
Safari
Keindahan Bernama Tana Toraja
Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.
Saya pandangi ransel gunung di dekat saya. Isinya penuh dengan rupa-rupa pakaian antigigil. Teringat lagi saya pada pesan ibu. ''Di sana itu dingin,'' katanya lewat telepon begitu tahu saya berangkat ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Saran yang masuk akal. Berbagai literatur menyebutkan kawasan Toraja memang bersuhu antara 18 sampai 21 derajat Celcius, cukup dingin. Namun, saat memasuki Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, hari itu suhu terasa cukup panas. Percuma rasanya saya seharian menenteng tas seberat 11 kilogram.
Rasa kecewa itu tersapu pemandangan yang menyergap bola mata saya. Deretan rumah adat yang tinggi menjulang menyambut perjalanan selama delapan jam dari Kota Makassar. Menyusuri jalan Rantepao naik hingga utara mendekati pegunungan setempat, rumah-rumah di sepanjang jalan ini memiliki atap seperti tanduk kerbau, melengkung.
Seorang pemerhati adat Toraja yang saat itu saya kenal sejak mendarat di Makassar, Joni Lisungan, mencoba memberikan pencerahan. "Itu bukan rumah, kami menyebutnya tongkonan," ujar putra asli daerah Toraja ini.

Joni menjelaskan, tongkonan berasal dari kata dalam bahas Suku Toraja, tongkon, yang artinya duduk bersama-sama. Bangunan yang terbuat dari kayu dengan gaya rumah panggung ini digunakan masyarakat adat sebagai tempat melakukan diskusi sosial.
Sekalipun ringan isunya, para sesepuh Tana Toraja tak akan merundingkannya di warung kopi, tapi di tongkonan. Menurut Joni, masyarakat Toraja percaya bahwa tongkonan dibangun pertama kali di surga. Dari kisah tongkonan ini pulalah, norma, adat, dan nilai Suku Toraja asli terbentuk.
"Kami orang Toraja selalu menomorsatukan kepentingan keluarga dan tongkonan menjadi tempat kami membicarakan semuanya, termasuk aturan," kata Joni yang juga peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulsel ini.
Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula. Dahulu kala, kata Joni, ketika leluhur Suku Toraja turun ke bumi, mereka mencoba membangun rumah yang sama seperti di surga.

Ragam upacara besar dengan diisi persembahan puluhan kerbau atau tedong, babi, dan ayam pun digelar seiring dengan pembangunan tongkonan. Tujuannya, sebagai bentuk permintaan izin kepada Sang Maha Kuasa agar bangunan surga boleh didirikan di dunia.
Dari sinilah, apapun peristiwa yang dirasa Suku Toraja penting, wajib diadakan upacara guna mendapat restu Ilahi. "Dan, dalam setiap upacara, harus ada tedong bonga (kerbau belang) yang disembelih," kata Joni.
Kerbau, bagi masyarakat Toraja adalah hewan mewah yang menyimpan banyak daging sebagai asupan makanan. Maka, tak heran di setiap upacara adat kerbau menjadi simbol status kemakmuran sebuah keluarga.
Keluarga mana yang bisa mempersembahkan banyak kerbau dalam upacara adat maka mereka dianggap sebagai bangsawan. Atas status sosialnya ini, mereka layak menduduki strata tertinggi di sistem adat Toraja.

"Para bangsawan ini lalu memajang tanduk-tanduk kerbau hasil sembelihan mereka di muka tongkonan," kata Joni. Keluarga yang memajang deretan tanduk kerbau paling banyak pada tongkonan-nya, biasanya memiliki pengaruh besar dalam kehidupan adat.
Datang dari surga
Bersama rombongan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, saya bermalam di Rantepao. Joni memberi rekomendasi sejumlah orang dan tempat yang "wajib kunjung". Frederik Buntang Rombelayuk adalah orang yang penting saya hubungi untuk mengenal masyarakat Toraja lebih dalam.
Buntang adalah sesepuh Toraja yang ternyata juga menjabat wakil bupati. Pria berperawakan tinggi besar ini menjelaskan bahwa masyarakat Toraja meyakini mereka berasal dari surga dan turun ke sebuah pulau bernama Lebukan. Secara bertahap, leluhur Toraja menyeberang ke Pulau Sulawesi dengan perahu. Mereka kemudian menempati Danau Tempe. Mereka yang berdiam di danau ini lantas tumbuh berkembang menjadi Suku Bugis.
"Sebagian pergi ke Utara dan menetap di Gunung Kandora dan di daerah Enrekang, Toraja, inilah nenek moyang kami," ujar Frederik di rumahnya di Rantepao.

Saat ini, kata Buntang, seperti yang suku-suku lain lakukan, generasi muda Suku Toraja sudah mulai meninggalkan kampung halaman. Mereka mencari peruntungan di tempat lain untuk mengumpulkan biaya guna memenuhi kebutuhan orang tua dan keluarga di Tana Toraja.
Mereka yang sukses di Makassar, Pulau Jawa, Bali, hingga Papua akan kembali suatu saat nanti ketika ada upacara adat pemakaman. "Hukumnya wajib untuk datang dengan membawa modal untuk bahan upacara," ujarnya.
Beda Wilayah, Beda Kepemimpinan
Tana Toraja terbagi dalam sistem federasi pemerintahan adat dalam lima wilayah, yakni Makale, Sangala, Mengkedek, Rantepao, dan Toraja Barat.
Di tiga daerah pertama, para strata bangsawan penyandang tampuk kekuasaan disebut puang. Dalam sistem pemerintahan adat ini, hanya bangsawan yang dapat menjadi pemimpin. Sedangkan, di Rantepao yang dipimpin parengi dan Toraja Barat oleh ma'dika, mereka yang berasal dari kalangan bawah dapat menduduki posisi pimpinan.

"Kasta tertinggi itu ada Tana' Bulaan, runut ke bawah, Kasta Tana' Bassi, Tana'Karurung, dan Tana' Kua-kua," kata Frederik Buntang Rombelayuk, sesepuh Suku Toraja.
Ada Budaya Pesta, Jadi Serbasalah…
Ada berbagai pesta dihelat masyarakat Toraja. Wakil Bupati Kabupaten Toraja Utara sekaligus tokoh Suku Toraja terkemuka setempat Frederik Buntang Rombelayuk mengakui bahwa Toraja patut berbangga karena dalam mengadakan pesta kematian pun, sebuah keluarga bisa menggelontorkan dana hingga miliaran rupiah.
Namun sayang, dia memastikan bahwa setiap gelaran pesta yang dihelat tidak memberikan dampak berarti bagi masyarakat setempat. Selain makan-makan gratis dari hasil pemotongan kerbau, babi, dan ayam, tak ada pemasukan signifikan bagi daerah. "Paling-paling, kita ambil dari pajak hewan, kerbau-kerbau itu juga hanya kena Rp 700 ribu satunya," kata Buntang.

Padahal, kata dia, masyarakat Suku Toraja di Toraja Utara sudah menghamburkan uangnya untuk membeli kerbau-kerbau itu dari daerah lain seharga ratusan juta. Bahkan, tak hanya kerbau, mulai dari beras, sayur-sayuran, daging ayam, telur, pakan ternak semua diimpor dari kabupaten tetangga.
Di sisi lain, Buntang mengklaim, pemerintah kabupaten setempat telah melakukan ragam sosialisasi agar masyarakat mau memberdayakan diri. Dimulai dengan bercocok tanam dan berternak agar saat pesta digelar, uang yang dihamburkan tak lari kem ana. "Serbasalah memang, budaya pesta dipertahankan boros, tapi bila tidak, ini soal warisan adat. Ini jati diri kami," kata dia.
Disadur dari Harian Republika edisi 23 November 2014 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Brankas Sejarah Bernama Pacitan
Di desa kecil ini, Sudirman yang terkenal dengan kejeniusan taktik perangnya pernah menghabiskan waktu.
SELENGKAPNYABertamu ke 'Rumah' Purba di Pacitan
Gua di Pacitan terbukti tempat yang nyaman bagi manusia purbakala.
SELENGKAPNYAPacitan Kota Purba ‘Metropolitan’
Manusia purbakala Pacitan mampu melewati ragam masa kehidupan.
SELENGKAPNYA