
Opini
Desain Infrastruktur dan Indikasi Geografis: Masa Depan Kekayaan Intelektual Indonesia
Salah satu inovasi teknologi konstruksi paling membanggakan dari Indonesia adalah teknologi Sosrobahu.
Penulis: Adi Faqdhi Akbar (Mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia)
Di era globalisasi, arus pertukaran informasi, barang, dan jasa berlangsung sangat cepat lintas negara. Kemajuan teknologi dan digitalisasi mempercepat proses inovasi, distribusi, dan akses terhadap karya intelektual. Di tengah dinamika ini, hak atas kekayaan intelektual menjadi salah satu pilar utama dalam mendorong inovasi dan menjamin perlindungan terhadap hasil kreasi manusia. Dua aspek Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang semakin relevan dewasa ini, namun kerap terabaikan dalam wacana publik, adalah desain industri infrastruktur dan Indikasi Geografis (IG).
Desain industri yang berkaitan dengan infrastruktur mencakup estetika visual atau bentuk fungsional dari berbagai fasilitas publik, seperti jembatan, jalan tol, sistem transportasi, hingga tata kota cerdas (smart city). Sementara itu, indikasi geografis adalah label yang menunjukkan asal suatu produk dan kualitasnya yang unik karena faktor geografis, budaya, dan tradisi, seperti kopi Gayo, tenun ikat Sumba, atau garam Amed dari Bali. Sayangnya, perlindungan terhadap dua aspek tersebut belum menjadi perhatian utama di tengah upaya mendorong pembangunan ekonomi nasional dan global yang berkelanjutan.
Desain Industri Infrastruktur sebagai Objek Hak atas Kekayaan Intelektual
Desain industri merujuk pada tampilan luar suatu produk industri yang bersifat estetis dan dapat dijadikan objek perlindungan hukum. Dalam konteks infrastruktur, desain industri mencakup rancangan arsitektur, tata letak sistem transportasi publik, bentuk stasiun, terminal, hingga elemen urban lainnya yang menunjang kenyamanan dan daya tarik suatu kawasan. Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization), desain industri dapat melindungi inovasi visual yang membedakan produk dan memberi nilai tambah.
Prof. Peter Drahos, seorang pakar hukum internasional, menegaskan bahwa perlindungan desain industri mendorong investasi dalam estetika dan fungsi sekaligus, terutama di ruang publik. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, desain infrastruktur yang inovatif tidak hanya mencerminkan efisiensi, tetapi juga identitas budaya suatu bangsa.
Salah satu inovasi teknologi konstruksi paling membanggakan dari Indonesia adalah teknologi Sosrobahu, yang dikembangkan oleh Ir. Tjokorda Raka Sukawati dan kini dikembangkan serta diterapkan secara luas oleh PT Hutama Karya (Persero) dalam berbagai proyek strategis nasional. Inovasi ini menjawab tantangan pembangunan infrastruktur di tengah padatnya kota-kota besar, khususnya dalam proyek jalan tol layang atau flyover.
PT Hutama Karya telah mengimplementasikan teknologi Sosrobahu pada berbagai proyek unggulan seperti Tol Jakarta–Cikampek II Elevated, Jalan Tol Cimanggis-Cibitung Seksi 2, dan Tol Semarang–Demak. Lebih dari itu, teknologi ini juga telah menarik perhatian dunia dan digunakan di berbagai negara, seperti Filipina pada proyek Metro Manila Skyway, Malaysia pada Middle Ring Road II, serta diadopsi di Thailand, Singapura, dan Vietnam.
Dengan keberhasilan tersebut, Hutama Karya tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan tetapi juga duta teknologi Indonesia di kancah internasional. Teknologi Sosrobahu menjadi bukti bahwa inovasi lokal mampu memberikan solusi global, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang kompeten dalam pengembangan teknologi infrastruktur modern.
Indikasi Geografis dan Perlindungan Warisan Budaya
Indikasi Geografis (IG) memberikan hak eksklusif kepada komunitas atau produsen atas suatu produk yang memiliki reputasi, kualitas, dan karakteristik yang terikat pada wilayah geografis tertentu. IG bukan sekadar label, tetapi pengakuan terhadap keunikan lokal yang tidak bisa ditiru oleh produk dari luar.
Di Indonesia, perlindungan Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Beberapa Indikasi Geografis nasional seperti kopi Arabika Gayo, garam Kusamba, dan tenun Jepara telah diakui dan terdaftar baik di dalam negeri maupun internasional. Padahal, Indikasi Geografis bisa menjadi instrumen diplomasi budaya dan ekonomi, serta bagian dari strategi geopolitik melalui soft power.
Tantangan Globalisasi terhadap Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual
Era globalisasi membawa ambiguitas tersendiri terhadap rezim hak kekayaan intelektual. Di satu sisi, perdagangan bebas membuka akses pasar yang luas bagi produk lokal, tetapi di sisi lain memperbesar risiko pembajakan, pemalsuan, dan eksploitasi komersial oleh entitas besar.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil penemuannya di bidang teknologi. Dengan hak ini, pemilik paten berhak melarang pihak lain menggunakan, membuat, atau menjual penemuannya untuk jangka waktu tertentu. Dalam konteks pembangunan ekonomi, paten menjadi indikator penting dari kapasitas inovatif suatu negara.
Menurut Joseph E. Stiglitz (2007), peraih Nobel Ekonomi, “Inovasi adalah sumber utama pertumbuhan ekonomi di abad ke-21.” Dalam hal ini, paten adalah mekanisme formal yang melindungi hasil inovasi dan menjadi landasan pengembangan industri berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Di Indonesia, data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) tahun 2023 menunjukkan peningkatan permohonan paten, namun masih didominasi oleh pemohon asing. Tanpa perlindungan dan insentif yang memadai, hasil riset nasional berisiko diambil alih atau didaftarkan oleh pihak asing.
Beberapa tantangan nyata dalam konteks desain industri infrastruktur dan Indikasi Geografis adalah asimetri kekuasaan dalam sistem internasional. Negara-negara maju memiliki sistem hukum dan keuangan yang lebih kuat untuk melindungi desain dan Indikasi Geografis mereka, sementara negara berkembang seperti Indonesia kerap menjadi korban pencurian ide atau desain.
Tantangan lainnya adalah kurangnya harmonisasi peraturan lintas negara. Desain halte, jembatan, atau taman yang didaftarkan di Indonesia belum tentu otomatis diakui di negara lain, kecuali ada sistem bilateral atau pendaftaran internasional seperti Hague System (untuk desain) atau Lisbon Agreement (untuk Indikasi Geografis).
Selain itu, digitalisasi dan risiko penyebaran cepat juga menjadi tantangan. Desain digital dapat dengan mudah direproduksi dan disebarluaskan tanpa batas geografis, memperbesar risiko pelanggaran HKI, bahkan sebelum desain tersebut sempat didaftarkan secara formal.
Tantangan lain yang tak kalah penting untuk dibenahi adalah lemahnya kapasitas teknis instansi terkait. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sering kali kewalahan dalam verifikasi dan pengawasan desain atau Indikasi Geografis, ditambah rendahnya pemahaman aparat di daerah.
Peluang Strategis Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Masa Depan
Hak Kekayaan Intelektual merupakan fondasi utama untuk melindungi ide, kreasi, dan inovasi seseorang atau entitas. Dalam kerangka hukum, paten merupakan salah satu bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual yang memiliki dampak ekonomi signifikan karena berkaitan langsung dengan pengembangan teknologi.
Menurut pendapat Fritz Machlup, seorang ekonom dan ahli kekayaan intelektual, sistem HAKI yang efektif menciptakan “insentif ekonomi yang kuat untuk berinovasi, menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam penelitian, dan melindungi hasil-hasil pengetahuan.” Tanpa sistem HAKI yang kokoh, negara akan kehilangan daya saing dan mengalami kebocoran nilai ekonomi dari hasil riset yang tidak terlindungi.
Namun, realisasi potensi HAKI masih menghadapi hambatan berupa birokrasi, kurangnya harmonisasi antar-lembaga, serta lemahnya penegakan hukum. Pemerintah perlu membenahi sistem peradilan HAKI dan mempercepat digitalisasi layanan pendaftaran untuk mempercepat peningkatan jumlah dan kualitas paten.
Meski menghadapi tantangan, perlindungan desain industri infrastruktur dan Indikasi Geografis juga membuka berbagai peluang seperti:
• Transformasi Desain Infrastruktur menjadi Identitas Kota dan Diplomasi Budaya
Perlindungan desain industri infrastruktur membuka peluang untuk menjadikan setiap kota di Indonesia memiliki karakter visual khas yang tidak hanya membedakannya di tingkat nasional, tetapi juga dapat menjadi bagian dari diplomasi budaya.
• Optimalisasi Indikasi Geografis sebagai Branding Ekspor Unggulan
Indikasi Geografis menjadi alternatif strategi ekspor yang berkelanjutan. Produk Indikasi Geografis memiliki nilai tambah di pasar internasional karena dianggap unik dan otentik. Misalnya, Kopi Arabika Gayo dan Lada Putih Muntok telah memiliki pasar di Eropa dengan harga premium, berkat perlindungan Indikasi Geografis.
• Digitalisasi dan Teknologi Blockchain untuk Transparansi dan Otentikasi
Kemajuan teknologi memberi peluang besar dalam perlindungan HAKI, terutama Indikasi Geografis. Melalui blockchain, informasi asal-usul produk dapat dicatat secara permanen dan transparan, mencegah pemalsuan dan membantu konsumen menelusuri keaslian produk Indikasi Geografis.
• Ekonomi Kreatif dan Smart City Berbasis HAKI
Pemerintah pusat dan daerah kini mulai mengembangkan kota-kota kreatif sebagai bagian dari pembangunan berbasis ekonomi digital dan pariwisata. Desain infrastruktur akan menjadi elemen penting dalam menampilkan karakter kota, dan jika dilindungi sebagai desain industri, dapat mencegah plagiarisme serta menjadi daya tarik investasi.
• Pendaftaran Internasional melalui Sistem Multilateral
Pemerintah dapat lebih proaktif mendorong pendaftaran desain melalui Hague Agreement dan IG melalui Geneva Act, agar produk lokal mendapat perlindungan hukum di pasar ekspor utama seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.
Desain dan Indikasi Geografis Aset Ekonomi yang Wajib Dilindungi
Perlindungan terhadap desain industri infrastruktur dan indikasi geografis (IG) melalui sistem Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan langkah strategis dalam memperkuat kedaulatan ekonomi, melindungi warisan budaya, dan meningkatkan daya saing Indonesia di tengah arus globalisasi yang semakin kompleks.
Desain infrastruktur yang mencerminkan estetika dan fungsi khas suatu daerah serta produk IG yang merepresentasikan kekayaan alam dan budaya lokal merupakan aset nasional yang dapat dijadikan senjata diplomasi ekonomi dan soft power budaya di panggung internasional.
Dengan implementasi kebijakan yang terintegrasi, Indonesia tidak hanya akan berhasil melindungi desain dan produk lokal dari eksploitasi dan pembajakan, tetapi juga mampu menjadikannya sebagai pilar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Perlindungan HAKI yang kuat akan menciptakan efek berantai: meningkatkan motivasi inovasi, memperluas pasar ekspor bernilai tambah, memperkuat posisi tawar dagang, serta memperkuat jati diri bangsa di mata dunia.
Kini, saatnya Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi ide dan desain asing, tetapi berdiri sebagai negara kreatif yang mampu mematenkan, melindungi, dan membanggakan karyanya sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.