Gunung Tilu, di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. | Republika/ Yasin Habibi

Safari

Perjuangan di Gunung Tilu, Kuningan

Untuk menjangkau situs batu naga ini, medan yang kami lalui ternyata tak main-main.

Medannya sungguh menantang. "Pak, buatin saya tongkat, Pak" kalimat yang dilontarkan rekan saya ini memecah konsentrasi kami berempat saat mendaki Gunung Tilu. Gunung kedua tertinggi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Kuningan bukan hanya memiliki Ciremai, ada satu gunung lagi terletak di kabupaten yang berbatasan dengan Jawa Tengah ini. Gunung Tilu namanya. Dengan tinggi 1.076 mdpl sejatinya Gunung Tilu adalah pegunungan. Dengan namanya dalam bahasa Sunda "tilu" yang artinya "tiga" , gunung ini memang memiliki tiga puncak. Sukmana, Tilu, dan lainnya yang belum bernama.

Pada pagi yang mendung itu, saya bersama rekan Yasin Habibi, didampingi dua pemandu warga lokal, Dusun Banjaran, Kecamatan Karang Kancana, tempat Gunung ini berdiri mencoba menjangkau salah satu puncaknya. Puncak anak Gunung Tilu itu, Tilu, merupakan tempat berdirinya sebuah batu purbakala yang masih menyimpan misteri di kalangan arkeolog.

Untuk ikut merasakan misteri batu tersebut, saya mendaki selama lebih kurang empat jam dari kaki gunung yang berada di ujung timur Dusun Banjaran.

photo
Dusun Banjaran, Desa Jabranti, Kuningan, Jawa Barat. - (Republika/ Yasin Habibi)

Di tanah, serakan pohon bambu meninggalkan duri-duri tajam. Beruntung, sandal gunung yang membungkus kaki saya cukup melindungi. Ditambah kaus kaki tebal setinggi betis, 15 menit pertama masih terasa mudah.

Tapi, cerita berubah tak keruan setelahnya. Sinar mentari cerah pagi itu 'menipu' rasa percaya diri kami. Pasalnya, semalam sebelum kami mendaki, hujan mengguyur wilayah tersebut hingga menyebabkan longsor di beberapa bagian lereng.

Gunung itu belum memiliki jalur khusus pendakian. Para pemandu kami harus rajin membabat semak dan ranting, bahkan runtuhan batang pohon yang menghalangi. Momen permintaan dibuatkannya tongkat pun tak lepas dari lelahnya kami mendaki ditambah harus menahan kaki di ketinggian ketika menunggu semak dibabat.

Dengan kecuraman yang hampir 80 derajat, persendian kaki ini terasa pegal meski sebelumnya kami sempat melakukan pemanasan di rumah Kepala Dusun setempat, Rusdiana.

photo
Jalan yang rusak menuju Dusun Banjaran, Desa Jabranti, Kuningan. - (Republika/ Yasin Habibi)

Sebatang tongkat telah ada di tangan kami. Dibuat dari batang ranting pohon kiara, masing-masing sepanjang satu meter dengan berat yang cukup ringan.

Yasin tak bisa lagi menahan napasnya untuk segera beristirahat. Beban tumpukan kamera dengan ragam lensa yang memenuhi tas punggungnya membuat ia kelabakan.

Lima menit dari titik kami memohon dibuatkan tongkat, istirahat pertama dimulai. Kami pun sampai di 'pos satu'. Pos pertama ini bukan seperti tempat singgah yang dibayangkan. Gunung Bromo dengan pos-pos peristirahatannya ibarat hotel berbintang di hadapan pos yang kami singgahi ini.

Pos pertama ini tak lebih dari hamparan tanah landai selebar 2 meter x 2 meter. Berada di tengah tanjakan dan turunan Gunung Tilu yang curam, cukup teduh dan nyaman untuk menikmati waktu istirahat kami. Sebatang pohon besar yang tumbang membuat tanah rata ini memiliki bangku dadakan tanpa sandaran. Sudah, hanya itu fasilitas di 'pos satu'.

photo
Patok batas Jawa Tengah dan Jawa Barat, di Gunung Tilu. - (Republika/ Yasin Habibi)

Tapi sungguh, semakin sulit rute, justru batin terasa kian tertantang. Ditambah lagi, Pak Im, salah seorang di antara pemandu kami mengatakan bahwa dalam satu tahun bisa dihitung jari, berapa manusia yang mendaki pegunungan tak aktif ini. "Terakhir tiga bulan lalu ada yang naik, tapi karena hujan itu juga balik lagi. Heran memang, waktu kemarau tidak ada yang naik, justru musim penghujan malah ada yang ingin," ujarnya.

Dua jam perjalanan, tepatnya pada pukul 09.00 WIB, mental kami mulai goyah. Dalam hati tertambat, "Ini terlalu riskan untuk diteruskan sementara rutenya saja tidak ada," batin saya.

Setelah melahap ratusan meter tanjakan, kami mulai dibuai dengan sebuah turunan. Tapi tak lama, setelahnya tanjakan kembali terjal dengan reruntuhan batang pohon menghalangi.

Terhitung, ada lima batang pohon yang merintangi rute kami saat itu. Semuanya membuat langkah kami harus jungkir balik. Di tengah tanjakan, saya harus melompat sambil menggenggam batang pohon tumbang dengan tetap menjaga keseimbangan agar tidak terjungkal.

photo
Perjalanan menuju Batu Naga di Gunung Tilu, Kuningan, Jabar. - (Republika/ Yasin Habibi)

Di kiri-kanan ada pepohonan kiara menjulang yang memang meneduhkan, tapi itu justru membuat suhu semakin dingin. Cahaya matahari malu-malu untuk menyirami kami yang setengah tunggang langgang berburu waktu menghindari kecemasan akan turunnya hujan.

Tiga perempat perjalanan, setelah mengecap tiga kali istirahat di beberapa 'pos'-nya, kami sampai di titik bernama Pojok Tilu. Di sini, ada sebuah tembok setinggi satu meter berbentuk kubus dengan lebar 30 sentimeter. Tugu kecil ini merupakan pembatas wilayah Kuningan, Jawa Barat, dengan Brebes, Jawa Tengah. Penanda batas ini berdiri di tengah semak belukar hijau.

Setelah melahap seribu meter tanjakan curam, saya dan ketiga lainnya nyaris sampai di situs batu purbakala Gunung Tilu. Hawa tak nyaman langsung menyempitkan nyali. Rasanya seperti masuk ke rumah orang lain yang sudah lama ditinggalkan tak dihuni.

Benda-benda menarik

Puncak Gunung Tilu datar dengan tanaman pakis mengitari. Gumpalan awan yang dalam perjalanan awal kami lihat dari kaki gunung seakan menyelimuti puncak, kini menutupi pandangan ke langit. Awan itu bergerak menabrak pohon-pohon sehingga menciptakan gesekan angin yang bergemuruh.

photo
Perjalanan menuju Batu Naga di Gunung Tilu, Kuningan. - (Republika/ Yasin Habibi)

Di tengah puncaknya, berdiri dua buah batu mencekung saling berhadapan satu sama lain. Berwarna abu kehitam-hitaman, beberapa bagiannya tertutup lumut-lumut hijau.

Sebelum menuju lokasi batu yang terlihat dari jarak 50 meter itu, di sisi utara, terdapat pula benda-benda yang menarik perhatian saya. Setidaknya ada tiga batu yang menyambut kedatangan kami sebelum menginjakan kaki ke pusat puncak Gunung Tilu.

"Batu-batu ini kalau digali ada alat perkakas di dalamnya. Ada pedang batu juga, seperti tongkat, tapi tajam," kata Im.

Akan tetapi, benda yang Pak Im ceritakan tak bisa saya genggam. Pasalnya, setelah digali dan dikubur kembali pada 2008, masyarakat Dusun Banjaran sepakat untuk tidak mengganggunya lagi.

Berjalan lunglai menuju batu purbakala yang kami incar, akhirnya kepuasan itu terpenuhi juga. Benar saja, dua batu dengan tinggi 165 cm ini memang tak seperti batu pada umumnya.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Januari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto Yasin Habibi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Keindahan Bernama Tana Toraja

Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.

SELENGKAPNYA

Deretan Rumah Sakral Toraja

Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.

SELENGKAPNYA

Agungnya Kematian di Tana Toraja

Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.

SELENGKAPNYA