
Dunia Islam
Afghanistan di Antara 'Permainan' Inggris dan Rusia
Dalam sejarah Afghanistan, fenomena ini kerap disebut sebagai the Great Game.
Pada abad ke-19 M, kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa sedang mencapai klimaksnya. Di Asia, rivalitas di antara para penjajah tampak jelas antara lain dalam fenomena yang disebut sebagai "the Great Game." Itu memperhadapkan antara Kekaisaran Rusia di satu pihak dan Britania Raya di pihak lain.
Bila diandaikan, masing-masing bak pemain catur yang saling bersaing untuk memperebutkan kemenangan. Dan, yang menjadi "papan catur" adalah Afghanistan. Sebab, negeri itu bagaikan bumper antara wilayah kekuasaan Rusia dan India sebagai jajahan Inggris Raya.
Sudah lama Imperium Rusia berhasrat untuk menguasai Afghanistan. Rusia menginginkan pelabuhan yang tidak membeku saat musim dingin tiba dan sekaligus akses terbuka ke Samudra Hindia. Politik Air Hangat, demikian sebutannya. Sasaran pertamanya untuk mendapatkan pelabuhan yang "kebal beku" ialah Laut Baltik. Namun, Inggris sukses menghalau Negeri Beruang Merah dari kawasan perairan Eropa itu.
Awalnya, Inggris tidak merasa terancam oleh pengaruh Rusia. Namun, keadaan berubah sejak Napoleon Bonaparte mendarat di Mesir. Dari Negeri Piramida, pemimpin militer Prancis itu hendak menuju India lewat Iran. Britania Raya pun meningkatkan kewaspadaannya di Asia Selatan.
Napoleon cukup cerdik. Ia menjalin kerja sama dengan Rusia melalui Perjanjian Tilsit pada 1807. Isinya, Prancis dan Rusia sepakat akan bersama-sama menghadapi Inggris. Dengan adanya kesepakatan ini, Rusia mulai berambisi menguasai Samudra Hindia. Strategi pun dirancang Moskow untuk mencaplok Afghanistan sehingga mulus jalannya untuk mencapai India.
Strategi pun dirancang Moskow untuk mencaplok Afghanistan sehingga mulus jalannya untuk mencapai India.
Namun, rencana aliansi Prancis-Rusia buyar. Pada 1815, kekaisaran Prancis yang menguasai dataran Eropa runtuh. Napoleon meninggal sekira enam tahun kemudian. Rusia akhirnya bergerak sendirian ke selatan. Tak terelakkan, Afghanistan pun menjadi ajang perebutan dominasi Rusia dan Britania Raya.
Para pakar geopolitik menyebut fenomena ini sebagai Permainan Besar (the Great Game). Mulanya, Inggris ingin terlebih dahulu menguasai Afghanistan. Emir Afghanistan Dost Muhammad Khan memberikan perlawanan sengit, tetapi akhirnya ditangkap.
Inggris sempat menduduki Kabul. Namun, perlawanan dari rakyat Afghanistan sangat hebat. Mereka dipimpin putra Dost, Akbar Khan. Shan Suja, seorang elite Dinasti Durrani yang bertindak sebagai “boneka” Inggris, pun tumbang. Pasukan Inggris kalang kabut. Belasan ribu prajurit Eropa ini terbantai oleh gerilyawan Afghanistan di Celah Khaiber. Inilah kekalahan paling memalukan yang harus ditanggung London dalam sejarah modern.
Basis militer Inggris tak tinggal diam. Dari India, mereka segera bergerak ke Afghanistan. Kabul berhasil dibumihanguskan. Bagaimanapun, Dost Muhammad dibiarkan menjadi pemimpin Afghanistan sehingga rakyat lokal tidak memberontak.
Rusia melihat itu sebagai tanda bahaya. Tsar mengirim utusan rahasia ke Kabul. Hasilnya, Dost berpihak kepada Rusia. Bahkan, duta Inggris diusirnya. The Great Game episode kedua dimulai.
Inggris tidak terima akan perlakuan tersebut. Antara tahun 1878 dan 1880, nyaris seluruh Afghanistan digempur. Britania Raya menang sehingga Afghanistan berstatus protektorat Inggris. Bagaimanapun, pemberontakan demi pemberontakan seperti tak kenal henti di sana.

Pada 1919, perang besar pecah. Perjanjian Rawalpindi mengakhiri pertempuran itu. Bagi Afghanistan, inilah kemenangan diplomatik yang nyata. Sebab, London harus mengakui kemerdekaan negeri Islam tersebut.
Sementara itu, Rusia sudah tidak lagi menjadi kekaisaran sejak Revolusi Oktober 1917. Setelah melalui perang saudara, pada akhir 1922 terbentuklah Uni Soviet. Perlu waktu beberapa dekade bagi para pendukung komunisme untuk mengumpulkan “nyali”, berupaya menguasai Afghanistan.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, konflik internal terus membayangi negeri ini. Mulanya, penguasa Afghanistan hendak mencontoh model pembangunan Turki yang kala itu dipimpin Kemal Pasha. Namun, kaum konservatif Muslim menentangnya.
Afghanistan masih berbentuk kerajaan hingga 1970-an. Raja terakhirnya, Zhahir Shah, berpendidikan Barat dan menjadikan negerinya netral di sepanjang Perang Dunia II. Pada 1973, saat sedang berada di Italia, dirinya dikudeta sepupunya, yakni Muhammad Daud Khan, yang kemudian mendeklarasikan Afghanistan sebagai republik. Hanya berkuasa lima tahun, Daud Khan lalu digulingkan elemen pro-Moskow. Gerombolan ini dipimpin Nur Mohammad Taraki dari Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA).
Sejarah Afghanistan Pra-Kolonialisme
Islam mulai memasuki wilayah Afghanistan khususnya sejak abad ke-10 M.
SELENGKAPNYAMengenal Sejarah Islam di China
Dalam buku ini, berbagai fakta sejarah yang menarik disajikan terkait hubungan China dan Islam.
SELENGKAPNYAMisteri Absennya Xi Jinping di KTT G20
Presiden AS kecewa tak bisa bertemu Xi di KTT G20.
SELENGKAPNYA