
Mujadid
Ulama Sunda Pengajar Qiraat di Tanah Suci
Ajengan Siroj diangkat oleh pemerintah Arab Saudi menjadi pelantun Alquran di Masjidil Haram.
Ajengan Siroj merupakan seorang ulama Nusantara dengan reputasi mendunia. Di Tanah Suci, dirinya dikenal sebagai salah satu guru besar ilmu qiraah Alquran (Masyayikh al-Qurra) pada paruh pertama abad ke-20 M.
Syaikh al-Qurra ini berasal dari keluarga asal Garut, Jawa Barat. Ulama berdarah Sunda itu bukanlah satu-satunya yang melegenda. Ada seorang lagi yang juga datang dari daerah tersebut dan mengajar di Masjidil Haram pada masanya, yakni Ajengan Musaddad Qarut.
Nama Ajengan Siroj sering disebut dalam sanad ulama-ulama ahli qiraah, khususnya yang berkarier di Makkah. Bahkan, biografi dai itu termasuk dalam daftar prestisius Makkawi Qiblah ad-Dunya.
Ajengan Siroj lahir di Makkah (Arab Saudi) pada tahun 1313 Hijriyah/1895 Masehi. Ia merupakan putra dari suami-istri orang Garut yang lama bermukim di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Menurut orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, dalam “Mecca in the Latter Part of the 19th Century”, kedua orang tua Ajengan Siroj termasuk mukimin Nusantara atau orang-orang Jawi yang menuntut ilmu di Tanah Suci sejak akhir abad ke-19 M.
Siroj kecil menyukai perjalanan ke Masjidil Haram. Sesampainya di sana, dirinya pun dengan tenang mendengarkan tilawah Alquran yang dibacakan jamaah setempat. Walaupun masih berusia anak-anak, tampaknya ia sudah mampu menyerap keindahan lantunan ayat-ayat suci hingga ke dalam lubuk hatinya.
Siroj kecil mendapatkan didikan dari keluarga dan juga para ustaz di Makkah. Dirinya ikut dalam pengajian yang diadakan Masjidil Haram bagi kelompok anak-anak. Dalam usia yang belum genap 10 tahun, ia telah memilih jalan untuk menekuni ilmu-ilmu agama, mengikuti jejak ayahanda tercinta.
Kira-kira tiga tahun kemudian, keluarganya kembali ke Tanah Air. Pada 1908, Siroj kecil ikut serta dengan mereka. Inilah pertama kalinya ia keluar dari Jazirah Arab untuk pulang ke tanah asal leluhurnya.
Saat berusia 13 tahun, Siroj memulai perjalanan keilmuannya di Garut. Ia belajar di beberapa pesantren setempat, bahkan hingga ke luar Jawa Barat. Sebut saja, Ponpes Suka Miskin Bandung, Ponpes Gentur Cianjur, serta Ponpes Cikudang. Kemudian, ada pula Ponpes Cibarusah, Ponpes Sempur Purwakarta, Ponpes Babakan dan Buntet Cirebon.
Malahan, Ponpes an-Nawawi di Tanara, Serang, Banten, diduga kuat pernah disambanginya. Begitu pula dengan pesantren-pesantren besar lainnya, semisal Darat Semarang, Lasem Rembang, Siwalan Panji Sidoarjo, Tebuireng Jombang, hingga Bangkalan Madura.

Siroj muda kemudian berangkat lagi ke Makkah setelah beberapa tahun berada di Tanah Jawa. Perjalanan kembali ke kota tempat kelahirannya didorong keinginannya untuk terus menekuni ilmu-ilmu agama. Pengembaraan itu dilakukannya dengan berfokus terutama pada disiplin qiraah Alquran.
Selama di Tanah Suci, dirinya mempelajari ilmu tersebut dari sejumlah Masyayikh al-Qurra pada zamannya. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Ibrahim al-Ghamrawi, Syekh Ahmad Hamid al-Tiji, serta Syekh Ma’mun al-Bantani al-Jawi.
Syekh Ibrahim al-Ghamrawi merupakan seorang pakar qira’ah sab’ah yang terkenal di Haramain. Adapun Syekh Ahmad Hamid al-Tiji al-Mishri digelari “muara sanad ahli-ahli qiraah Nusantara.” Sebab, banyak pelajar Jawi yang berguru kepadanya.
Al-Tiji diketahui bekerja sama dengan Syekh Abdudz Dzahir Abu Samah dalam pentashihan Alquran di Makkah. Sementara itu, Syekh Ma’mun al-Bantani merupakan salah seorang ulama Nusantara yang segenerasi di atas Siroj. Hingga kini, ijazah qiraah khususnya yang diterbitkan pesantren-pesantren di Jawa, semisal Ponpes Buntet Cirebon, kerap mengutip namanya dalam mata rantai sanad.
Dengan penuh perjuangan, akhirnya Siroj berhasil meraih kelulusan. Ia kemudian memperoleh lisensi (ijazah) sebagai tanda kebolehan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama di Masjidil Haram. Tentunya, disiplin yang menjadi spesialisasinya adalah qiraah Alquran.
Syekh Siroj sejak saat itu memiliki banyak murid dari waktu ke waktu. Saking banyaknya, mereka meminta sang guru untuk mengadakan majelis ilmu di kediamannya. Maka, tempat tinggal ulama tersebut di Distrik (Hay) al-Qasyasyiyyah pun menjadi tempat belajar para santrinya itu. Tidak sedikit di antaranya yang sama-sama berasal dari Nusantara.
Reputasinya sebagai seorang pembaca Alquran (qari) sampai terdengar ke kalangan istana Kerajaan Arab Saudi.
Reputasinya sebagai seorang pembaca Alquran (qari) sampai terdengar ke kalangan istana Kerajaan Arab Saudi. Pemerintah setempat kemudian mendaulatnya sebagai salah satu pelantun Kitabullah (muqri). Secara resmi, dirinya diangkat oleh otoritas. Maka, dengan rutin suaranya yang begitu syahdu dan khusyuk melantunkan ayat-ayat suci terdengar di Masjidil Haram. Medium penyebaran qiraahnya juga melalui jaringan radio milik Saudi nyaris setiap hari.
Sang qari diketahui seangkatan dengan para alim lainnya, semisal Syekh Umar Arbain, Syekh Muhammad Nur Abu al-Khair, dan Syekh Zaki al-Daghastani. Yang terakhir itu merupakan seorang qari yang brilian walaupun memiliki keterbatasan fisik netra.
Seperti para masyayikh besar umumnya, Syekh Siroj pun mengabadikan ilmunya melalui tulisan-tulisan. Ia diketahui memiliki sejumlah karya. Di antaranya adalah buku tentang disiplin tajwid yang berjudul Tamrin al-Mubtadi.
Ajengan Siroj berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1390 M/1 Juni 1970. Ahli qiraah tersebut menghembuskan nafas terakhir di Kota Makkah al-Mukarramah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengenal Qira’at Sab’ah yang Melegenda
Qiraat sab'ah merupakan jenis qiraah yang muncul pertama kali.
SELENGKAPNYARujukan Ilmu Qira'at, Karya Ulama Nusantara
Buku karya KH Arwani Amin ini membahas ilmu qiraat secara komprehensif.
SELENGKAPNYADahsyatnya Kalimat Tauhid
Dua kisah ini menegaskan, betapa berat bobot kalimat tauhid, laa ilaaha illa Allah.
SELENGKAPNYA