
Tuntunan
Menutupi Aib Saudara
Manusia pada era yang disebut modern ini menjadikan aib sebagai barang dagangan.
Manusia adalah produsen aib yang paripurna. Kini aib bukan lagi dilakukan dalam ruang-ruang gelap agar tak tercium baunya. Aib kini diproduksi secara massal tanpa mengindahkan lagi rasa malu. Kita, yang katanya makhluk sempurna itulah yang secara sadar menyebar sendiri aib-aib kita.
Padahal, Allah SWT sejatinya yang menutupi aib manusia. Seseorang, kata Nabi SAW suatu kali, melakukan perbuatan maksiat pada malam hari. Pada pagi harinya, ia berkata kepada manusia telah melakukan ini dan itu semalam. "Padahal Allah telah menutupinya dan pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya," terang Nabi SAW dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dengan gagahnya, manusia pada era yang disebut modern ini menjadikan aib sebagai barang dagangan. Aib ditukar dengan popularitas. Terkadang, aib digunakan sebagai alat barter dengan aib orang lain. Islam menuntun manusia untuk saling menutupi aib saudaranya. Bukan justru dijadikan bahan ancaman demi mengeruk kepentingan hawa nafsunya. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan selain Rasulullah SAW.
Janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya.QS AL-HUJURAT[49]: 12
Upaya mengumbar aib yang pasti ada dalam diri seseorang amatlah dibenci dan harus ditinggalkan. Allah SWT meminta kita untuk menjauhkan diri dari bahaya prasangka. Lewat hal yang baru sebatas diduga saja kita diminta menjauhinya. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS al-Hujurat [49] :12).
Sekuat tenaga, kita dianjurkan untuk menutupi aib saudara seiman. Cara paling mudah untuk mengerti kaidah itu adalah dengan mempertanyakan hal yang sama kepada diri kita. Maukah aib kita yang segunung itu diekspose menjadi omongan publik? Jika hari nurani kita masih merasakan, tentu kita tak ingin aib kita diumbar. Fitrah manusia merasa tidak nyaman saat melakukan perbuatan tercela. Apalagi jika aib kita tersebar luas. Entah perasaan campur aduk seperti apa yang terjadi.

Jika kita dengan sadar enggan aib kita diketahui orang, maka mulai sekarang tutuplah rapat-rapat aib orang lain. Perbuatan menutupi aib orang lain dijanjikan Rasulullah akan berdampak juga pada diri kita.Rasulullah SAW bersabda, "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat." (HR Muslim).
Hal yang sama juga akan terjadi saat seseorang amat gemar mengumbar aib saudaranya. Seolah sudah tidak ada lagi rasa kemanusiaan dan persaudaraan. Allah SWT menjanjikan, siapa saja yang mengumbar aib saudaranya, maka Allah SWT akan membuka aib orang tersebut. Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dijelaskan rinci, Allah akan membuka aib orang tersebut meskipun aib itu dirahasiakan di lubang kendaraannya.
Apa kuasa kita atas Allah SWT yang Maha Mengetahui. Perbuatan setitik zarrah pun pasti diketahui oleh-Nya. Jika Allah sudah menjanjikan akan membuka aib seseorang jika orang tersebut membuka aib saudaranya, maka akan kemanakah kita bersembunyi?
Godaan kepentingan, keinginan untuk menjatuhkan, tersengat rasa iri atau bahkan faktor lingkungan kadang membuat kita menjadi berani menjadi penyebar aib seseorang. Bahaya lisan memang amat besar. meskipun ia juga bisa menjadi sarana hidayah seseorang. Di sisi lain, ia bisa menjadi pisau yang amat tajam menusuk perasaan saudara seiman.
Jika seseorang kita lihat melakukan perbuatan maksiat, maka hak dia untuk mendapatkan nasihat dari kita. Secara otomatis, nasihat untuk menghentikan perbuatan maksiat tersebut menjadi kewajiban yang harus kita tunaikan. Kita nasihati agar tidak lagi melakukan perbuatan nista. Hanya itu. Sementara menutup rapat aib orang tersebut adalah hak orang itu dan menjadi kewajiban yang melekat pada kita.
Mari kita simak ungkapan Imam Syafii yang indah ini. "Siapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasihatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasihati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengungkap aibnya dan mengkhianatinya."
Disadur dari Harian Republika Edisi 8 April 2016
Ulama Sunda Pengajar Qiraat di Tanah Suci
Ajengan Siroj diangkat oleh pemerintah Arab Saudi menjadi pelantun Alquran di Masjidil Haram.
SELENGKAPNYAMasalah Budak Korporat Saat Ini, Terancam AI Lalu Depresi
Sepertiga responden khawatir, AI akan membuat sebagian atau seluruh tugas pekerjaan mereka menjadi “ketinggalan zaman”.
SELENGKAPNYAJangan Sampai Dana Haji Hilang karena Salah Kelola
Dana haji selalu menjadi perhatian mengingat jumlahnya yang sangat besar dan fantastis, yaitu sekitar Rp 158,3 triliun
SELENGKAPNYA