
Refleksi
Dunia Muslim Setelah 9/11
Banyak kondisi yang menyebabkan radikalisme.
Oleh AZYUMARDI AZRA
Judul ''Resonansi'' kali ini merupakan terjemahan dari judul buku The Muslim World after 9/11 (Rand Corporation: 2004) yang saya terima dari Angel Rabasa, salah seorang penulis artikel buku setebal xxxix+525 halaman tersebut. Sepanjang pengetahuan saya, inilah buku pertama yang secara relatif komprehensif membahas dampak Peristiwa 11 September 2001 dan kejadian-kejadian sesudah itu, seperti operasi militer AS di Afghanistan dan di Irak, terhadap Dunia Muslim secara keseluruhan.
Peristiwa-peristiwa ini --suka atau tidak-- secara dramatis tidak hanya mempengaruhi dinamika hubungan AS dengan negara-negara lain, khususnya Dunia Muslim, tetapi juga perkembangan politik dalam negeri berbagai wilayah Dunia Muslim.
Buku ini pada dasarnya merupakan ''policy studies'', kajian kebijakan yang memberikan rekomendasi khususnya kepada pemerintah Amerika Serikat dalam berbagai perkembangan politik --khususnya peningkatan radikalisasi di kalangan fringe groups Muslim setelah Peristiwa 9/11. Mungkin tidak seluruh pengambil kebijakan di Washington DC maupun kalangan Islam setuju dengan berbagai rekomendasi yang diberikan dalam buku ini untuk merespons gejala-gejala radikalisasi tersebut. Terlepas itu, karya ini tetap menarik karena beberapa alasan.
Pertama, buku ini mengkaji dinamika yang mendorong berbagai perubahan religio-politik di Dunia Muslim secara keseluruhan; kedua, mengembangkan tipologi tendensi-tendensi ideologis atau orientasi di kalangan kelompok-kelompok di berbagai wilayah Dunia Muslim; ketiga, melacak sumber-sumber radikalisme di kalangan sebagian Muslim.
Melihat ketiga hal ini, Dunia Muslim tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas monolitik dan seragam.
Melihat ketiga hal ini, Dunia Muslim tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas monolitik dan seragam. ''Overview'' pada awal buku ini mengutip pandangan Azyumardi Azra, bahwa Dunia Muslim terdiri dari delapan wilayah kultural; Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India, Afrika Hitam, Melayu-Indonesia, Sino-Islamic, dan Belahan Dunia Barat (Western Hemisphere). Dalam kerangka ini, terlihat bahwa satu wilayah dengan wilayah lain di Dunia Muslim terdapat berbagai perbedaan substantif tidak hanya dalam pandangan religio-politik, tetapi juga konsepsi dan sistem pemerintah, hukum, dan agenda-agenda sosial, khususnya tentang hak-hak bagi kaum wanita dan isi pendidikan.
Dalam hal sumber-sumber radikalisme, karya ini juga tidak lagi melihatnya secara dangkal dan superfisial, tetapi mengkajinya dari tiga hal; pertama, kondisi-kondisi yang menyebabkan radikalisme; kedua proses-proses yang memunculkan radikalisme; dan peristiwa-peristiwa katalis yang mempercepat radikalisasi.
Banyak kondisi yang menyebabkan radikalisme. Tetapi, salah satu yang terpenting adalah kegagalan negara-negara Muslim dalam mengembangkan model pembangunan politik dan ekonomi yang viabel untuk memperbaiki kesejahteraan warga. Dengan bahasa lain, para penguasa di negara-negara Muslim --yang cenderung begitu saja mengadopsi model pembangunan di Dunia Barat-- gagal memenuhi janji-janji kemajuan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya.
Pada gilirannya --seperti bisa dilihat di banyak negara Muslim-- kondisi seperti itu mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme, dan alineasi, tapi juga perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa Muslim dan sekaligus Dunia Barat pendukung mereka.
Banyak kondisi yang menyebabkan radikalisme.
Yang terakhir ini pada gilirannya memunculkan apa yang disebut dalam buku ini sebagai ''structural anti-Westernism/Americanism'', sikap anti-Barat/Amerika struktural. Menurut konsep ini, kemarahan kalangan Muslim terhadap Barat/Amerika semula berakar dalam struktur-struktur sosial dan politik sebagian negara Muslim sendiri dan bahwa oposisi terhadap kebijakan tertentu Amerika memberikan isi dan kesempatan bagi ekspresi kemarahan tersebut.
Kemunculan gejala-gejala seperti itu dalam perkembangan lebih lanjut beramalgamasi dalam proses-proses dinamis masyarakat Muslim sendiri seperti meningkatnya semangat ''Kebangkitan Islam''. Didorong semangat kebangkitan Islam yang bernyala-nyala, terdapat kalangan Muslim yang kian memperketat ''batas-batas'' yang membedakan atau bahkan memisahkan mereka dari kaum Muslimin lain dan pihak Barat. Dalam perkembangan lebih lanjut, peristiwa-peristiwa seperti Revolusi Iran 1979, Perang Afghanistan melawan rezim Uni Soviet, Perang Teluk 1991, Peristiwa 11 September 2001, ketidakadilan terhadap bangsa Palestina, dan lain-lain terbukti dapat menjadi katalis bagi radikalisasi.
Sekali lagi, proses radikalisasi di kalangan masyarakat Muslim tidak sederhana; sumbernya tidak hanya terdapat secara internal di dalam negara-negara Muslim sendiri, tetapi juga karena adanya faktor-faktor eksternal yang mendorongnya. Karena itu, penyelesaiannya memerlukan pembenahan --seperti perubahan kebijakan-- baik secara internal di wilayah-wilayah kaum Muslimin sendiri, dan sekaligus juga secara eksternal, tegasnya Amerika Serikat dan Dunia Barat umumnya.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 10 Maret 2005. Prof Azyumardi Azra (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah.
11 September dan Diskriminasi Muslim AS
Muslim AS masih mengalami stigma selepas serangan 11 September.
SELENGKAPNYASejarah Afghanistan: Perang Dingin Hingga Naiknya Taliban
Afghanistan dijuluki sebagai 'kuburan imperium-imperium dunia.'
SELENGKAPNYAAfghanistan di Antara 'Permainan' Inggris dan Rusia
Dalam sejarah Afghanistan, fenomena ini kerap disebut sebagai the Great Game.
SELENGKAPNYA