KH Raden Hadjid, tokoh Muhammadiyah yang berguru langsung pada KH Ahmad Dahlan | DOK MUHAMMADIYAH

Mujadid

Pencatat Ajaran Sang Pencerah

KH Raden Hadjid termasuk kalangan yang berguru langsung kepada pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

“Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Begitulah sabda Rasulullah SAW menurut sebuah riwayat yang sahih. Anjuran tersebut diamalkan betul oleh salah seorang murid Kiai Haji Ahmad Dahlan, yaitu KH Raden Hadjid. Dia merupakan murid termuda hasil didikan sang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.

Kiai Hadjid sangat rajin mencatat berbagai ajaran yang disampaikan oleh sosok berjulukan sang pencerah itu. Beberapa catatannya terhimpun dalam dua buku, yakni Falsafah Peladjaran KH Ahmad Dahlan dan Adjaran KH A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-ayat al-Qur’an.

Karya-karya Kiai Hadjid menjadi penyambung legasi intelektual Kiai Dahlan untuk generasi-generasi kemudian. Oleh karena itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menerbitkan ulang dua karya tersebut menjadi satu buku utuh yang berjudul Pelajaran KH A Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an.

 
Kiai Hadjid kerap dijuluki sebagai “Singanya Muhammadiyah."
   

Di kalangan Muhammadiyah sendiri, Kiai Hadjid kerap dijuluki sebagai “Singanya Muhammadiyah.” Hal ini disebabkan dirinya saat berpidato selalu tampil dengan penuh semangat berapi-api. Bahkan, pada masa tuanya dia juga menerima julukan “Jago Tuanya Muhammadiyah.”

Kecintaan Kiai Hadjid terhadap dunia tulis-menulis disalurkan melalui majalah-majalah Islam yang terbit pada zamannya. Ketika Kiai Dahlan menggagas penerbitan Suara Muhammadiyah pada 1942, Kiai Hadjid pun ditunjuk menjadi anggota redaksi.

Dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, KH Raden Hadjid disebutkan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 20 Agustus 1898. Dia merupakan putra pertama dari pasangan Raden Haji Djaelani dengan R Ngt Muhsinah. Sejak kecil, dia sudah ditempa untuk memiliki keberanian, sikap istikamah, dan wara’ah.

Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar sejak 1903 hingga 1909. Selanjutnya, dia mendampingi sang ayah pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.

 
Di Kota Suci, Hadjid belajar agama Islam kepada sejumlah ulama besar.
   

Di Kota Suci, Hadjid belajar agama Islam kepada sejumlah ulama besar, seperti Kiai Fakih, Kiai Humam, dan Kiai Al Misri. Satu tahun lamanya rihlah keilmuan itu dijalaninya. Setelah itu, dia kembali ke Tanar Air, tepatnya Keraton Yogyakarta.

Berbekal pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari Tanah Suci, Hadjid muda mulai bergiat dalam dunia dakwah Islam. Keilmuannya pun sudah meningkat. Bagaimanapun, semangat belajarnya tetap tinggi.

Oleh karena itu, dia pun melanjutkan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta (Jawa Tengah). Lembaga tersebut berdiri sejak 1750 atas prakarsa Sunan Pakubuwono IV serta menjadi salah satu pondok pesantren tertua di Pulau Jawa. Namanya berasal dari Kiai Jamsari, seorang ulama asal Banyumas yang sengaja didatangkan Sunan Pakubuwono IV.

Di Pesantren Jamsaren, Hadjid muda memperdalam ilmu keislaman, seperti qira’at, tafsir, fikih, dan tata bahasa Arab. Saat mondok di pesantren ini, dia juga berjumpa dengan KH Ghozali yang kemudian hari mendirikan Pondok Pesantren Nirbitan, tak jauh dari kompleks Pesantren Jamsaren.

Setelah belajar di Jamsaren, Hadjid kemudian melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Tremas dan sekolah di Madrasah Menengah Tinggi, sejak 1913 hingga 1915. Di sana, Hadjid belajar kepada Kiai H Dimyati dan Kiai Bisri. Keduanya merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal.

Di Pesantren Tremas inilah para kiai Nahdliyin dan Muhammadiyah banyak belajar. Sebut saja Kiai Basyir, Kiai Haji Ahmad Azhar, Kiai Haji Wahid, atau Kiai Haji Badawi. Selepas dari Termas, Hadjid kemudian belajar di Madrasah Tinggi al-Attas Jakarta. Dia terus menimba ilmu di sana selama empat tahun sejak 1917.

KH Ahmad Dahlan, sang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. - (DOK MUHAMMADIYAH)

  ​

Dekat dengan Kiai Dahlan

Kiai Hadjid masuk ke Persyarikatan Muhammadiyah sejak tamat dari Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, pada 1916. Saat itu, usianya baru menginjak 19 tahun. Dia kemudian berguru dan bahkan bersahabat baik dengan Kiai Ahmad Dahlan.

“Saya berguru, berteman, dengan Kiai Ahmad Dahlan hingga beliau wafat pada tahun 1923,” ujar Kiai Hadjid, seperti dirangkum dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi.

Enam tahun lamanya Kiai Hadjid menimba ilmu langsung dari Kiai Ahmad Dahlan. Ada banyak hikmah dan pengalaman yang diserapnya dari interaksi yang hangat dengan sang guru. Tentunya, dia amat terkesan dengan kesederhanaan Kiai Dahlan, serta bagaimana sang pendiri Muhammadiyah itu konsen pada urusan keumatan. Berbagai ilmu yang diperolehnya dari sang kiai diabadikan dalam sebuah buku berjudul Pelajaran KH A Dahlan.

Salah satu pembahasan di dalam karya tersebut ialah ajakan untuk kembali pada jiwa Muhammadiyah. Melalui bukunya itu, Kiai Hadjid mengutip ayat-ayat Alquran yang sudah sepatutnya diperhatikan seluruh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, sebagaimana pesan Kiai Ahmad Dahlan.

Ayat-ayat Alqur‘an tersebut terdiri dari 17 kelompok. Kiai Hadjid sendiri menghayati bagaimana seluruh firman-Nya itu dipraktikkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Harapannya, ke-17 ayat Alquran tersebut bisa menjadi pegangan pokok para pewaris Muhammadiyah generasi berikutnya.

 
Keteguhan Kiai Dahlan dalam memperjuangkan Islam dapatlah menjadi pedoman dan perhatian kita bersama.
KH R Hadjid
 

Turut berjuang

Saat berusia 20 tahun, Hadjid menikahi seorang gadis bernama Siti Wasilah binti RH Ahyat. Pernikahan berlangsung pada 19 Januari 1918 secara khidmat dan sederhana. Siti Wasilah merupakan murid perempuan pertama di Sekolah Qismul Arqa’, yang didirikan Kiai Haji (KH) Dahlan. Sekolah itulah yang menjadi cikal-bakal Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah.

Seperti halnya Hadjid, Siti Wasilah juga gemar mengumpulkan catatan tentang berbagai ajaran Kiai Ahmad Dahlan. Oleh karena itu, perempuan tersebut ditunjuk menjadi ketua pertama Siswo Proyo, entitas yang akhirnya menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah.

Setelah lulus dari Madrasah Tinggi al-Attas Jakarta, Hadjid mulai mempelajari keorganisasian. KH Ahmad Dahlan menjadi rujukannya. Saat itu, Hadjid sudah diangkat menjadi guru di Standaard School Muhammadiyah dan HIS Muhammadiyah.

Antara tahun 1921 dan 1924, Hadjid bertugas sebagai guru agama pada Kweekschool Muhammadiyah. Kariernya sebagai pendidik terus meningkat. Sepanjang tahun 1924-1941, Hadjid diamanati sebagai kepala Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Memasuki masa pendudukan Jepang, dia mendapatkan tugas sebagai Fuku Sumuka Tjo Koti Zimokyoku alias Kantor Lembaga Agama di Kotabaru, Yogyakarta.

 
Pada masa itu (pendudukan Jepang), banyak ulama yang ditangkap Jepang dan disiksa secara kejam.
   

Pada masa itu, banyak ulama yang ditangkap Jepang dan disiksa secara kejam. Ketika menjabat sebagau Fuku Sumuka, Kiai Hadjid berkesempatan untuk membebaskan para kiai dan ulama melalui jalur advokasi dan mediasi. Dengan cara ini, dia terlibat dalam resistensi melawan kesewenang-wenangan Dai Nippon.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, berbagai organisasi di Tanah Air mulai konsolidasi. Kiai Hadjid dipercaya menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Jawatan Agama di Yogyakarta. Sekolah Tinggi Islam (STI, kini menjadi Universitas Islam Indonesia/UII) berdiri pada 1945. Setahun kemudian, Kiai Hadjid masuk sebagai dosen kampus tersebut hingga 1947.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Perumus Tajdid Organisasi Persyarikatan

KH Ahmad Azhar Basyir adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada paruh awal 1990-an.

SELENGKAPNYA

Fenomena Perampungan Kolong Tol

Pemukiman di kolong tol berisiko tinggi menyebabkan kebakaran.

SELENGKAPNYA

Situasi di Palestina Makin Gawat

Empat pemukim ilegal dibunuh sebagai balasan penyerangan Israel di Jenin.

SELENGKAPNYA