.

Banyak ditemukan fosil-fosil manusia purbakala lengkap dengan alat-alat penunjang kehidupannya membuat dugaan Gua Tabuhan sebagai rumah purba semakin kuat. "Dulu juga ini dijadikan tempat bertapa tangan kanannya Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah Prawirodirjo," kata dia.

Gua lainnya yang menyimpan keindahan serta sejarah purbakala di Punung, Pacitan, adalah Gong di Desa Bomo. Gua Gong sudah mendapatkan sentuhan cantik dari pemerintah setempat. Faktor kunjungan SBY lagi-lagi menjadi penyebab adanya penambahan fasilitas di gua dengan lebar mulut tak lebih dari diameter dua meter itu.

Keindahan Alami

Jajaran stalaktit di langit-langitnya dan stalagmit di lantainya saling menjulang. Dengan ketinggian langit-langit yang mencapai 45 meter, saya merasa sedang memasuki mulut dari sebuah makhluk penuh bergigi batu.

photo
Goa Tabuhan. - (Republika/Prayogi)

Gua ini memilki turunan yang curam. Beruntung, sejak mulai dilakukan pembangunan fasilitas penunjang, seperti tangga dan kipas angin pada tahun 1996, menjelajahi gua ini menjadi cukup nyaman.

Masuk ke ruang utama setelah menjajaki 100 meter perjalanan, barulah saya masuk ke dalam 'ruang' utama dari gua ini. Panjang gua yang mencapai 256 meter berpusat di perut gua yang lapang ini.

Ornamen interior gua terlihat megah nan cantik dengan stalaktit dan stalagmit yang bertemu dan menyatu satu sama lain hingga membentuk pondasi yang disebut column. Pilar alami dengan gaya gotik misterius berwarna hitam putih pucat membuat suhu kian lembab.

Beberapa batuan yang mengeras tampak telah berubah menjadi marmer dan kristal. Tingkat kemarmeran dan kekristalannya, menurut staf penjaga situs Gua Gong, Jemu, telah mendekati sempurna.

"Tinggal menunggu beberapa puluh tahun lagi untuk dapat melihat gua ini menjadi lumbung permata," kata dia.

photo
Batu Serpih dari Gua Tabuhan. - (Republika/Prayogi)

Lainnya yang cantik ketika menuruni gua ini adalah langit-langit gua yang dipenuhi dengan stalaktit yang menyerupai bentuk tirai raksasa. Lapisan tirai tersebut mirip dengan cangkang siput moluska raksasa yang bergelantungan kokoh dihiasi oleh bintik-bintik kristal.

Namun, jujur saja, ketika saya mencoba menabuh tirai batu itu, suara yang keluar lebih kentara mendekati bunyi beduk. Di sepanjang perjalanan menyusurinya, saya juga menemukan ragam endapan air hasil dari tetesan stalakmit.

Penduduk sekitar telah lama memberikan nama pada genangan air yang sudah ditemukan sejak 1924 ini. Runut dari perjalanan menuruni gua gong, nama-nama genangan air itu adalah Sendang Jampi Rogo, Sendang Panguripan, Sendang Relung Jiwo, Sendang Kamulyan, dan Sendang Relung Nisto. Masing-masing sendang dipercaya oleh masyarakat sekitar memiliki kegunaan untuk memperbaiki nasib.

"Itu kepercayaan kami, yang tidak percaya yang tentu saja tidak apa-apa," ujar Jemu.

Jemu bercerita, awalnya gua ini ditemukan oleh Mbah Noyo Semito dan Mbah Joyo. Mereka menghabiskan tujuh ikat daun kelapa kelapa kering untuk dijadikan bahan bakar obor demi menelusuri gua ini.

Saat itu, keadaan desa setempat tengah mengalami kekeringan. "Setelah penemuan itu, hampir 70 tahun kemudian Gua Gong tidak pernah diurus atau dieksplore, hingga disadari keindahannya di tahun 1995," kata Jemu yang warga asli setempat ini. 

Disadur dari Harian Republika edisi 1 Februari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto oleh Prayogi.

Biting Sejarah Majapahit yang Terlupakan di Lumajang

Situs Biting diyakini merupakan awal keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

SELENGKAPNYA

Desa Elok Cikal Bakal Lumajang

Desa Kloposawit tempat cantik yang paling mengesankan kami di Lumajang.

SELENGKAPNYA

Melestarikan Keris di Lumajang

Ada beberapa model keris yang merupakan peninggalan leluhur dari para penghuni Majapahit.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya