
Nasional
Remisi, Kado Menyakitkan Bagi Pemberantasan Korupsi
Para terpidana korupsi ramai-ramai mendapat remisi pada hari kemerdekaan.
JAKARTA — Bebasnya terpidana kasus korupsi E-KTP Setya Novanto melalui mekanisme remisi disebut jadi kado pahit pemberantasan korupsi pada momen perayaan kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini. Selain Setya Novanto, banyak pula terpidana korupsi yang dibebaskan di seantero negeri.
Para mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya peran dalam menjebloskan Setya Novanto ke sel penjara menyatakan kecewa dengan pemberian remisi dan status bebas bersyarat terhadap eks ketua DPR itu. Setya Novanto merupakan narapidana 15 tahun penjara terkait korupsi kakap e-KTP yang merugikan keuangan negara setotal Rp 2,8 triliun sepanjang 2011-2013.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menjalani hukuman sejak 2018, dan pada Sabtu (16/8/2025) dinyatakan bebas bersyarat melalui pemberian remisi HUT Republik Indonesia ke-80 2025. Eks Penyidik KPK Praswad Nugraha mengakui, pemberian remisi, pun status bebas bersyarat memang menjadi hak para narapidana. Dan hak tersebut memang ada aturannya.
Akan tetapi kata dia, rabat hukuman, pun pemberian status bebas bersyarat mengecualikan para terpidana kasus-kasus korupsi. “Untuk tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime, pemberian hak tersebut seharusnya dilakukan dengan sangat selektif dan sangat ketat,” ujar dia, Senin (18/8/2025).
Setya Novanto, menurutnya tak berhak mendapatkan remisi dan status bebas bersyarat tersebut. Melihat, kata dia, kasus korupsi yang menjebloskan Setya Novanto terbilang berat, dan sangat merugikan negara. “Hak remisi dan status bebas bersyarat terhadap Setya Novanto itu membuktikan negara gagal memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi,” kata Praswad.
Kasus yang menjebloskan Setya Novanto ke sel penjara merupakan salah-satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Kasus tersebut menyangkut tentang kerugian keuangan negara mencapai Rp 2,3 triliun. Kasus itu dalam penanganan di KPK pada 2017-2018 lalu. Kata Praswad, vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto pada peradilan tingkat pertama sebetulnya memberikan harapan yang baik untuk memberikan dampak jera terhadap Setya Novanto. Akan tetapi, belakangan harapan tersebut mulai sirna ketika Mahkamah Agung (MA) mulai meringankan hukumannya menjadi 12,5 tahun penjara melalui Peninjauan Kembali (PK).
Selama menjalani pemidanaan di Penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (Jabar) Setya Novanto, pun beberapa kali mendapatkan korting hukuman. Dan puncaknya pada pemberian remisi HUT Indonesia ke-80 yang berujung pada bebasnya Setya Novanto dari pemenjaraan. Meskipun masih status bebas bersyarat, kata Praswad, keringanan hukuman terhadap aktor ‘Kepala Benjol Bakpao’ itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam misi pemberantasan korupsi.
“Akumulasi keringanan yang diterima Setya Novanto berupa remisi, PK, hingga PB berpotensi menciptakan preseden yang buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Praswad. “Masyarakat akan menafsirkan bahwa koruptor kelas berat yang bisa mengakali sistem hukum untuk mendapatkan kebebasan yang lebih cepat,” ujar Praswad. Dari masa pidana dan hingga bebasnya kini, Setya Novanto nyaris hanya menjalani hukuman selama 8 tahun. “Dan ini jelas sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sering digaungkan pemerintah, termasuk oleh Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan komitmennya untuk menindak tegas pelaku korupsi,” kata Praswad.

Menurut Praswad, meskipun pemberian remisi yang berujung pada status bebas bersyarat Setya Novanto tak bisa direvisi. Tetapi ia mengingatkan, bebasnya Setya Novanto tersebut melalui remisi 17 Agustus 2025 merupakan hadiah yang menyakitkan bagi masyarakat yang dirugikan atas perbuatan korupsi yang dilakukan Setya Novanto. “Pembebasan Setya Novanto ini, kado kemerdekaan yang sangat menyakitkan,” ujar Praswad.
Di banyak daerah, terpidana korupsi juga ramai mendapat remisi. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 145 narapidana kasus korupsi menerima remisi atau pemotongan masa hukuman. Kepala Kanwil Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Sulsel Rudy Fernando Sianturi mengatakan jumlah secara keseluruhan narapidana yang mendapatkan remisi sebanyak 5.909 orang.
"Kalau keseluruhan yang menerima remisi sebanyak 5.909 orang. Khusus remisi kasus korupsi itu 145 orang yang menerima," ujarnya dilansir ANTARA. Rudy mengatakan 145 narapidana kasus korupsi itu tersebar di beberapa lembaga pemasyarakatan di Sulawesi Selatan.
Selain terpidana korupsi, 3.133 orang terpidana kasus narkotika juga diberi remisi, dan kasus perdagangan manusia atau human trafficking sebanyak 21 orang. Ia menerangkan remisi yang didapatkan narapidana kasus korupsi itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 dalam pasal 34A ayat (1).

Dalam pasal tersebut diatur soal kemungkinan pemberian remisi bagi “Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya”.
Namun, sedianya ada syarat agar para narapidana kasus-kasus tersebut bisa mendapatkan remisi. Untuk kasus korupsi, di antara syaratnya adalah “Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya” atau “telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan”.
Kepala Kanwil Ditjenpas Jateng Mardi Santoso menyebutkan pada tahun ini ada dua macam remisi yang diberikan, yaitu remisi umum yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus dan remisi dasawarsa yang diberikan setiap 10 tahun sekali.
Di Jawa Tengah, total penerima remisi dasawarsa sebanyak 9.964 orang, terdiri atas 9.871 orang menerima remisi dasawarsa narapidana dan 93 orang menerima remisi dasawarsa anak binaan. Dari jumlah penerima remisi dasawarsa, ada penerima remisi umum sebanyak 8.737 orang, yang terdiri atas 8.668 orang menerima remisi umum narapidana dan 69 orang menerima remisi umum anak binaan.
Ribuan narapidana tersebut berasal dari berbagai golongan tindak pidana, meliputi pidana umum, terorisme, narkotika, korupsi, illegal logging, trafficking, dan money laundry. "Dari jumlah tersebut, ada 173 narapidana dan 1 anak binaan yang langsung bebas melalui Remisi Umum II, serta 147 narapidana bebas lewat Remisi Dasawarsa II," katanya.
Sebanyak 4.366 narapidana di Kalimantan Barat juga memperoleh Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) terkait peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini. Berdasarkan jenis kejahatan, penerima remisi terbanyak berasal dari kasus narkotika dengan 1.271 orang, disusul perlindungan anak 624 orang, pencurian 529 orang, penggelapan 105 orang, serta tindak pidana lainnya seperti korupsi (9 orang), penipuan (47 orang), penganiayaan (52 orang), pembunuhan (26 orang), hingga kasus KDRT (6 orang).
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Medan, Sumatera Utara juga memberikan remisi kepada sebanyak 4.620 narapidana. Kepala Lapas Kelas I Medan Herry Suhasmin mengatakan remisi umum diberikan kepada 2.198 warga binaan pemasyarakatan, dan remisi dasawarsa diperoleh 2.422 warga binaan pemasyarakatan.
"Dari jenis tindak pidana penerima remisi terdiri atas 1.585 kasus narkotika, 20 kasus korupsi, dan 592 kasus pidana umum. Mayoritas terdapat 1.315 orang memperoleh potongan masa pidana lima bulan," kata Herry.
Sementara itu, ujar dia, memperoleh remisi dasawarsa sebanyak 2.422 warga binaan terdiri atas 2.405 penerima remisi dasawarsa I, dan 17 penerima remisi dasawarsa II. "Dari jumlah itu, 1.772 merupakan kasus narkotika, 24 kasus korupsi, dan 626 tindak pidana umum. Sebagian besar 2.403 orang, memperoleh pengurangan 90 hari masa pidana," papar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.