
Safari
Menjenguk Kuningan Purba
Di situs Cipari kami bisa memperkirakan kegiatan “warga” Kuningan purba.
Masuk ke dalam gang di sebuah pemukiman padat di Cipari, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, saya tak pernah menyangka di balik deretan rumah-rumah modern ini berdiri sebuah “kompleks” yang terlihat asing. Lokasinya cukup jauh dari pusat kota, sekitar 20 menit dengan menyusuri Jalan Linggarjati.
Bernama Taman Purbakala Cipari, di tengah padatnya Kabupaten Kuningan, deretan batu-batu warna abu tua itu berjajar rapi. Konsep tata letaknya seperti pernah ada sebuah pusat peradaban berdiri di lahan seluas 3.000 meter persegi itu. Masuk melalui sisi utara, saya melihat deretan batu tertancap melingkari sebuah hamparan lapang berdiameter 10 meter.
Pada titik tengah lapangnya, ada satu batu besar berdiri sendiri di landainya tanah basah tersebut. Persis seperti tata letak dalam sebuah kegiatan api unggun pramuka.
Awalnya saya kira ini adalah susunan batu-batu yang digunakan untuk kegiatan pencinta alam. Namun, dari tatanan dan pembagiannya tampak batu-batu purbakala ini dulunya dibangun oleh masyarakat lampau untuk satu maksud.

“Kompleks bebatuan ini merupakan pusat peradaban dari masyarakat yang dulu hidup di sini, diperkirakan pada akhir era Neolitikum menuju masa batu perunggu,” ujar Suma, petugas juru pelihara situs tersebut.
Peti batu
Bersama Suma dan seorang teman, saya berkeliling kompleks menapaki jalan berbatu untuk melihat setiap seluk-beluk situs ini. Suma menjabarkan bahwa lapangan berbatu yang tadi saya perhatikan adalah tempat masyarakat lampau penghuni lokasi ini bermusyawarah. Batu yang di tengah, ditengarai tempat duduk pimpinan kelompok sebagai pusat dari segala pencipta keputusan.
Dari lapangan yang dilingkari batu, bergeser dua meter ke kiri, Suma menunjukkan bangunan batu yang tersusun dengan gaya punden berundak.
Diyakini bangunan dari tumpukan batu pipih dan bulat ini dulunya dijadikan altar pemujaan oleh masyarakat prasejarah tersebut. Menaiki beberapa tangga ke punden berundak itu, saya dapat meraba kokohnya batu berlumut yang menempel di puncak altar.

Bersebelahan dengan lapangan berbatu melingkar, ada sebuah susunan batu yang menyerupai peti mati. Peti itu terdiri dari lima batu pipih sepanjang dua meter dengan tinggi setengah meter, empat di antaranya berdiri menjadi sisi, sedangkan satu yang terbaring sebagai dasar. Suma mengatakan, susunan dari peti ini adalah yang peninggalan paling orisinil dari deretan bebatuan lainnya di kompleks purbakala itu. “Ini satu-satunya susunan batu yang saat ditemukan masih kokoh dan rapi. Kalau lapang batu dan punden tadi sudah roboh saat ditemukan lalu disusun lagi pada 1972,” kata Suma.
Peti kubur batu ini diyakini merupakan tempat pemakaman orang penting pada peradaban ribuan tahun lalu itu. Sebuah praduga yang itu belum dapat sahih terbukti. Pasalnya, ketika peti ini digali tidak ditemukan ada jasad di dalamnya.
Pahatan Halus
Tetapi, ada beberapa macam alat perkakas, seperti kampak perunggu dan perhiasan batu kalsedon dan kuarsa ditemukan di dalamnya. Menilik dari kualitas perhiasan berbentuk gelang yang pahatannya sangat halus ini, diindikasikan pemiliknya bukanlah orang sembarangan. Sehingga, perhiasan bernilai tinggi ini ikut dikuburkan dengan jasad empunya.
Namun, tutur Suma, tingkat keasaman tanah di kompleks ini sangat tinggi sehingga menyebabkan jasad manusia habis tak bersisa setelah dikuburkan dalam waktu lama. Berbeda dengan bebatuan yang memiliki unsur dan struktur yang lebih keras sehingga tetap bertahan meski terkubur ribuan tahun.

Suma menjelaskan, menilik dari generalisasi kehidupan pada era Neolitik, diyakini peti mati batu ini sangat disakralkan pada masanya. Titik berdirinya peti mati ini pun sesuai dengan nilai kepercayaan yang diyakini saat itu. Dengan orientasi ke timur laut dan barat daya, ini menggambarkan konsep kekuasaan alam, seperti matahari dan bulan yang menjadi pedoman hidup mereka.
“Masyarakat neolitik sudah percaya roh nenek moyang dan meyakini bahwa hidup mati sesuai dengan terbit dan tenggelamnya matahari serta bulan,” kata Suma.
Cerita tentang Sebuah Peradaban Tua
Saat ditemukan pertama kali oleh warga sekitar bernama Wijaya pada 1971, kompleks Taman Purbakala Cipari tertimbun di bawah tanah sedalam dua meter. Diduga kuat, saat itu terjadi bencana alam akibat letusan Gunung Ciremai yang mengubur peradaban masyarakat di lokasi ini. Itu terbukti dengan ditemukannya kerangka rusa-rusa di sini yang diperkirakan lari dari Gunung Ciremai menuju daratan rendah untuk menghindari letusan.
“Saat itu, sebenarnya yang pertama kali ditemukan bukan kompleksnya, tapi peti kubur yang orisinal itu. Pas dibuka petinya, banyak perkakas batu dan perunggu di dalamnya,” kata Suma.

Sejak tahun penemuan tersebut, pada 1972 dilakukanlah penggalian total dan kompleks terkubur ini pun kembali dibangkitkan. Dari penggalian setahun penuh hingga selesai ditata ulang pada 1976, ditemukan rupa-rupa perkakas berkualitas tinggi. Kualitas di sini, kata Suma, ditentukan dari tingkat ketelitian dan kerapian dalam membuatnya.
Untuk melihat karya masyarakat prasejarah Kuningan ini, Suma mengajak saya melihat koleksi-koleksi yang ditemukan dari situs purbakala di sebuah gedung. Bangunan dengan luas 30 x 10 meter ini merupakan museum yang satu lokasi dengan kompleks Taman Purbakala Cipari.
Di dalamnya terdapat ragam kotak peragaan yang berisikan rupa-rupa barang purbakala. Sedikitnya, ada tujuh belas jenis perkakas yang berhasil digali dari kompleks masa lalu ini. Ada kapak batu, gelang batu, kapak perunggu, gelang perunggu, lumping batu, batu obsidian, hematit, batu bahan, bulatan tanah, kendi, pendil, jembaran, kekeb, bokor, cangkir, dan tempat sayur.
Kecuali gelang, kesemuanya merupakan perkakas yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari. Tapi, ada satu yang sangat menarik perhatian. Akal sehat saya masih belum bisa meraba bayangan sedikitpun cara pembuatan gelang semulus itu, seperti terbuat dari plastik. Dari gelang berdiameter 8 cm dengan lebar 3 cm itu terlihat kilauan di dalamnya. Ada serat merah yang menjadi motif dari gelang tersebut. Serat yang tampak dari gelang warna kuning itu membias persis seperti penampakan aurora merah dan ungu di langit.

“Kami juga masih heran, pakai teknik apa masyarakat dulu bisa membuat batu kalsedom dan kuarsa menjadi gelang seindah ini, kalau zaman sekarang kan paling dicetak,” ujar Suma.
Suma yakin, masyarakat yang hidup di lokasi sekitar 1.000 sebelum Masehi (SM) sampai 500 SM ini tersebut dahulunya memiliki peradaban yang maju. Dengan susunan kompleks batu yang menginterpretasikan adanya sebuah kehidupan sosial dan keagamaan aktif, diduga kuat masyarakat Neolitik menuju perungggu ini merupakan asli Kuningan.
Hal itu kemudian ditelusuri dan coba dibuktikan dengan banyaknya ragam peninggalan peti kubur serupa yang tersebar di kabupaten kecil ini. Meskipun sebagian besar sudah tak diketahui nasib keutuhannya, banyaknya desain serupa dari peti kubur itu diyakini berasal dari masyarakat maju yang sama.
Suma menjelaskan, peninggalan bebatuan purbakala sebelum Masehi pernah diketahui menyebar di sejumlah wilayah di Kuningan. Seperti di Kecamatan Pasawahan, Japara, Kramat Mulya, Kuningan, Cigugur, dan Pancalang. Akan tetapi, menurut Suma, beberapa peninggalan dibawa ke Museum Sri Baduga di Kota Bandung, Jawa Barat.

"Masyarakat purbakala di Kuningan sudah tergolong Homo Sapiens, jadi diperkirakan memiliki pemikiran dan keahlian yang maju,” kata Suma.
Dari Kuningan, mereka lalu menyebar ke sejumlah daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Beberapa kelompok lainnya, kata Suma, diduga menyeberang laut hingga ke pulau-pulau terdekat, seperti Kalimantan dan Madura.
Kepala Seksi Sejarah dan Budaya Disparbud Kuningan Ritto mengakui tak menutup kemungkinan Taman Purbakala Cipari merupakan satu-satunya tempat paling tua di Kuningan. Klaim ini, kata dia, berdasar pada catatan sejarah kabupaten ini yang menyebut banyak peradaban kuno dimulai dari lereng dan kaki-kaki Gunung Ciremai.
Wilayah Cipari yang memiliki tinggi 661 meter dari permukaan laut memiliki suhu yang cukup dingin bagi kaum Homo Sapiens di Tanah Pasundan. Dengan tanah yang subur, keyakinan bahwa wilayah Cipari adalah cikal bakal dari kehidupan di Kuningan semakin menguat.
“Tapi, tentu saja semua masih sebatas teori. Meski demikian, setidaknya sampai saat ini hanya Cipari yang menyimpan kompleks purbakala selengkap itu,” ujarnya, “Sebuah bukti pernah adanya sebuah peradaban.'”
Disadur dari Harian Republika edisi 18 Januari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto Yasin Habibi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Keindahan Bernama Tana Toraja
Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.
SELENGKAPNYADeretan Rumah Sakral Toraja
Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.
SELENGKAPNYAAgungnya Kematian di Tana Toraja
Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.
SELENGKAPNYA