Malik Ahmad bersama asistennya, Idris Manaf. Foto ini diambil pada masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). | Dokumentasi Rasidah Malik

Nostalgia

Malik Ahmad di Antara Muhammadiyah dan Dewan Banteng

Persoalan ideologi negara di Konstituante berbuntut tegangnya hubungan pusat-daerah.

Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu di Faculty of Arts The University of Melbourne Australia

 

Abdul Malik Ahmad tiba-tiba namanya kembali mengemuka, pasca Soeharto menyinggung pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia. Ia menegaskan haram hukumnya menerima asas tunggal Pancasila. Puncaknya pada Muktamar ke-41 tahun 1985 di Solo, ia kembali menegaskan penolakannya. AM Fatwa menggelarinya penjaga Muhammadiyah. Apakah hanya sekali itu, ia vis a vis dengan pemerintah? Tidak. Pada 1957, Buya Malik Ahmad pernah menabuh genderang perang melawan  Bung Karno lewat resolusi politiknya untuk Dewan Banteng.

 

Dari Guru Menjadi Komandan Bogodan

Malik Ahmad dilahirkan pada 7 Juli 1912 di Nagari Sumaniak (Arsip Muhammadiyah no.55). Malik demikian nama kecilnya, adalah anak sulung dari pasangan Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928) dan Siti ‘Aisyah (Ahmad, t.t: 1). Semasa hidupnya Ahmad dikenang sebagai seorang ulama, pengajar, sekaligus Ketua Sarekat Islam Cabang Tanah Datar.

Setelah menamatkan sekolahnya tahun 1924, atas dorongan Haji Ahmad, Malik pun melanjutkan studinya di Sumatra Thawalib Parabek yang dibina Syekh Ibrahim Musa.  Setahun kemudian (1925) atas keinginannya, Malik memutuskan pindah ke Thawalib Padang Panjang dan duduk di kelas 6A. Pindahnya Malik ke Sumatra Thawalib Padang Panjang, dipengaruhi dinamika perguruan itu, di samping kuatnya keinginannya untuk menjadi seorang mufasir.

Di antara kawan-kawan sekolah yang menjadi saingannya, antara lain Zainal Abidin Ahmad, Duski Samad, dan Moh Din Yatim. Malik Ahmad tidak sebatas belajar di Thawalib, juga mulai bersentuhan dengan persyarikatan Muhammadiyah Cabang Padang Panjang tahun 1928 (Sufyan, 2014).

Pembentukan karakter kepribadian Malik Ahmad yang keras dan konsisten dalam mempertahankan hujjahnya, bermula dari peran AR Sutan Mansur dalam mengadernya. Sutan Mansur dengan metode diskusi khasnya debating club – rupanya banyak diminati oleh siswa Thawalibschool, Diniyahschool, termasuk murid-murid dari komplek Kauman Muhammadiyah Padang Panjang.

Pasca menamatkan pendidikannya, Malik Ahmad kemudian mengikuti sekolah kader untuk calon pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Sekolah itu diberi nama Tablighschool. Sekolah kader yang berlokus di eks Hotel Merapi ini menjadi bagian catatan penting hadirnya Islam Berkemajuan di Sumatra Barat.

Satu syarat yang diajukan, untuk menerima calon murid Tablighschool adalah duduk di kelas lima Sumatra Thawalib, atau sederajat dengan sekolah tersebut. Di tahun-tahun awal, selaku directur HAMKA berhasil merekrut 16 orang calon murid –yang berasal dari seluruh Sumatra Barat (Sufyan, 2014). Satu diantara murid itu adalah Malik Ahmad – alumnus Sumatra Thawalib.

Di tahun 1930, status Malik Ahmad telah menjadi guru bantu di Tablighschool. Usianya masih belia, 18 tahun. Namun, di usia yang remaja dan penuh gejolak itu, dirinya telah dituntut menjadi pendidik untuk calon-calon kader Muhammadiyah dari berbagai daerah.

Pada pertengahan tahun 1936, di tengah gejolak depresi ekonomi Malik Ahmad mengakhiri masa lajangnya. Ia mempersunting gadis asal Pasia Bukittinggi, bernama Rohana. Dari pernikahannya, Malik Ahmad dikaruniai enam orang anak, yakni Rasidah Malik (1937), Rusydi Malik (1939), Rahimah Malik (1942), Rahmanidar Malik (1945), Raudhatul Jannah Malik (1948), dan Ahmad Rasyidi Malik (1956).

Setahun berjalan, dalam Conferentie Muhammadiyah Daerah Minangkabau ke-13 tahun 1939 di Padang Panjang, diputuskan status Tablighschool Istri dinaikkan seperti halnya dulu dialami bagian laki-laki. Pada Mei 1939, resmi status dan namanya berubah menjadi Kulliyatul Muballighat.

Sebelum sekolah beroperasi, Malik Ahmad didaulat oleh Saalah Jusuf Sutan Mangkuto selaku Directur pada awal Mei 1939 (Tjatatan Pokok/Riwajat Hidoep Mafjlis Perwakilan PB Moehammadijah Soematra Tengah No.402/01-51 a.n Malik Ahmad). Bisa dibayangkan, pada usia 27 tahun Malik Ahmad telah dituntut profesionalismenya sebagai leader sekolah lanjutan khusus putri.

Di Padang Panjang sendiri, perekrutan tenaga pemuda untuk Seinendan dipusatkan di Kauman. Tidak hanya Seinendan, juga untuk barisan Bogodan. Malik Ahmad di masa itu, ditunjuk sebagai komandan barisan Bogodan – sebutan untuk barisan Keibodan. Di bawah koordinasi Malik Ahmad, berhasil merekrut puluhan lulusan Tablighschool dan Kulliyatul Muballighin dalam barisan Bogodan. (Sufyan, 2022).

Di Sumatra Barat, pemerintah Dai Nippon gencar mendekati tokoh-tokoh lokal untuk membentuk institusi yang mewakili suara rakyat. Bila di tingkat pusat dibentuk Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat). A.R Sutan Mansur selaku pimpinan persyarikatan terpilih, untuk mewakili orang Sumatra di lembaga pertimbangan Dai Nippon. 

 

Mewakafkan Diri untuk Revolusi Kemerdekaan

Pasca resolusi jihad Sutan Mansur, pada 19 Agustus 1945 Malik Ahmad, Oedin, Zainoel Abidin Sju’aib, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, dan lainnya segera bertemu dengan tokoh masyarakat Padang Panjang. Dalam pertemuan yang dihadiri para pemuda revolusioner, disepakati untuk mengibarkan dwi warna di seluruh pelosok Padang Panjang pada 20 Agustus 1945. Sang Merah Putih pun terbentang di sepanjang tempat-tempat umum dan rumah-rumah penduduk.

Pembentukan barisan perjuangan, Hizbullah Sumatra Barat terjadi pada 1 Oktober 1945. Hizbullah adalah organ perjuangan pertama yang terbentuk pasca proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyah Perwakilan Sumatra Sutan Mansur, Hamka–yang telah kembali dari Medan, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, Oedin, Malik Ahmad, dan lainnya–mengumpulkan para pemuda yang tergabung dalam Hizbul Wathan (HW).

Di depan barisan HW yang dikomandoi Samsoeddin Ahmad – mendengar sambutan dari Oedin mengenai tujuan pembentukan barisan–yang menjadi organ utamanya Masyumi (Kementerian Penerangan, 1953: 552).  Sejak dicanangkannya Hizbullah sebagai bagian utama organ Masyumi, segera mendapat sambutan hangat di Sumatra Barat.

Di tengah euforia kemerdekaan, dan keterlibatan guru-guru Kauman dalam pembentukan barisan Hizbullah, mereka mendapat berkah dari aktivitas politiknya. Bagaimana dengan Malik Ahmad? Pada tahun 1946 ia dilantik sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatra Barat, mendampingi Bagindo Moh. Thahar asal Pariaman. Sejak masuk dalam birokrasi pemerintahan, jenjang karirnya makin cemerlang. Jabatannya  selaku Wakil Ketua dipegang sejak 17 Mei 1946 sampai 1 Januari 1948.

Selaku pimpinan Jawatan Sosial Sumatra Tengah, Malik Ahmad mendiami rumah dinasnya di Panorama Bukittinggi. Rumah ini kerap disinggahi Sutan Mansur, Hamka, Sidi Mhd. Ilyas, dan Samik Ibrahim (Sufyan, 2021; Sufyan, 2018). Tidak hanya itu, rumah dinas dan kediaman mertuanya pun kerap dikunjungi pengurus persyarikatan Muhammadiyah. 

Ketika pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)  pindah ke Koto Tinggi, berdasarkan Instruksi No.1 Gubernur Militer Sumatra Barat tanggal 13 Januari 1949, Malik Ahmad diserahi tugas memimpin bagian perburuhan dan sosial. Selain itu, Malik Ahmad mengurus perbekalan, pengungsi, dan mengurus pejabat PDRI di Koto Tinggi.

Memasuki tahun keempat menjabat Kepala Jawatan Sosial Sumatra Tengah, Malik Ahmad kembali promosi jabatan. Kali ini, ia dilantik selaku Inspektur Kepala Sosial Sumatra pada 1 Januari 1952. Penugasan ini, tentunya menambah kesibukannya. Bila dulu, ia hanya mengurus untuk Sumatra Tengah, kini ia ditugaskan untuk mengkoordinir seluruh Jawatan Sosial di tiap-tiap provinsi di Pulau Sumatra.

 

Konstituante dan Dewan Banteng

Terujinya kapabilitasnya selaku pendidik di Kulliyatul Muballighin/Muballighat, pernah memimpin majelis pengajaran, berkiprah di Jawatan Sosial Sumatra Tengah, PDRI, dan berhasil mewujudkan impian Fakultas Falsafah dan Agama menjadi indikator makin dikenalnya Malik Ahmad jelang hari pencoblosan, Pemilu 1955.

Selaku staf pendidik, mantan directur Kulliyatul Muballighat, ketua majelis pengajaran, dan pengkader di persyarikatan, tentu namanya mudah diingat, baik oleh murid-murid, maupun alumni Kauman yang tersebar di penjuru Sumatra Tengan dan Indonesia. Status keulamannya, menyampaikan kajian tauhid, dan kerap diundang di Sumatra Tengah, sudah cukup untuknya dikenali selaku calon anggota Konstituante dari Masyumi.

Pun, aktivitasnya di Jawatan Sosial Sumatra Tengah yang banyak melayani rumah yatim, perbekalan, buruh, pengungsi, korban perang–terutama di masa PDRI tetap hidup dalam ingatan masyarakat. Kondisinya yang bersahaja, adalah indikator lainnya yang mengantarkan Malik Ahmad melenggang ke kursi Konstituante.

Meskipun namanya sudah disahkan oleh KAPU sebagai anggota Konstituante, tidak membuat pengurus persyarikatan urung mencalonkannya untuk posisi Ketua Daerah Muhammadiyah Sumatra Tengah. Malik Ahmad menjadi calon terkuat, untuk menggantikan Saalah Jusuf Sutan Mangkuto yang terpilih di legislatif DPRT dari parpol Masyumi.

Konferensi yang diikuti perwakilan cabang se-Sumatra tengah, memilih Malik Ahmad dengan raihan tertinggi, yakni 33 suara, kemudian disusul Rasjid Idris Dt. Sinaro Panjang 11 suara, Oedin 7 suara, dan Iskandar Zulkarnaini 5 suara (Notulen Konferensi Kerja Muhammadiyah Sumatra Tengah tgl 16/17 Mei 1956 di Padang Panjang).

Pada awal November 1956, Malik Ahmad yang tercatat memegang no reg #358, menghadiri sidang Konstituante di Bandung–yang membahas perubahan konstitusi.  Ia pun menjadi saksi alotnya dan memanasnya perdebatan antara kubu Islam vs Nasionalis dan Komunis

Gesekan keras di antara parpol yang memperjuangan konstitusi, rupanya berujung ketegangan antara pusat dan daerah, baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan antara Nasution dan stafnya, dengan para kolonel di Sumatra dan Sulawesi diwarnai konflik. Kopra dan karet selundupan menjadi sumber pendapatan petinggi militer di daerah, sudah menjadi rahasia umum. Dengan sumber dana sendiri, mereka ingin daerahnya lebih otonom, dan bebas dari kontrol pusat.

Berlarutnya persoalan ideologi negara yang dibicarakan di Konstituante, berbuntut tegangnya hubungan pusat-daerah. Kurang responsifnya pemerintah mendengar keluhan daerah mengenai dampak buruk sentralisasi pengelolaan keuangan, dan menguatnya pengaruh PKI secara nasional merupakan alasan politisi Masyumi mengkritisi pemerintah pusat.

Kondisi politik tanah air, turut berimbas di tubuh persyarikatan. Memburuknya hubungan pusat-daerah, kedekatan Bung Karno dengan PKI, akhirnya menyeret Muhammadiyah Daerah Sumatra Tengah, terutama Majelis Hikmah terjun ke kancah politik praktis.

Kentalnya aroma politik dan keberpihakan Muhammadiyah mendukung Dewan Banteng, terekam dalam Haluan tanggal 4 Januari 1957. Dalam Rapat Majelis Hikmah, juga dihadiri pimpinan Muhammadiyah se-Sumatra Tengah tanggal 25 Juni-12 Juli di Padang Panjang mengeluarkan resolusi politik (Haluan tanggal 4 Januari 1957).

Rapat yang dipimpin Ketua Muhammadiyah Daerah Sumatra Tengah Malik Ahmad menegaskan, bahwa Dewan Banteng merupakan saluran hati rakyat, dan ia menyuarakan. Pertama, menuntut perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah pusat terhadap pembangunan yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan yang selaras dan berimbangan.Kedua, menuntut terlaksananya otonomi yang luas dan perimbangan keuangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Selaku pimpinan, Malik Ahmad turut menanggapi situasi politik pada awal tahun 1957, dengan menyerahkan penyelesaiannya pada dwitunggal Soekarno-Hatta. Keberpihakan Masyumi dan memanasnya pusat-daerah, pada akhirnya menyeret beberapa tokohnya dalam konflik terbuka, termasuk Malik Ahmad.

Situasi politik makin memanas, tatkala Bung Karno memaksakan Konsepsi Presiden (1956) berubah menjadi Konsepsi Ketatanegaraan (1957). Ditambahkan pemberlakuan SOB  jelang berakhirnya Kabinet Ali jilid dua, makin mencemaskan masyarakat. Kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah, langsung dilabeli kelompok anti revolusioner, nekolim, dan lainnya.

Selaku anggota Konstituante dari Masyumi, Malik Ahmad merasakan efek negatif dari UU darurat era Kolonial Belanda. Serangkaian teror, intimidasi, dan ancaman pembunuhan sudah dirasakannya dari kelompok anti Masyumi. Intimidasi politik yang kuat dari lawan politiknya, mendorong Malik Ahmad memboyong kembali keluarganya ke Bukittinggi pada November 1957.

Kondisi inilah yang menjadi awal dari kronologis meletusnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia – yang nantinya melibatkan tokoh Muhammadiyah sebagai pendukung utama gerakan protes terhadap pemerintah Soekarno. Malik Ahmad pun memilih “melawan” dengan gerakan amar ma’ruf nahii munkarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat