Siswa korban keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis (MBG) menjalani perawatan medis di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (23/9/2025). Berdasarkan data dari posko penanganan hingga Selasa (23/9) pukul 07.00 WIB sebanyak 352 siswa dan orang tua mengalami keracunan yang diduga akibat menyantap hidangan makan bergizi gratis pada (22/9). | ANTARA FOTO/Abdan Syakura

Iqtishodia

Statistik Kecil, Risiko Besar: Mengawal Amanah MBG dengan Jujur dan Dewasa

Cinta sejati pada program negara bukan ditunjukkan dengan pembelaan buta.

OLEH Prof. Bambang Juanda (Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)

Dalam beberapa hari terakhir, diskusi publik tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menghangat. Klarifikasi dari Kepala BGN patut diapresiasi, namun cara pembelaan program ini—yang banyak bertumpu pada kalimat seperti “99,1 persen SPPG tidak ada insiden” atau “deviasi kasus keracunan makanan hanya 0,00017 persen”—perlu dikaji ulang secara jernih. Sebab dalam behavioral economics, angka kecil tidak otomatis berarti risiko kecil. Cara orang memandang bahaya tidak ditentukan oleh statistik, tetapi oleh persepsi dan pengalaman.

Bagi korban yang muntah-muntah setelah makan, 0,00017 persen bukan statistik—tetapi 100 persen penderitaan. Bagi orang tua yang panik membawa anak ke puskesmas, tidak ada bedanya apakah kasusnya satu dari sejuta atau satu dari seribu. Kerugian kemanusiaan tidak bisa direlativisasikan oleh persentase.

Tiga Perspektif Data: Mana yang Mau Kita Pakai?
Terkait jumlah kasus, publik sekarang dihadapkan pada tiga versi realitas tergantung sudut pandang yang digunakan. Versi resmi pemerintah menyebut kasusnya sangat kecil. Versi media menunjukkan skalanya lebih besar. Dan versi kemanusiaan — yang menghitung setiap anak yang mengalami gejala — memberikan gambaran yang jauh lebih jelas tentang dampaknya.

Agar tidak terjebak dalam bias, mari kita lihat ketiganya secara jujur dan adil:- Versi resmi pemerintah (BGN): hanya mengakui 75 kasus keracunan yang terjadi sejak Januari hingga September yang sebagian disebut ringan. Sebanyak 6.517 orang yang menjadi korban keracunan massal. Dari total 9.406 dapur SPPG, tercatat 79 dapur dikenai sanksi (teguran hingga penutupan), dan 9.327 dapur (99,1 persen) disebut tidak ada insiden keamanan pangan.

- Versi media nasional dan laporan masyarakat: Kompilasi dari berbagai pemberitaan (Detik, Kumparan, Kompas, Tempo, CNN Indonesia, laporan komite sekolah & relawan kesehatan) mencatat lebih dari 60 sekolah yang mengalami gejala keracunan massal. Beberapa melibatkan puluhan hingga ratusan siswa per sekolah.

- Versi estimasi dampak nyata: Jika seluruh siswa yang pernah mengalami gejala ringan-moderat dihitung, angka paparan bisa mencapai ribuan anak, meski tidak semuanya masuk laporan resmi.

Maka pertanyaan kuncinya sederhana, yaitu apakah kita ingin memakai angka versi kementerian (yang minim), versi media (yang lebih luas), atau versi kemanusiaan (yang paling berhati-hati)?

Dalam urusan keselamatan anak bangsa, penulis memilih memakai kacamata perlindungan maksimal daripada kacamata pembelaan program. Kepercayaan publik bukan dibangun dari angka, tapi dari empati dan kesiapan memperbaiki.

photo
Keracunan MBG - (Republika)

Mengukur Risiko dalam Kuliner tidak Sama dengan Menghitung Persentase
Dalam dunia usaha katering, satu orang keracunan cukup untuk membuat reputasi runtuh. Tidak ada pelaku usaha yang akan berkata, “Tenang, hanya satu dari 10.000 porsi yang bermasalah.” Karena dalam industri pangan, standarnya bukan average, tapi zero tolerance. Inilah sebabnya membagi jumlah kasus dengan jumlah porsi adalah metode kalkulasi yang secara teknis keliru untuk mengukur risiko food safety.

Sayangnya, pendekatan statistik semacam itu kini dipakai untuk menenangkan publik—padahal justru bisa menciptakan false sense of security (rasa aman semu).

Behavioral Economics: Kenapa Publik Tetap Marah Meski Angkanya Kecil?
Ilmu perilaku menjelaskan bahwa manusia memiliki systematic thinking errors. Dalam konteks MBG, setidaknya ada empat bias yang perlu diwaspadai:

 

photo
Bias psikologis - (IPB)

Kita semua bisa jatuh ke dalam bias-bias ini—baik pembela maupun pengkritik MBG. Karena itulah evaluasi harus dilakukan secara tenang, sistemik, dan berbasis risiko, bukan berbasis kebanggaan semata.

Belajar dari McDonald’s vs KFC: Respons Menentukan Nasib Program
Literatur manajemen krisis dunia mencatat kasus klasik tahun 2012 di Tiongkok. Saat McDonald’s tertangkap CCTV menjual makanan kedaluwarsa, mereka meminta maaf dalam 90 menit. Publik marah—tetapi berubah membela karena melihat kejujuran.

Sebaliknya, KFC berdalih bahwa pemasok bermasalah “hanya 1 persen.” Permintaan maaf baru keluar lebih dari satu bulan kemudian. Publik menilai bukan hanya ayamnya yang bermasalah, tetapi integritasnya.

Pelajarannya jelas bahwa dalam krisis, kecepatan dan transparansi lebih penting daripada pertahanan argumentasi. Menurut penulis, program MBG harus mengambil pelajaran ini. Bukan karena programnya buruk, tetapi karena program yang baik atau mulia bisa hancur jika responsnya lambat dan defensif.

Sikap Presiden: Harapan Baru untuk Perbaikan Sistem
Alhamdulillah, Presiden—setelah pulang dari Sidang Umum PBB di New York (dengan rangkaian kunjungan ke Kanada, Belanda, dan Osaka Expo)—mulai menunjukkan perhatian serius terhadap kasus keracunan MBG. Ini sinyal baik. Artinya negara tidak alergi kritik. Presiden meminta seluruh dapur dilengkapi dengan alat cuci ompreng yang bagus. Bahkan, jika perlu menggunakan teknologi sinar ultraviolet, gas, ataupun dengan air yang sangat panas. Dapur MBG harus memiliki filter air. Jadi tugas kita adalah mendukung Presiden untuk memperbaiki, bukan menutup-nutupi.

Evaluasi Sistemik, Bukan Sekadar Teguran Individu
Evaluasi MBG tidak boleh berhenti pada pencabutan izin dapur bermasalah. Harus merambah ke:
- Standar supply chain pangan sekolah: dari vendor hingga penyimpanan.
- Frekuensi pemeriksaan laboratorium secara acak (bukan hanya saat insiden).
- Infrastruktur pendukung: penyimpanan dingin (cold storage), sanitasi, SOP distribusi.
- Pelibatan orang tua dan sekolah dalam pengawasan partisipatif.

Program sebesar MBG tidak bisa dijalankan dengan asumsi bahwa semua pelaksana pasti patuh. Yang dibutuhkan bukan hanya aturan, tetapi sistem pengaman yang mampu mencegah kesalahan sebelum terjadi. Kita bisa belajar dari sekolah-sekolah yang sejak dulu sudah menjalankan program makan siang bergizi secara mandiri — umumnya tidak pernah terjadi insiden keracunan. Kenapa? Karena makanannya dimasak beberapa jam sebelum disajikan, dikontrol langsung oleh pihak sekolah, dan dalam keadaan masih hangat saat disantap siswa. Artinya, keberhasilan mereka bukan karena beruntung, tetapi karena rantai pengolahan makanannya lebih pendek dan mudah diawasi.

Amanah Publik tidak Diukur dari Jumlah Porsi, tapi dari Jumlah Nyawa yang Dilindungi

Sebagai penutup, penulis ingin mengingatkan bahwa program MBG bukan sekadar program makan. Ini program kepercayaan. Keberhasilan MBG bukan diukur dari berapa juta porsi yang tersaji, tetapi dari berapa orang tua yang merasa tenang melepas anaknya makan di sekolah.

Maka pertanyaannya adalah apakah kita ingin dikenal sebagai bangsa yang pandai mengutip statistik atau bangsa yang berani jujur memperbaiki sistem demi melindungi generasi?

Jika pilihannya yang kedua, maka kita harus berani berkata,“Baik, kami dengar. Dan kami perbaiki.” Karena cinta sejati pada program negara bukan ditunjukkan dengan pembelaan buta, tapi dengan keberanian menjaga amanahnya. Wallahu a’lam.

Semoga catatan ini dibaca dalam semangat kasih sayang, bukan kemarahan. Karena diam saat melihat risiko keracunan pada anak-anak bangsa—justru itulah bentuk selemah-lemahnya iman.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat