Tokoh Muhammadiyah, KH Ahmad Azhar Basyir | DOK MUHAMMADIYAH

Mujadid

Perumus Tajdid Organisasi Persyarikatan

KH Ahmad Azhar Basyir adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada paruh awal 1990-an.

Sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah telah menghasilkan banyak tokoh yang berkiprah di level nasional dan internasional. Di antara mereka adalah KH Ahmad Azhar Basyir.

Pria yang lahir di Yogyakarta, 21 November 1928, itu dikenal sebagai ulama yang ahli fikih dan filsafat Islam. Dalam konteks organisasi, dia pernah memimpin PP Muhammadiyah periode 1990-1995.

Ahmad Azhar tumbuh di lingkungan yang lekat dengan sejarah Muhammadiyah, yakni Kampung Kauman, Yogyakarta. Putra pasangan KH M Basyir dan Siti Djilalah itu memulai pendidikan formal di Sekolah Rendah Muhammadiyah Suronatan, DI Yogyakarta.

Setamat belajar di sana, dia melanjutkan sebagai santri pada Pondok Pesantren Salafiyah Tremas Pacitan, Jawa Timur. Selang satu tahun kemudian, pemuda tersebut hijrah ke kampung halamannya, tepatnya pada Madrasah alFallah Kauman, DI Yogyakarta. Setelah itu, pada 1944 pendidikannya berlanjut di Tabligh School (Madrasah Mubalighin III) Muhammadiyah, DI Yogyakarta, selama dua tahun.

photo
Barisan Laskar Hizbullah. - (DOK NU)

Seperti umumnya generasi muda pada zaman 1945, Ahmad Azhar ikut dalam gelombang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Yogyakarta, dia turut serta dalam kesatuan TNI Hizbullah Bataliyon 36.Kancah peperangan dijalaninya hingga situasi mulai kondusif. Pada Oktober 1949, dia meneruskan kembali sekolah di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta hingga 1952. Nilai-nilai matapelajaran yang diraihnya cukup memuaskan, sehingga lulus dengan predikat baik.

Pilihannya jatuh pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri atau PTAIN (kini UIN Sunan Kalijaga), Yogyakarta. Masa-masa kuliah dijalaninya dengan tekun. Kesempatan besar datang ketika dia memeroleh beasiswa belajar di Universitas Baghdad, Irak, tepatnya pada Fakultas Adab, jurusan sastra.

Pengembaraan intelektualnya berlanjut hingga ke Fakultas Dar al-`Ulum, Universitas Kairo, Mesir. Dia berhasil menyelesaikan studi Islamic Studies dengan meraih gelar master. Tesis yang diajukannya berjudul Nizam al-Miras fi Indunisia, Bain al-`Urf wa asy-Syari'ah al-Islamiyyah (Sistem Warisan di Indonesia, antara Hukum Adat dan Hukum Islam).

photo
Muhammadiyah - (DOK IST)

Aktif di Muhammadiyah

Kesibukannya dalam belajar seiring dengan konsentrasinya di dunia pergerakan. Boleh dikatakan, Ahmad Azhar sudah aktif secara kultural di Muhammadiyah sejak masih anak-anak.

Keaktifannya meningkat di lingkungan organisasi sejak usianya 17 tahun, khususnya setelah bergabung dalam pelbagai kegiatan di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Berawal dari tugasnya sebagai sekretaris, hingga akhirnya diamanatkan sebagai ketua Pemuda Muhammadiyah pada 1956 atau sekitar dua tahun sejak organisasi otonom tersebut berdiri. Tugas belajar di Irak membuatnya menyerahkan jabatan tersebut kepada rekannya, Fachrurodji (Kiai Haji).

Lulus dari Universitas Kairo, Ahmad Azhar bekerja sebagai dosen pada Universitas Gadjah Mada (UGM) dan IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga. Dalam pada itu, dia masih aktif di lingkungan organisasi PP Muhammadiyah.

Sesuai dengan bidang keahliannya, intelektual yang selalu hidup sederhana itu mengurus Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebuah lembaga di dalam organisasi tersebut yang menjadi rujukan terkait hukum Islam. Dalam periode 1985-1990, dia duduk sebagai ketua lembaga itu.

 
Dalam Muktamar Muhammadiyah di Semarang, Jawa Tengah, 1990, diputuskanlah bahwa kepemimpinan organisasi tersebut beralih dari KH AR Fachruddin kepada KH Ahmad Azhar Basyir.
   

Ketika terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah, demikian keterangan dari buku Ensiklopedi Islam, sejumlah kalangan sempat khawatir bila dia akan menampilkan sikap yang cenderung kaku, sebagaimana biasanya kaum ahli fikih.

Pandangan demikian, di satu sisi, mungkin ada benarnya. Dalam persoalan tentang syariat dan akidah, misalnya, seorang pakar fikih dapat menggunakan pendekatan tekstual. Namun, Kiai Ahmad Azhar juga menguasai persoalan filsafat.Oleh karena itu, sikap yang seperti itu terbungkus dalam bahasa filsafat.

Menjawab kritik

Sejak dasawarsa 1990-an, cukup banyak seminar yang mengevaluasi perjalanan Muhammadiyah sampai saat itu. Ada banyak kritik yang menganggap Muhammadiyah mengalami stagnasi sebagai organisasi pembaru.

Umpamanya, para kader dinilai mulai mengabaikan zikir dan tidak punya dimensi tasawuf. Terhadap pandangan-pandangan semacam itu, KH Ahmad Azhar Basyir mengutarakan beberapa argumentasi.

Terlebih dahulu, dijelaskannya tentang makna pembaruan atau reformasi (tajdid) yang memang sudah menjadi ciri khas Muhammadiyah sejak awal berdiri. Menurut Kiai Ahmad Azhar Basyir, tajdid memiliki tiga dimensi dasar.

 
Menurut Kiai Ahmad Azhar Basyir, tajdid memiliki tiga dimensi dasar.
   

Pertama, akidah. Segenap persoalan harus dikembalikan kepada ajaran Alquran dan sunah. Di satu sisi, akidah bersifat absolut alias tidak dipengaruhi konteks ruang dan waktu. Bagaimanapun, perkembangan sejarah memunculkan dua golongan di dalam kaum Muslimin, yakni mereka yang berpikiran terlalu jauh dan yang memudahkan pengertian. Dalam hal terakhir itu lah diperlukan tajdid dalam bidang akidah.

Kedua, ibadah murni (mahdhah). Perbedaan pendapat dalam konteks ini juga mesti kembali pada Alquran dan hadis, sebagaimana terjadi pada bidang akidah tersebut.

Ketiga, muamalah. Tajdid dari segi ini adalah tentang menerjemahkan ajaran-ajaran Alquran dan sunah ke dalam realitas historis yang dinamis di tengah masyarakat. Proses demikian mesti dilakukan karena kedua sumber agama Islam itu memuat persoalan muamalat berupa kaidah-kaidah umum.

Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan zikir. Begitulah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis-garis kebijakan Muhammadiyah.

photo
Salah satu karya KH Ahmad Azhar Basyir. - (DOK PERPUSNAS RI)

Pada usia 65 tahun, tokoh karismatik ini mulai memasuki masa pensiun dari kegiatan mengajar di Fakultas Filsafat UGM. Tetapi, dia tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan mengajar di Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Pada waktu senggangnya, Ahmad Azhar mempunyai kegiatan lain, yakni menulis buku. Beberapa karyanya, antara lain, ialah Hukum Perkawinan Islam, Garis Besar Ekonomi Islam, Hukum Adat di Indonesia, Prospek Hukum Islam di Indonesia, dan masih banyak lagi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Situasi di Palestina Makin Gawat

Empat pemukim ilegal dibunuh sebagai balasan penyerangan Israel di Jenin.

SELENGKAPNYA

Merebut Keagungan Dzulhijah

Ada dua cara amal saleh yang direbut hamba-hamba Allah saat Dzulhijah,

SELENGKAPNYA

Kebangkitan Ekstrem Kanan dan Nasib Muslim Jerman

Umat Islam terus mengalami serangan rasial di Jerman.

SELENGKAPNYA