KH Hasyim Adnan. | DOK NU

Mujadid

Sang Mubaligh Ibu Kota

Terutama pada era 1980-an, KH Hasyim Adnan terkenal sebagai seorang dai tersohor di Jakarta. Sikapnya kritis terhadap rezim Orba.

KH Hasyim Adnan merupakan seorang mubaligh yang cukup masyhur di Jakarta, khususnya era 1980-an. Putra pasangan Kiai Adnan dan Hj Jaunah itu lahir pada 3 Mei 1939.

Rakhmad Zailani Kiki dalam buku Tokoh Dakwah Jakarta menjelaskan, Kiai Hasyim Adnan populer sebagai orator yang ulung dan juga hafiz Alquran. Sebagai putra seorang ulama, sejak kecil Hasyim telah dibekali pendidikan keagamaan yang sangat baik.

Ia menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Kota Tegal, Jawa Tengah. Setelah lulus dari madrasah tsanawiyah, dirinya hijrah ke Kota Pemalang untuk meneruskan sekolah.

Semasa muda, ia menyambangi beberapa pondok pesantren untuk menimba ilmu. Di antaranya adalah Ponpes Lirboyo (Jawa Timur) dan Ponpes Krapyak (DI Yogyakarta).

Setelah nyantri, ia melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada tahun 1960-an. Bukan hanya sukses meraih gelar sarjana muda (BA), di kota itulah Hasyim muda mulai mengasah kemampuan retorikanya. Ia berceramah dari satu masjid ke masjid lain sehingga namanya kian dikenal masyarakat.

Berdakwah di Ibu Kota

Pada 1965, Hasyim Adnan diminta oleh gurunya, KH Mahrus Ali, untuk pindah ke Jakarta. Kiai Mahrus Ali merupakan seorang alim terkemuka yang juga mengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tugas itu pun disanggupi sang santri. Ia menangkap, maksud sang guru ialah bahwa dirinya turut memperkuat dan membentengi umat Islam dari pengaruh paham komunis di Ibu Kota dan sekitarnya.

Hasyim Adnan menuruti perintah Kiai Mahrus. Setelah tiba di Jakarta, pertama-tama ia tinggal di gedung milik Yayasan Waqfiyah Perguruan al-Khairiyah di Mampang, Jakarta Selatan. Yayasan tersebut bergerak di bidang pendidikan Islam dan sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda, tepatnya pada 1928 M.

Di yayasan ini, Hasyim Adnan turut mengajar beberapa mata pelajaran yang telah ditentukan. Sambil mengajar, ia juga tidak melupakan tugasnya sebagai seorang dai. Maka, dia pun berceramah ke berbagai tempat di Jakarta. Karena kepiawaiannya dalam berceramah, lambat laun namanya semakin populer. Bahkan, saat itu ia pernah diundang untuk berceramah ke luar negeri, semisal Singapura.

photo
ILUSTRASI Gedung Majelis Ulama Indonesia di Jakarta. KH Hasyim Adnan termasuk sosok yang mendirikan organisasi MUI. - (DOK REP TAHTA)

Suatu ketika, Hasyim Adnan memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke bilangan Gunung Sari 9, Jakarta Pusat. Di tempatnya yang baru ini, aktivitas dakwahnya semakin luas. Untuk membantu meringankan tugas-tugasnya, ia pun mengangkat seorang remaja bernama Mansyur sebagai asisten pribadi.

Sejak 1968, Mansyur selalu ikut Kiai Hasyim Adnan dalam berdakwah dan mengurus umat. Mansyur juga turut menemani Kiai Hasyim Adnan saat aktif di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia mengaku sering membawa tas Kiai Hasyim saat berceramah dari mimbar ke mimbar, seperti di Tanjung Priok dan Masjid Istiqlal.

Selain memberikan wejangan di atas mimbar, KH Hasyim Adnan juga memberikan ceramah melalui pengajian. Misalnya, kajian rutin pada Ahad pagi yang digelar di Masjid Istiqlal. Dari pengajian inilah, ia menemukan belahan jiwanya. Gadis itu berumur 10 tahun lebih muda dari dirinya. Namanya adalah Khairunnisa, seorang wanita Indonesia yang berdarah Pakistan.

Pernikahan keduanya dilangsungkan pada 1969. Pasangan yang berbahagia ini dikarunia sembilan orang anak. Ketika anak keduanya lahir, Kiai Hasyim Adnan dan keluarga lalu pindah ke Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Di sana, aktivitas dakwahnya pun semakin banyak.

Selain menjadi seorang dai dan muballigh, Kiai Hasyim Adnan juga merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Agama RI. Walau sebagai PNS, ia tetap menjadi seorang mubaligh dan juru dakwah yang kritis.

Beberapa kritikannya terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah, yaitu biaya pendidikan yang tinggi, operasi penembakan misterius (petrus), dan undian berhadiah Porkas (Pekan Olah Raga dan Ketangkasan) yang pernah dilegalkan Soeharto.

Mendirikan MUI

Rakhmad Zailani Kiki mengungkapkan, KH Hasyim Adnan termasuk salah seorang pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 1970-an, sang kiai sudah dikenal sebagai mubaligh muda yang berperan dalam perjalanan awal organisasi tersebut.

Buku Islam dan Muslim di Negara Pancasila karya Muhammad Fuad Nasar merekam dialog yang menarik antar Kiai Hasyim Adnan dan Buya Hamka. Ulama Minangkabau itu baru saja terpilih sebagai Ketua Umum MUI yang pertama. Kiai Hasyim kemudian bertanya kepada Buya Hamka, “Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu putusan atau fatwa dari majelis ulama (MUI)?”

 
Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu putusan atau fatwa dari majelis ulama (MUI)?

Buya Hamka menjawab, “Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”

Tidak hanya terlibat dalam pendirian MUI, Kiai Hasyim Adnan juga terlibat dalam pendirian Dewan Masjid Indonesia (DMI). Pada 16 Juni 1970, formatur yang diketuai oleh KH MS Rahardjo Dikromo kemudian terbentuk dengan anggota KH Hasyim Adnan, H Sudirman, KH MS Rahardjo Dikromo, KH Hasan Basri, KH Muchtar Sanusi, dan KH Ichsan. Tepatnya pada 22 Juni 1972, rapat tim formatur tersebut akhrnya memutuskan untuk mendirikan DMI.

Selain itu, KH Hasyim Adnan juga termasuk salah seorang tokoh pendidikan Islam di Ibu Kota. Ia merupakan seorang pendiri Akademi Ilmu Dakwah (Akidah) yang kini menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah, Jakarta Timur. Lulusannya telah banyak menjadi dai dan daiyah kondang.

KH Hasyim Adnan bukan tipe dai dan ulama yang antipolitik. Baginya, politik juga bagian dari lini dakwah. Sempat aktif di Partai NU, memasuki masa Orde Baru, parpol tersebut difusi pemerintah. Lantas, sang kiai berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dalam aktivitas politiknya, ia konsisten untuk tetap berada partai Islam, walaupun ia juga kerap dibujuk untuk pindah ke Partai Golkar. Akibat aktivitasnya di PPP dan ceramah-ceramahnya yang kritis, ia pun pernah beberapa kali masuk penjara, termasuk saat memberikan ceramah dan orasi sebagai juru kampanye nasional (Jurkamnas) PPP di Provinsi Aceh pada 1977.

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Produksi Migas pada Era Transisi Energi

Sektor migas diyakini tetap relevan seiring pengembangan EBT.

SELENGKAPNYA

Tudingan untuk Dahlan Iskan dan Kali Kedua Eks Dirut Pertamina Ditahan

Karen menyebut Dahlan Iskan mengetahui proyek pengadaan LNG.

SELENGKAPNYA

Menag Usulkan Cicilan Pelunasan Bagi Calhaj

Menag menepis isu soal kuota haji untuk 2000 tokoh agama

SELENGKAPNYA