
Safari
Agungnya Kematian di Tana Toraja
Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.
Jenazah Mama Panglaboh sudah setahun terbaring di tongkonan utama keluarganya. Sejak wafat tahun 2013 pada usia 90 tahun, perempuan yang paling dituakan di keluarga bangsawan Suku Toraja ini belum dimakamkan.
Cucu mendiang, Ata Panglaboh, mengatakan, tak lama lagi jenazah neneknya akan segera dimakamkan. "Bulan depan (Desember) jasad nenek akan dikeluarkan dari tongkonan, langsung pesta Rambuk Solo," ujar dia.
Pesta Rambuk Solo yang Ata maksud adalah sebuah upacara adat menghantarkan jiwa dari sanak keluarga yang mati ke khayangan. Dia mengatakan, dalam hidup ini, masyarakat Toraja meyakini bahwa sebetulnya orang yang telah wafat belum sepenuhnya mati.
Untuk itu, sebelum dimakamkan, jasad masih disimpan di tongkonan untuk diperlakukan laiknya manusia hidup. Baru setelah seluruh persiapan Rambuk Solo rampung, jenazah akan dimakamkan. Itu pun setelah melewati sejumlah prosesi yang dilangsungkan berhari-hari lamanya. "Tanggal 10 Desember kami gelar pesta untuk persembahan terakhir kami buat nenek," ujar Ata.

Ata mengatakan, ragam persiapan guna memberikan persembahan penghantar neneknya ke alam baka terus dilengkapi. Sejumlah tongkonan dan tempat menyimpan jasad selama pesta Rambuk Solo yang disebut Lakian tengah dibangun megah di pelataran halaman kompleks permukiman keluarga Ponglabah.
Tak hanya itu, lebih dari 24 kerbau hitam siap untuk dipotong dalam rangkaian acara tersebut. Kerbau yang dalam bahasa Toraja disebut tedong adalah simbol kemakmuran. Siapa yang sanggup memotong kerbau minimal 24 ekor dalam satu pesta kematian, maka laik menyandang status terhormat di Suku Toraja.
"Juga ada kerbau belang, harga satunya bisa setengah miliar, keluarga sudah siapkan sekarang disimpan di kandang," ujar wanita 39 tahun ini.
Di lokasi berdirinya tongkonan-tongkonan keluarga Ponglabah, tampak pembangunan sedang gencar dilakukan. Tak hanya tongkonan, Alang pun ikut dibangun massal oleh keluarga asal Kecamatan Sa'dan, Toraja Utara, Sulawesi Selatan ini. Sekitar ada lima sampai enam bangunan berbahan kayu sedang sibuk para pekerja bangun.

Rencananya, keluarga Panglaboh akan mengadakan pesta tujuh hari suntuk sebelum melepas sang nenek dimakamkan di sebuah gua tak jauh dari kediaman mereka. Entah berapa alokasi dana yang disiapkan oleh keluarga ini untuk bisa mempersiapkan itu semua. Ata yang disinggung soal ini pun sungkan membeberkan informasi berapa jumlah uang yang sudah dihabiskan keluarganya.
"Wah kalau itu urusan keluarga saja ya, hehe," kata dia.
Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulsel Joni Lisungan menjelaskan, biaya untuk mengadakan pesta seperti ini dikumpulkan dari setiap sanak keluarga yang masih terikat marga. Sukarela tanpa dikenakan patokan, berapa pun akan diterima oleh anggota keluarga inti mendiang.
Namun, meski mendapat bantuan sukarela, masyarakat suku Toraja memiliki sebuah buku catatan khusus yang mencatat setiap penerimaan bantuan. "Kami akan dengan sangat hafal, si A kasih apa si B kasih apa, itu kami catat," kata putra daerah Tana Toraja ini.
Joni juga memastikan bahwa nilai kedatangan seseorang dalam sebuah pesta kematian akan sangat berharga bagi keluarga mendiang. Dia berujar, norma dan budaya Toraja menolerir bila ada sejumlah pihak yang dikenal tak datang dalam pesta bahagia seperti perkawinan.

Tapi, tidak untuk pesta kematian. Seluruh sanak keluarga harus berkumpul dan mereka yang mengenal keluarga mending wajib datang agar tak dianggap tidak menghargai.
Menurut Joni, pandangan ini terbentuk karena persiapan sebuah pesta kematian bukan perkara mudah. Sebuah keluarga bisa menunggu puluhan tahun hingga dana terkumpul untuk melaksanakan pesta. Belum lagi penentuan tanggal pemakaman yang disiapkan matang-matang agar semua sanak keluarga bisa berkumpul, semua disiapkan terinci. "Sehingga, kalau ada yang tidak datang, kami bisa tersinggung," kata Joni.
Menyusuri Gua Londa
Duarrr, suara ledakan rendah dan kilatan cahaya putih mengagetkan kami yang saat itu tengah menyusuri gua gelap di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Sontak, segelintir dari kami yang saat itu berjumlah 10 orang berteriak kaget.
Suara itu berasal dari meledaknya lampu kilat kamera SLR yang dipegang oleh salah seorang dari kami. Gua ini bukan sembarang gua.

Terowongan gelap nan hening yang berisi peti-peti mati dengan jenazah di dalamnya ini membuat suara apa pun mampu ditangkap telinga dengan peka. Sontak, kami pun terdiam sesaat setelah ledakan terdengar. Beberapa lainnya menggerutu meminta agar peserta tersebut meletakkan kameranya di dalam tas.
"Permisi dulu ih, mungkin tadi enggak, jadi seperti itu," ujar peserta lainnya.
Ya, rasanya berjalan-jalan di pemakaman umum siang hari yang jauh dari keramaian saja sudah tegang. Tapi di sini, tempat bernama Londa, adalah gua pemakaman adat suku Toraja. Kami menyusuri gelapnya gua sepanjang 40 meter hanya dengan bantuan lampu petromak yang disediakan oleh warga setempat di mulut gua.
Lando terletak sekitar 7 kilometer dari Kecamatan Rantepao. Menurut warga setempat yang memandu kami, Vales, gua ini adalah bagian dari bukit pemakaman milik keluarga bangsawan Toraja, bermarga Tolengke.
Tidak ada bukti tertulis yang memastikan kapan bukti setinggi 80 meter dengan gua di dalamnya ini pertama kali digunakan sebagai pemakaman. "Yang di dalam gua ini rakyat biasa, yang di dinding bukit nah itu baru bangsawan keluarga Tolengke," kata Vales sembari menjaga api petromaknya tak padam.

Sesaat setelah ledakan itu, nyali kami tak lantas ciut. Terus merangsek masuk untuk mengetahui seperti apa suku Toraja memakamkan keluarganya. Ternyata rute untuk terus ke dalam semakin berat dan kian sempit, hanya cukup untuk dua orang saja melintas sejajar.
Kadang kami harus melompat menghindari lubang terjal, lalu tiba-tiba merunduk karena jalan berubah menjadi lubang berdiameter sekira satu meter. Pemandangan tak nyaman mulai terlihat saat mendekati pangkal gua. Tengkorak dan tulang belulang manusia berserakan, di mana-mana.
Menurut Vales, itu adalah kerangka para jenazah yang peti matinya sudah hancur lebur. Usia mereka yang sudah tak 'berpeti' ini bisa mencapai ratusan tahun.
Tumpukan peti-peti mati memenuhi dinding gua. Ada yang digantung, ada yang tergeletak, semua jujur saja, bergeletakan tak keruan. Uniknya, banyak sekali botol minuman ringan bahkan bir yang juga tergeletak di samping jenazah dan tulang belulang kuning itu. Tak ketinggalan, batangan rokok utuh juga berserakan di lokasi. Bahkan, lembaran dan kepingan koin uang pun saya lihat di sekitar tengkorak.
"Ini sesajen, persembahan buat mereka di alam sana," ujar pemuda legam ini.

Kisah cinta duka
Sampai di ujung gua, ternyata masih ada celah yang bisa dilalui. Vales berujar rute ini tembus hingga ke mulut gua seberang. Tapi, kami tak mencobanya, karena memang tak mungkin melewati jalur sempit tersebut tanpa keahlian.
Sesaat saat kami akan memutar arah, Vales menunjuk dua pasang tengkorak yang terbaring berdampingan. Dikisahkannya, dua bekas kepala manusia itu dulunya adalah sepasang kekasih yang tak direstui hubungannya.
Dua sejoli ini lalu ditemukan tewas pada 1972 tak jauh dari tongkonan keluarga mereka. Menurut cerita, keduanya gantung diri karena tak ingin dipisahkan. "Mereka masih sepupu, jadi dilarang untuk melanjutkan hubungan," kisah dia.
Kami yang mendengar cerita ini terenyuh. Tak seorang pun berani mengambil gambar dari dua sejoli tersebut.
Boneka orang mati
Di luar gua, terdapat peti-peti mati yang konon sudah berusia ratusan tahun. Bentuknya mirip tongkonan. Tepat di sisi kiri mulut gua Lando, terpajang beberapa tiruan fisik dari orang-orang yang sudah dimakamkan di bukit ini.

Mereka yang dibuatkan tiruannya adalah orang-orang terpandang semasa hidupnya. Dibuat dari kayu pohon nangka, rupa dan fisik dari boneka itu benar-benar mirip manusia, lengkap dengan pakaiannya.
"Itu tau-tau namanya, bentuk penghargaan dari keluarga untuk sesepuh yang sangat dihormati," ujar Vales.
Di bukit inipun terdapat lubang-lubang di dindingnya. Lubang-lubang tersebut tampak ditempatkan peti-peti mati juga. Masyarakat suku Toraja percaya, semakin tinggi derajat seseorang maka harus kian tinggi pula tempat perisitirahatan jasadnya.
Terlihat di puncak bukit sebuah peti mati terbaring dengan perlindungan atap seng di atasnya. Lantas timbulah pertanyaan, seperti apa cara memindahkan peti-peti mati ini dari bawah ke dinding-dinding bukit?
Vales menjelaskan, ketika upacara Rambuk Solo mencapai puncaknya, peti berisi jenazah itu diikatkan dengan tali melingkar. Beberapa anggota keluarga lalu memanjat hanya dengan sebatang bambu yang sudah terpasang kuat di dinding bukit. Setelah mereka sampai di titik tempat jasad dimakamkan, peti yang sudah terikat tali itu lalu ditarik perlahan hingga sampai ke tangan mereka.

"Peti lalu disimpan rapi, setelah selesai, mereka turun. Semua dilakukan oleh sanak keluarga," ujarnya.
Jenazah Bangsawan Rutin Ganti Pakaian
Tiga tahun sekali, jenazah-jenazah yang ada di dinding-dinding bukit itu diturunkan untuk menjalani ritual rutin di bulan Agustus. Jasad-jasad yang sudah diawetkan ini mendapatkan baju baru setelah tiga tahun lusuh terkena hujan tertimpa sinar surya.
Ritual ini disebut Ma'nene. Umumnya dilakukan oleh suku Toraja pedalaman. Prinsip dari ritual ini ialah untuk tetap menghormati leluhur dengan merawat jasadnya meskipun telah mati.

"Sebagian percaya bahwa arwah yang jasadnya dirawat akan membantu nasib mereka yang masih hidup," kata Vales.
Ritual Ma'nene erat kaitannya dengan hasil panen. Oleh karena itulah, diadakan setiap Agustus setelah panen raya selesai. Para jasad leluhur diberi baju baru sebagai bentuk terima kasih karena telah ikut membantu hasil panen yang baik dan melimpah.
Disadur dari Harian Republika edisi 23 November 2014 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi.
Brankas Sejarah Bernama Pacitan
Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu.
SELENGKAPNYABertamu ke 'Rumah' Purba di Pacitan
Gua di Pacitan terbukti tempat yang nyaman bagi manusia purbakala.
SELENGKAPNYAPacitan Kota Purba ‘Metropolitan’
Manusia purbakala Pacitan mampu melewati ragam masa kehidupan.
SELENGKAPNYA